(Dikutib dan diedit dari Majalah Yaum Al-Quds, No 10, Zulqaidah 1403 H oleh Forum Studi Politik dan Teknologi Nasional — Forum SPTN, Jakarta)
Bismillahirrahmanirrahim.
I
|
mam
Khomeini dilahirkan pada tahun 1278 H (1900 M) di Provinsi Khomein
(dahulu dikenal sebagai Provinsi Kamareh), bertepatan dengan hari ulang
tahun kelahiran Fatimah az-Zahrah (20 Jumadil Akhir), puteri Rasulullah
Muhammad saw. Ayah beliau, Sayyid Mustafa, adalah seorang ulama besar
yang dicintai rakyat dan terbunuh oleh agen-agen Syah Reza Pahlevi pada
bulan Zulhijjah atau 19 September 1902.
Sayyid Mustafa meninggalkan tiga orang puteri dan tiga putera. Imam Khomeini adalah yang bungsu.
Pada usia 15 tahun, ibunya meninggal dunia, demikian pula bibik yang
mengasuh beliau. Sejak masa kanak-kanak, Imam Khomeini mulai belajar
menulis dan membaca di rumah. Kemudian, beliau masuk ke suatu sekolah
yang baru saja didirikan; dan di situ beliau belajar dengan
sungguh-sungguh. Sebelum genap berusia 15 tahun, beliau telah mahir
bahasa Parsi, kemudian mulai belajar pengantar ilmu-ilmu pengetahuan
Islam dari abangnya, Pasandideh.
Sesudah itu, Imam Khomeini pergi ke Arak, lalu ke Qum. Di sini beliau
belajar pada Syaikh Abdul Karim Hairi Yazdi. Pada tahun 1922 beliau
menyelesaikan tingkat pelajaran tertinggi seraya membantu Syaikh Hairi
mengajar.
Ketika Syaikh Hairi meninggal (tahun 1937), Imam Khomeini telah
termasuk salah seorang tokoh ulama terkemuka dan dikenal sebagai seorang
alim yang jenius. Selain pengetahuannya yang luas di bidang hukum,
beliau juga dikenal sebagai seorang spesialis dalam pengetahuan
astronomi, falsafah umum, falsafah tradisional, dan irfan (gnosis).
Gurunya di bidang astronomi adalah Ali Akbar Yazdi, sedangkan dalam
falsafah umum, falsafah tradisional, dan irfan adalah Muhammad Ali
Shahabadi.
Imam Khomeini memiliki dua anak laki-laki dan tiga perempuan. Putera
beliau yang tertua, Ayatullah Sayyid Mustafa Khomeini, mati syahid pada
tanggal 23 Oktober 1977 melalui pembunuhan misterius (operasi intelijen)
yang dilakukan oleh agen-agen pemerintahan despotik Syah Reza
Pahlevi.
Lebih dari tiga puluh judul buku — tentang berbagai aspek — telah
ditulis oleh Imam Khomeini. Banyak pihak menilai buku-buku tersebut
berkualitas tinggi dan pembahasannya sangat rinci dan mendalam. Di saat
rezim tiranik Reza Khan (ayah Syah Reza Pahlevi, Syah Iran terakhir)
sedang berkuasa, Imam Khomeini menulis buku: “Kasyf-al-Asrar”
(Mengungkap Rahasia), yang gaya penulisannya sangat tegas dan tidak
mengenal kompromi. Agaknya, gaya ini merupakan ciri khas dari
tulisan-tulisan beliau. Dalam buku “Kasyf-al-Asrar” itu, Imam Khomeini
mengutuk keras rezim Reza Khan yang secara kasat mata — dan tidak kenal
malu — menggantungkan diri pada kekuatan asing, dalam hal ini Inggris.
Beliau juga melihat dengan jelas bahwa permusuhan rezim Pahlevi
terhadap Islam bukanlah semata-mata didorong oleh hasrat seorang
diktator, tetapi merupakan bagian dari satu rencana besar untuk
melenyapkan Islam sebagai satu kekuatan sosial-politik di seluruh dunia.
Rencana tersebut disusun oleh pusat-pusat kajian imperialistik dan
dipercayakan kepada agen-agen setempat untuk mewujudkannya. Di Iran,
agen mereka adalah Reza Khan.
Dalam buku Kasy-al-Asrar tersebut, Imam Khomeini menulis, “Semua
perintah yang dikeluarkan oleh rezim diktator dari bandit Reza Khan,
sama sekali tidak bernilai. Undang-undang yang dikeluarkan oleh parlemen
binaannya harus dirobek-robek dan dibakar. Semua kata-kata sinting
yang telah keluar dari otak serdadu yang buta huruf itu adalah busuk,
dan hanya Hukum Allah yang tetap dan lestari dari gerusan waktu”.
Kata-kata yang sama sekali tidak mengenal kompromi ini ditandai oleh
satu pandangan batin yang radikal dan ditransformasikan ke dalam
realitas politik.
Zaman Ayatullah Borujerdi
Pada
waktu Ayatullah Borujerdi menjadi ulama besar di Qum, Imam Khomeini
telah menduduki tempat yang menonjol. Sepanjang masa ini beliau
berusaha untuk menyimpulkan satu realisme politik serta patuh kepada
Ayatullah Borujerdi. Imam Khomeini membangun banyak pengikut di
kalangan ulama muda di Qum dan tempat-tempat lain; dan ini semua
kemudian menjadi bagian penting sebagai kekuatan pengarah revolusi
(Revolusi Islam Iran).
Kedudukan Menonjol
Kemunculan Imam Khomeini secara menonjol dimulai sejak tahun setelah tumbangnya Mossadegh melalui coup d’etat yang dirancang CIA (dinas rahasia AS). Pada tahun 1963, Syah
Reza
meresmikan pembukaan apa yang disebut sebagai “Revolusi Putih” oleh
pers Barat dan mesin propaganda dalam negeri. Menurut Syah Reza,
satu-satunya yang mengakibatkan ia patut disebut “putih” adalah bahwa
karena ia direncanakan di Gedung Putih (Amerika Serikat / AS). Tentu
saja, pastilah ia tidak putih dalam pengertian tidak menumpahkan darah;
dan bahwa ia pun tidak pantas disebut “revolusi”. Bahkan sebaliknya, ia
harus dipandang sebagai satu usaha untuk mencegah revolusi.
Yang disebut Revolusi Putih itu terdiri dari satu paket dari
tindakan-tindakan yang dianggap sebagai strategi dan perencanaan untuk
mereformasi masyarakat Iran, untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan
pekerja industri, serta untuk mewujudkan emansipasi kaum perempuan. Di
antara berbagai tindakan yang termasuk dalam rencana tersebut, ada dua
yang ditonjolkan secara khusus: land reform dan hak-hak
perempuan. Secara khusus, keduanya ditonjolkan dalam propaganda
pemerintahan Syah Reza serta para pendukungnya yang berbangsa asing.
Sebelum kita lanjutkan riwayat perjuangan Imam Khomeini menentang
kediktatoran dan tirani, agaknya patut dikemukakan sedikit tentang sifat
dari kedua kebijakan itu.
Slogan land reform
di Iran adalah satu kamuflase penghancuran total ekonomi agraris yang
direncanakan untuk memberikan jaminan keuntungan maksimum bagi keluarga
raja, sebuah oligarki yang terikat kepada kepentingan agribisnis keluarga raja dan pihak asing, terutama perusahaan-perusahaan yang berpusat di Amerika Serikat, Eropa, dan Israel.
Memang, sejumlah bidang tanah tertentu dibagi-bagikan kepada kalangan
petani. Tetapi, bidang-bidang tanah tersebut nyaris tak dapat ditanami,
dan pembagiannya pun tidak gratis melainkan harus dibayar dengan uang
yang disetorkan ke bank-bank yang dikuasai keluarga raja. Sementara
itu, bidang-bidang tanah yang luas dan subur dikecualikan dari
undang-undang, dan itu dimasukkan ke dalam pemilikan langsung keluarga
raja di bawah penguasaan Yayasan Pahlevi. Tentu saja, yayasan ini
merupakan kedok bagi kiprah keluarga raja atau untuk melindungi
kepentingan agribisnis asing tertentu yang menggunakan tanah agraria
Iran untuk ditanami tanaman-tanaman yang tidak dikonsumsi di Iran atau
untuk dipasok di pasar luar negeri. Sebagai contoh, areal tanah yang
luas disediakan untuk budidaya asparagus, komoditas pangan yang sama
sekali tidak dikenal dalam menu makanan rakyat Iran.
Di sisi lain, mentega hasil produksi Iran semakin sukar didapatkan
sehingga di pasar raya Teheran hanya dapat ditemui mentega buatan
Denmark.
Penghancuran ekonomi pertanian seperti itu telah menyebabkan
depopulasi besar bagi penduduk pedesaan yang kemudian mendorong derasnya
urbanisasi untuk mendapatkan pekerjaan dan mempertahankan hidup.
Parahnya lagi, kelas tuan tanah dikondisikan untuk menjadi spekulator-spekulator real estate di kawasan perkotaan, dan juga pedagang ekspor-impor. Dapat dipastikan, secara finansial, mereka ini sangat diuntungkan.
Slogan tentang Hak Perempuan
Sementara itu, kebijakan
Syah Pahlevi yang terkait dengan Hak-Hak Perempuan lebih banyak
dimaksudkan untuk konsumsi luar negeri, dan bukan untuk kepentingan
domestik. Ini disebabkan karena para penasehat luar negeri Syah
menyadari pandangan negatif masyarakat Barat terkait dengan kebiasaan
sebagian besar kaum Muslimin dalam memperlakukan perempuan. Cara ini
dipandang sangat ampuh dalam memosisikan Syah sebagai tokoh yang
berpikiran maju, berjasa, dan memerhatikan kepentingan Muslimat Iran
yang tertindas.
Realitasnya telah terjadi transformasi besar dalam peran sosial-politik
perempuan Iran selama dua puluh lima tahun — atau paling kurang lima
belas tahun — tetapi arah perubahannya bertentangan dengan yang
dikehendaki rezim itu. Perempuan Iran mendapatkan emansipasinya bukan
melalui tindakan-tindakan yang ditetapkan oleh penguasa, tetapi justru
dari perjuangan mereka melawan rezim tersebut. Sebagai konsekuensinya,
banyak perempuan Iran yang hidup dalam penghinaan, penyiksaan,
pemenjaraan, bahkan kematian syahadah (syahid).
Dalam sejumlah deklarasi Ayatullah Khomeini sejak Maret 1963 — sebagai
bagian dari perjuangan beliau menentang Syah yang telah melakukan
kebohongan publik dengan berlindung di balik slogan “Revolusi Putih —
tidak didapati istilah yang baku tentang land reform dan
hak-hak perempuan. Dan sangat nyata sekali bahwa hingga menjelang
Revolusi Islam, pers Amerika Serikat dan Inggris mensosialisasikan
istilah: kaum Muslim konservatif, reaksioner, dan fanatik yang berjuang
melawan Syah yang memaksakan kebijakan land reform dan rencana pengambilalihan tanah.
Hak Istimewa Amerika Serikat dan Inggris
Dalam
deklarasi-deklarasi Imam Khomeini (yang dibuat beliau sejak tahun
1963) — yang hingga kini masih terpelihara rapih dan dapat dibaca oleh
siapa pun yang mengerti bahasa Parsi — beliau memusatkan perhatian pada
berbagai tema lain. Pertama, beliau menentang pelanggaran
Syah, yang terus-menerus, terhadap Undang-Undang Dasar dan Sumpah yang
diikrarkannya (Syah) ketika naik tahta. Sebagaimana diketahui, dalam
ikrar tersebut dinyatakan bahwa ia akan memelihara dan melindungi Islam.
Kedua, Imam Khomeini menentang tunduknya Syah pada kekuatan-kekuatan asing, terutama Amerika Serikat dan Israel.
Terkait dengan Revolusi Islam, Imam memandang sangat penting masalah
Israel, mengingat Israel menempati urutan kedua — setelah Amerika
Serikat — sebagai penyokong utama kediktatoran Syah Reza Pahlevi..
Sayangnya, ini tidak diketahui umum akibat embargo berita (informasi)
yang dilakukan oleh pihak yang mengklaim diri sebagai pers merdeka
menurut standar Barat.. Sudah menjadi rahasia umum pada masa itu bahwa
ada dua hal pokok yang sama sekali tidak boleh dikomentari atau dikritik
oleh publik, pertama adalah keluarga kerajaan, sedangkan yang kedua
adalah Israel. Aturan ini sangat dipegang teguh oleh SAVAK, polisi
rahasia Syah yang didirikan oleh Amerika Serikat (AS). Yang menarik
adalah bahwa AS pun masih boleh dikritik dalam hal-hal tertentu.
Sebaliknya, “nama” Israel disebut pun tidak boleh.
Pada tahun 1963, Imam Khomeini — dengan karakter khasnya yang tidak
mengenal kompromi sedikit pun terhadap kebatilan — mematahkan aturan itu
seraya membuka kedok kerjasama yang sangat erat antara Israel dan
rezim Pahlevi, baik di bidang militer, politik, intelijen maupun
ekonomi.
Serangan ke Qum
Setelah Imam Khomeini berbicara pada sebuah madrasah (hawzah) di Qum — pada bulan Maret 1963 — terjadilah serangan di madrasah tersebut oleh
gabungan tentara dan polisi. Sejumlah orang syahid dalam peristiwa
ini, sedangkan Imam Khomeini ditahan beberapa lama, kemudian dibebaskan.
Akan tetapi, segera setelah bebas, beliau meningkatkan intensitas dan
frekuensi serangan-serangannya terhadap rezim tiranik. Pada bulan Juni
tahun itu juga (1963) — yang bertepatan dengan bulan Muharram — Imam
melancarkan kampanye menyeluruh dalam rangka pembentukan opini publik
dengan menggerakkan, secara terkoordinasi, para pemimpin agama (ulama).
Melalui serangkaian deklarasi, beliau terus menyerang ketundukan Syah
kepada kekuatan-kekuatan asing, terutama Amerika Serikat (AS) dan
Israel; di samping juga tindakan Syah yang menginjak-nginjak ajaran
Islam dan Undang-Undang Dasar Iran. Patut dicatat, satu topik khusus
yang menjadi pemicu kebangkitan gerakan di bulan Juni 1963 itu adalah
pemberian konsesi kepada para personel militer AS, di mana mereka diberi
pengecualian sepenuhnya dari jurisdiksi Iran sehingga — dalam bahasa
Imam Khomeini — apabila anjing seorang prajurit AS menggigit Syah
sendiri, misalnya, maka Syah tidak dapat menuntutnya secara hukum.
Pemberian konsesi istimewa — dan juga kontrak pinjaman senilai 200 juta
dollar dari AS untuk pembelian peralatan militer atau alat utama sistem
persenjataan (alutsista) Angkatan Bersenjata Iran (waktu itu
kekuatannya menempati urutan ke-5 terbesar di dunia) — memberikan
gambaran jelas betapa rezim Syah Reza Pahlevi telah menggadaikan diri
kepada kekuatan-kekuatan asing imperialistik.
Dengan tegas Imam Khomeini mengatakan bahwa pemungutan suara di Majlis
(Perwakilan Rakyat) yang telah mengesahkan ketentuan atau peraturan
tersebut harus dianggap batal, tidak sah, dan bertentangan dengan
Al-Qur’an. Beliau kemudian mengeluarkan seruan kepada tentara Iran
agar bangkit untuk menggulingkan rezim despotik Syah Reza Pahlevi, dan
kepada rakyat dianjurkan untuk — secara total — tidak lagi mentolerir
para tiran yang memperbudak bangsa Iran.
Kebangkitan 5 Juni 1963
Pada tanggal 15 Khordad (15 Juni 1963) terjadi kebangkitan besar
serentak di berbagai kota di Iran, yang kemudian ditumpas secara sadis
dan biadab oleh rezim Syah. Perlu diketengahkan bahwa sebelumnya, Syah
juga gemar memberikan perintah kepada para polisi rahasia dan tentaranya
untuk menembak mati siapa pun yang menjadi targetnya. Menurut
perkiraan, pada hari itu (15 Juni 1963) — dan pada saat-saat lain yang
memiliki hubungan dengannya — ada sekitar 15.000 rakyat yang terbunuh.
Akibat dari peristiwa tersebut Imam Khomeini ditangkap lagi, kemudian
diasingkan ke Bursa di Turki. Dalam hubungan ini, yang menarik adalah
bahwa selama berada di Turki, Imam ditahan di suatu rumah yang dijaga
ketat oleh polisi Iran, padahal hal tersebut jelas bertentangan dengan
hukum yang berlaku di Turki. Namun, ini mudah dipahami karena Perdana
Menteri Turki pada masa itu adalah Suleyman Demirel, yang konon dikenal
sebagai anggota “freemason”.
Selanjutnya, pada bulan Oktober 1965, Imam Khomeini diperbolehkan
meninggalkan tempat pengasingan di Bursa untuk dipindahkan ke lingkungan
yang lebih sesuai, yakni di Najaf, sebuah kota di Irak yang menjadi
salah satu pusat pendidikan masyarakat Syi’ah dan juga sebagai tempat
perlindungan pemimpin-pemimpin agama dari Iran. Sebagai misal, pada
abad ke-19 dan awal abad ke-20 sejumlah pemuka agama yang mendukung
gerakan konstitusi dan boikot tembakau (di Iran), memberikan
pengarahan-pengarahannya dari tempat ini karena dianggap relatif aman.
Kendati demikian, kepindahan Imam ke Najaf tidak berarti beliau telah
menemukan tempat yang benar-benar aman. Terbukti, Imam sering mendapat
gangguan dari para pengikut Partai Ba’ath (sebuah partai berhaluan
sosialis-nasionalistik) yang kebetulan sedang melancarkan aksi
penindasan umum terhadap rakyat Irak.
Menggerakkan Rakyat Iran dari Najaf
Dari Najaf, Imam Khomeini melanjutkan pengarahan-pengarahan secara
berkala, terutama dengan mengeluarkan deklarasi-deklarasi terkait dengan
berbagai persoalan yang dihadapi rakyat dan bangsa Iran. Sebenarnya,
Syah sangat berharap bahwa dengan mengasingkan Imam dari Iran, maka
pengaruh dan popularitasnya akan berakhir. Namun, yang terjadi adalah
sebaliknya. Syah dibuat frustrasi.
Pers Barat berpendapat bahwa kemunculan Imam Khomeini secara menonjol
dalam memimpin “revolusi” adalah sebagai akibat dari adanya kevakuman
pemimpin ummat (rakyat), dan karena tidak adanya alternatif pemimpin
lain yang dianggap cocok. Tetapi penilaian seperti ini lebih disebabkan
ketidaktahuan mereka tentang perkembangan bertahap terkait dengan peran
Imam Khomeini, terutama selama masa pengasingan beliau lebih dari 14
tahun. Misalnya saja, selama beliau diasingkan di Najaf, beliau tidak
tinggal diam. Justru dari sana beliau mengeluarkan sejumlah maklumat
terkait dengan berbagai persoalan yang dihadapi oleh bangsa dan rakyat
Iran. Tentu saja, maklumat-maklumat tersebut berpengaruh besar dalam
pembentukan opini publik di Iran. Sebagai catatan, pada bulan April
1967, Imam Khomeini mengirimkan surat terbuka kepada Perdana Menteri
Iran, Amir Abbas Hoveyda, yang isinya menentang Hoveyda dan Syah atas
pelecehan mereka yang terus-menerus terhadap ajaran Islam dan
Undang-Undang Dasar Iran.
Imam juga mendasarkan perjuangannya dengan melakukan survei yang luas
atas berbagai kebijakan pemerintah, kemudian mengkritiknya satu demi
satu, seraya memperingatkan penguasa bahwa pada satu saat mereka akan
dituntut untuk bertanggungjawab.
Dapat dibayangkan bagaimana perasaan tidak percaya dan ejekan Hoveyda
ketika menerima surat itu, mengingat Imam masih berstatus sebagai
seorang yang terasing dan pengikut-pengikutnya banyak disembelih di
jalan-jalan.
Namun, hal itu patut dipandang sebagai salah satu ciri khas yang
menonjol dari kepribadian Imam, bahwa setiap perkataan yang telah
dilontarkannya pastilah dimaksudkan secara bersungguh-sungguh. Dan itu,
tentu saja, berkontribusi positif terhadap keefektifan kepemimpinannya.
Peringatan Imam — kepada Hoveyda — tersebut kelak terbukti
kebenarannya, di mana pada tahun 1979 (setelah kemenangan Revolusi Islam
Iran), Hoveyda dieksekusi mati oleh Pengadilan Revolusi.
Seruan kepada Kaum Muslimin Sedunia
Satu contoh lain tentang deklarasi Imam Khomeini ketika berada di
pengasingan, yang memiliki hubungan dengan serangkaian peristiwa yang
terjadi pada bulan Mei 1970. Pada saat itu, sebuah konsorsium penanaman
modal Amerika Serikat menyelenggarakan konferensi di Teheran untuk
membicarakan jalan terbaik dan paling efektif dalam rangka eksploitasi
ekonomi dan sumber daya alam Iran.
Menyusul peristiwa ini, salah seorang pengikut Imam Khomeini,
Ayatullah Saidi, mengeluarkan deklarasi dalam masjid yang dipimpinnya di
Teheran. Inti deklarasi itu adalah menentang konferensi tersebut dan
menyerukan rakyat Iran untuk bangkit dan memprotesnya. Ia kemudian
ditahan dan dianiaya hingga syahid oleh polisi rahasia, SAVAK.
Atas kejadian ini, Imam Khomeini mengeluarkan seruan kepada rakyat
Iran untuk memperbaharui dan menyegarkan perjuangan mereka melawan rezim
Pahlevi.
Imam Khomeini kemudian menentang pengeluaran uang secara mubadzir
untuk merayakan peringatan 2.500 tahun kerajaan, sebuah pesta perayaan
yang digagas dan direncanakan dengan matang oleh orang-orang Israel yang
menjadi penasehat rezim Syah Pahlevi.
Ketika Syah meresmikan berlakunya sistem satu partai di Iran, Imam juga
mengutuk dengan keras bahwa siapa saja yang turut serta dalam partai
itu secara suka rela tanpa paksaan, maka ia adalah berkhianat terhadap
bangsa dan Islam.
Seruan-seruan lainnya yang berkaitan dengan kepentingan publik dan
masyarakat Islam di seluruh dunia juga banyak dilontarkan Imam Khomeini.
Salah satu yang penting adalah tentang peranan (operasi rahasia)
Israel di negeri-negeri Islam.
Terkait dengan itu, pada tahun 1971 dan selama masa revolusi, Imam
mengeluarkan seruan atau deklarasi-deklarasi kepada dunia Islam; tentu
saja diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, dan — antara lain —
dibagi-bagikan selama musim Haji. Dalam deklarasi-deklarasi ini, beliau
menganjurkan pentingnya membangun solidaritas dan kerjasama di kalangan
kaum Muslimin sedunia untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka
hadapi bersama.
Peranan dalam Revolusi Islam
Dalam menggerakkan Revolusi Islam, ciri khas kepemimpinan Imam Khomeini
adalah bersifat langsung, dalam pengertian bahwa peristiwa-peristiwa
pada permulaan revolusi itu berhubungan langsung dengan beliau secara
pribadi.
Pada bulan Januari 1978, pers yang dikuasai pemerintah menerbitkan satu
artikel yang memfitnah Imam dengan dibumbui istilah-istilah keji dan
kotor. Artikel tersebut segera mendapatkan reaksi besar dan langsung
membangkitkan kemarahan rakyat, terutama di kota Qum. Setelah
kebangkitan awal di kota Qum itu — yang menelan korban jiwa cukup besar —
segera timbul serangkaian demonstrasi di seluruh Iran dengan intensitas
yang semakin meningkat. Sehingga, pada bulan Desember 1978, terjadilah
demonstrasi terdahsyat dan terbesar bukan saja dalam sejarah Iran,
tetapi juga dalam sejarah (dunia) modern. Keadaan ini memaksa Syah lari
terbirit-birit mengasingkan diri ke luar negeri, yang kemudian membuka
jalan bagi kemenangan Revolusi Islam.
Sebelum pecahnya demontrasi pada bulan Desember 1978 itu, Imam Khomeini
telah diusir dari Irak, tepatnya pada bulan Oktober 1978. Tentu saja
pengusiran ini tidak terlepas dari hasil kesepakatan antara rezim Syah
dan rezim Ba’ath (Irak). Menarik dicermati, menyikapi kejadian ini,
Imam Khomeini mempertimbangkan sejumlah negeri sebagai alternatif untuk
mengungsi. Sebenarnya, beliau lebih suka tinggal di suatu negeri Muslim,
seperti telah dinyatakannya secara terbuka. Tetapi, tidak ada satu pun
negeri Muslim yang memberikan peluang kepada beliau untuk tinggal
dengan aman dan sekaligus memberikan kesempatan bagi terselenggaranya
kegiatan-kegiatan beliau.
Realitas ini dapat dijadikan sebagai representasi tentang kondisi dan
status rezim-rezim yang sedang berkuasa di negeri-negeri Muslim pada
masa itu.
Karena dihadapkan pada ketidakmungkinan mendapatkan perlindungan dari
negeri-negeri Muslim mana pun — setelah diusir dari Irak — maka Imam
Khomeini pergi ke Paris (Perancis), di mana dari sana beliau masih dapat
dengan mudah berhubungan dengan para pendukungnya, baik itu yang ada di
Amerika Serikat, Eropa, dan tentu saja Iran..
Dari Paris, komunikasi-komunikasi dengan Iran jauh lebih mudah
ketimbang dari Najaf. Di sini (Paris) pula beliau lebih mudah
dihubungi pers dunia, bahkan oleh para wartawan yang anti Imam dan
secara intelektual maupun emosional (mental) tidak bersedia
merefleksikan amanat dan aspirasi-aspirasi Imam Khomeini.
Penutup
Dengan menyesal, kajian tentang proklamasi atau deklarasi-deklarasi
Imam Khomeini terkait dengan Revolusi Islam terpaksa kami tangguhkan.
Namun, secara singkat dapat dikatakan bahwa ketika revolusi tersebut
mencapai puncak-puncaknya yang baru, tampak ada satu gaya revolusioner
tertentu dari deklarasi-deklarasi yang dikeluarkan Imam menjelang tahun
1399 H (1979 M). Di situ muncul satu kefasihan dan kekuatan ekspresi
sehingga dapat dikatakan bahwa dari segi kesusasteraan Iran modern hanya
sedikit yang menyamai kualitas dan gaya penulisan deklarasi-deklarasi
itu.
Imam Khomeini kembali dari pengasingannya (Paris) ke Iran pada tanggal 1
Februari 1979. Tanpa dukungan pendanaan dari sumber pendapatan yang
handal, partai poliltik, kekuatan asing mana pun, dan tanpa melancarkan
aksi-aksi perang gerilya, Imam meneguhkan diri sebagai pemimpin sejati —
yang patut dipercaya — dari satu gerakan revolusi besar dan luhur.
Setelah terbunuhnya putera beliau, Ayatullah Mustafa Khomeini (pada
tanggal 23 Oktober 1977), di tangan agen-agen Syah yang ditugaskan di
Irak, muncul aneka fitnah di berbagai surat kabar yang ditujukan kepada
Imam. Tidak itu saja, sekadar catatan, pada tahun 1978 terjadi
pembunuhan murid-murid sekolah agama di Qum, Tabriz, dan kota-kota
lainnya. Dan pada tanngal 8 September 1979 terjadi lagi pembantaian
yang intensitasnya semakin meningkat hingga tanggal 11 Februari 1979.
Ini mengakibatkan 100.000 orang mati syahid dan 60.000 orang cedera.
Namun, Imam Khomeini dapat mengelola semua situasi itu dengan memukul
balik gerakan Syah Reza Pahlevi melalui sebuah Revolusi Islam yang
ditopang oleh kekuatan rakyat dan berkarakter Ilahiah, yang akhirnya
mampu menjungkirkan Syah dari kursi singgasana.
Singkatnya, kemenangan Revolusi Islam di bawah kepemimpinan Imam
Khomeini merupakan pencapaian cita-cita luhur rakyat Iran yang telah
lama mendambakan hadirnya pemerintahan yang sehat dan adil berdasarkan
Al-Qur’an (Islam). [**]
No comments:
Post a Comment