Tersebutlah sebuah monumen kayu di dekat pulau Corfu (Yunani) yang unik namun jarang dikunjungi. Letaknya diatas kota kuno Nicopolis ("Kota Kemenangan"). Dilihat dari bentuk potongan kayu-kayunya, arkeolog menyimpulkan bahwa kayu-kayu ini pastilah bagian dari kapal tempur kayu besar. Juga ditemukan bahwa waktu monumen ini masih utuh, dindingnya diukir sangat indah dan ada relief buritan kapal besar. Ini pastilah sebuah monumen kemenangan perang laut besar.
Dindingnya ala Romawi, tahunnya diperkirakan menjelang 1 Masehi, yaitu pada masa pemerinahan Kaisar Augustus. Inilah yang terjadi: Kapal yang diambil kayunya untuk membangun monumen ini adalah kapal Marcus Antonius. Monumen ini dibangun oleh mantan rekannya, yang lalu menjadi rival memperebutkan kursi tunggal pemimpin tertinggi Romawi: Octavian, yang kemudian dikenal sebagai Kaisar Augustus. Ini adalah peringatan kemenangannya di Pertempuran Actium, 31 SM, dimana ia berhasil mengalahkan Antonius dan Cleopatra VII, sekutu dan kekasihnya. Actium adalah pertempuran yang menjadi salah satu titik balik besar dalam sejarah dunia Barat. Lukisan modern pertempuran Actium:
Pertanyaan yang muncul: Begitu pentingkah pertempuran Actium? Apa saja pengaruhnya? Untuk menjawab ini, baiklah kita bertanya: Bagaimana jika kayu-kayu monumen itu adalah milik kapal-kapal Octavian? Dengan kata lain, bagaimana jika Marcus Antonius yang menang?
Di Actium, Octavian mengalahkan rivalnya yang terakhir, dan kemudian bisa melaksanakan rencana besarnya: menghilangkan dominasi aristokrasi dalam bentuk Senat, membangun tata kerajaan baru yang memusatkan kekuasaan pada seorang manusia saja. Actium juga mengakhiri 300 tahun kekuasaan dinasti peninggalan Alexander Agung atas Mesir, dan sekaligus mengakhiri kerajaan besar Hellenistic yang terakhir. Melalui kemenangan Octavian, lengkaplah pendudukan Romawi di timur Mediterania, dan dimulailah berkuasanya para kaisar Romawi, dari yang baik (Marcus Aurelius) sampai yang gila (Caligula, Nero).
Di film Cleopatra (dibintangi Liz Taylor), digambarkan Cleopatra adalah sosok wanita yang sangat cantik dan terkenal memiliki hidung yang sangat mancung. Sebuah kata mutiara Mesir kuno berbunyi "Jika hidung Cleopatra lebih pesek sedikit saja, maka bumi pun akan berubah bentuknya". Namun justru sumber-sumber primer tentang Cleopatra tidak menyebutkan kecantikannya. Plutarch (penulis biografi Julius Caesar dan Marcus Antonius), menulis bahwa daya tariknya yang terutama adalah suara indahnya dan karakternya yang kuat dan dicintai rakyat, namun tidak menyebut bahwa Cleopatra sangat cantik. Apalagi sebuah koin bergambar Cleopatra VII yang ditemukan di ALexandria, yang disahkan oleh sang Ratu, menggambarkan sang Ratu lebih tepat sebagai "berhidung besar". Pada Ratu inilah Marcus Antonius (dan sebelumnya Julius Caesar) jatuh hati, bahkan Marcus Antonius berhubungan sangat intim dengannya. Baiklah kita mundur dulu untuk mengikuti kisah Cleopatra, dari masa Julius Caesar.
Dalam sebuah kunjungan ke Mesir tahun 48 SM, Julius Caesar, sang penakluk berumur 52 tahun bertemu dengan Cleopatra VII yang masih berusia 21 tahun. Pada saat itu, Cleopatra sedang dalam keadaan perang saudara dengan penguasa Mesir, Ptolemy XIII yang adalah saudara laki-lakinya dan suaminya (!). Cleopatra dan Ptolemy keduanya adalah garis keturunan langsung dari Ptolemy, jenderal yang berjuang bersama Alexander Agung yang kemudian menduduki Mesir dengan kekerasan. Untuk menjaga kemurnian tahta garis keturunan Ptolemy, mereka saling menikah antar saudara. Meskipun berasal dari satu keluarga, perebutan kekuasaan tak jarang terjadi. Caesar muncul sebagai pihak ketiga dalam perebutan kekuasaan ini, memihak Cleopatra dan mengalahkan Ptolemy XIII. Jadilah Cleopatra penguasa tunggal di Mesir.
Meskipun tidak dapat disangkal Caesar menaruh hati pada Cleopatra (bukanlah kebetulan jika anak Cleopatra yang lahir kemudian diberi nama Caesarion atau Caesar Kecil), jelas motif Caesar memihak Cleopatra lebih jauh dari segi romantis. Caesar ingin mencari seseorang berkarakter kuat untuk membantu tugasnya sebagai pemimpin tunggal Romawi. Cleopatra sangatlah cocok untuk ini: meskipun seorang wanita muda, ia memiliki semua syarat yang dibutuhkan sebagai client-ruler di daerah yang merupakan pinggiran kekuasaan Romawi. Ia adalah keturunan Ptolemy yang sah, ia diterima oleh rakyat Mesir dan dihormati di daerah-daerah lainnya berkat kepandaiannya, dan yang terutama, ia menunjukkan dirinya bisa melakukan apapun untuk mengambilalih kekuasaan; ia tidak bisa diluluhkan oleh sentimen keluarga untuk mencapai tujuannya. Di samping itu, ia pandai memimpin rakyat Mesir yang sangat beragam: pribumi Mesir, Yunani-Macedonia, dan Yahudi hanyalah tiga kelompok etnis yang terbesar. Pendeknya, seorang pemimpin wanita yang ideal.
Cleopatra pun pintar membaca situasi politik pada masa itu, dan ia tahu benar dua kunci penting untuk mempertahankan dinastinya di Mesir. Pertama, ia harus mendapatkan dukungan dari pihak Romawi, dan ini berarti mendapatkan dukungan dari orang-orang kuat Romawi. Dengan baik ia berhasil memperoleh dukungan ini dengan mengikat Caesar.
Kedua, ia mengerti bahwa bagi Roma, Mesir sangat berharga namun bisa menjadi masalah karena kekayaan dan kondisi tanah Mesir yang relatif aman terhadap invasi dari laut dan darat. Karena dua hal inilah, dinasti Ptolemy di Mesir bisa bertahan. Kekayaan Mesir sangatlah menggiurkan aristokrat-aristokrat Romawi yang senang mengumpulkan kekayaan lalu menghamburkannya dalam berbagai bentuk. Namun ini pun membahayakan, karena sekali seorang Roma menguasai Mesir, petinggi-petinggi lain tahu bahwa ia potensial menjadi ancaman besar bagi Roma dan perang tak akan terelakkan.
Jadilah Mesir tetap merdeka, dan kemerdekaan ini terus dipelihara melalui "adu kelihaian" dengan para politikus Romawi sambil menjelaskan bahwa kekayaan Mesir selalu tersedia bagi "orang Roma yang benar" tanpa harus melalui jalur aneksasi.
Intinya, hubungan Caesar dan Cleopatra menguntungkan kedua belah pihak (tepatnya tiga: baik untuk Caesar, baik untuk Roma, baik untuk Cleopatra). Bahwa Cleopatra seorang yang menarik hati secara seksual, mungkin ada benarnya, tapi yang pasti itu bukan cerita utamanya.
Pembunuhan Julius Caesar tahun 44 SM membawa perkembangan baru, berujung dengan naiknya triumvirat Octavian, Marcus Antonius, dan Marcus Lepidus. Pembunuh-pembunuh Caesar (Brutus, Cassius) saat itu mengumpulkan kekuatan besar di Timur dengan cara mengenakan pajak bagi provinsial-provinsial Romawi dan menekan client-kingdoms di Timur, termasuk Mesir. Ini problematis bagi Cleopatra: haruskah ia secara terbuka namun dengan halus menolak, ataukah menyetujui keinginan mereka ini untuk menggunakan kekayaan Mesir? Ataukah diam dulu saat ini, tunggu siapa yang memenangkan pertempuran, baru bertindak?
Ia mengambil pilihan kedua, bukan karena ingatannya akan Caesar, tetapi lebih karena kelaparan dan wabah penyakit yang tengah melanda Mesir. Ia sendiri membangun armada dan memerintahkan mereka berlayar membantu para konspirator, namun karena cuaca buruk, armada ini kembali ke Alexandria sebelum bertemu kawan atau lawan. Dan karena cuaca buruk ini, jadilah Cleopatra pihak yang pasif, yang hanya bisa menunggu nasib dirinya dan Mesir; ia tidak bisa menentukan jalannya perang. Ini membuatnya insaf: ia tidak akan lagi bertindak pasif, menunggu nasib. Sementara itu, triumvirat berjaya di Phillippi berkat kepemimpinan Antonius, kemudian membagi wilayah empire: Antonius di Timur, Octavian di Barat.
Sekarang, triumvirat tersebut memutuskan untuk mengganjar client-states di Timur: yang membantu para konspirator harus dihukum, yang menolak membantu akan diberi hadiah. Namun bagaimana dengan Cleopatra, yang bersikap "netral"? Untuk itu harus ada persidangan sendiri dengan orang tertinggi Romawi timur (Marcus Antonius), dan ini pun segera dilakukan: Antonius memanggil Cleopatra untuk datang ke markasnya di Tarsus, meminta pertanggungjawaban atas apa yang terjadi.
Dan terjadilah salah satu pertemuan paling penting dalam sejarah: Cleopatra mendarat di Tarsus dengan rombongan yang luar biasa mewah, mengundang Antonius ke makan malam mewah, dan dengan cepat meyakinkannya bahwa apapun yang dilakukan Cleopatra dan Mesir ketika perang terjadi, itu tidak penting; yang lebih penting adalah bahwa berkuasanya Cleopatra di Mesir sangat penting bagi Antonius. Mungkin setelah ini, mereka menjadi pasangan: Antonius menjadi tamu kehormatan sang Ratu di Alexandria pada musim dingin. Namun semua lakon tahu, ketertarikan seksual ini hanyalah bagian kecil dari permainan politik yang jauh lebih besar, yang akan menentukan nasib banyak pihak: Antonius, Cleopatra, Octavian, Romawi, Mesir, dan (pada ujungnya) kebudayaan Barat.
Antonius menyadari bahwa dia perlu dukungan kekayaan sang Ratu untuk mempertahankan dan mengejar ambisi pribadinya dan Romawi di dua front. Di Timur, kerajaan Parthia menunjukkan gejala ekspansionis yang mengkhawatirkan. Mereka mengambil keuntungan dari Perang Saudara (42 SM), dengan menekan Syria yang dikuasai Romawi, dan keberadaan Parthia makin mengancam keamanan Romawi Timur. Mereka ini memiliki reputasi militer yang baik: tahun 52 SM, mereka mengalahkan Marcus Crassus, rekan Julius Caesar, di Carrhae dan ini adalah salah satu kekalahan paling memalukan dalam sejarah Romawi sampai waktu itu. Panji-panji legiun Romawi berlambang elang, yang hilang di Carrhae, belum direbut kembali. Jelas ini harus jadi prioritas utama Antonius.
Tapi ada-ada saja yang mengganggu rencana Antonius: sanak keluarga dan loyalis Marcus Antonius mengumpulkan kekuatan dan menyerang kekuatan Octavian. Lebih parahnya, kekuatan ini berhasil dikalahkan Octavian. Kerumitan ini masih ditambah dengan masuknya Sextus Pompeius (salah satu anak Pompeius, triumvir bersama Caesar). Ia membangun armada laut independen yang besarnya tak dapat disepelekan, dan potensial mengacau jalur perdagangan Romawi di Mediterania. Mengetahui ada keretakan antara Octavian dan Antonius, ia coba mengompori: ia menawarkan bantuan pada Antonius untuk mengalahkan Octavian. Namun mengetahui akal bulusnya, Antonius menolak dan memutuskan untuk memperbarui hubungan dengan Octavian. Ia menikahi Octavia, adik Octavian, dan pembagian tugas dipertegas: Octavian mengurus masalah di Italia dan Antonius bertanggung jawab atas masalah Parthia. Hubungan kedua orang ini pun membaik; apalagi ditambah dengan keberhasilan Ventidius, komandan pasukan Antonius, menghalau Parthia dari Syria pada saat yang sama. Terlihat seakan-akan Triumvirat Kedua ini akan berlangsung lama.
Anggapan itu ternyata hanya dari luar saja. Octavian ternyata memiliki ambisi menguasai seluruh Romawi, dan untuk itu harus membuktikan diri sejajar dengan Marcus Antonius di mata orang Romawi, terutama para legioner. Octavian tidak memiliki otak militer se-brilian Antonius, tapi ia sangat lihai berpolitik dan membentuk opini publik, dan terutama menarik orang berpihak padanya. Salah satu orang terpenting yang berpihak padanya adalah Marcus Vipsanius Agrippa, seorang jenderal yang luar biasa lihai dalam mengorganisasi operasi militer skala besar.
Octavian segera melihat peluang pembuktian itu pada armada Sextus Pompey: dengan menghancurkan armada besar itu, namanya akan terangkat. Namun tidak semudah itu: tanpa bantuan Antonius, kapal-kapal Octavian banyak yang karam kena badai, dan Sextus menang dimana-mana. Melihat ini, Antonius membuktikan diri sebagai rekan yang setia; ia datang ke Roma dan menawarkan membantu Octavian dengan armadanya yang lebih berpengalaman. Octavian justru dengan bangga menolak; ia tidak ingin nama Antonius ada dalam kemenangan ini. Dan demikianlah pertempuran dengan Sextus terus berlanjut, pajak di daerah kekuasaan Octavian ditingkatkan (yang sedikit banyak membuat rakyat makin antipati), dan Antonius lama-lama sadar: Triumvirat ini akan terus berlangsung sampai Octavian merasa cukup kuat untuk menguasai seluruh Romawi, yang berarti mengalahkan Antonius sendiri.
Tahun 37 SM, barulah Antonius mulai beroperasi melawan Parthia (yang tertunda karena keinginan Antonius membantu Octavian melawan Sextus). Meskipun Antonius dan Octavian setuju untuk menggunakan orang-orang Italia sebagai tempat rekruitmen anggota militer bersama, kenyataannya Octavian jelas berusaha menghalang-halangi usaha Antonius membangun tentara sendiri yang berdasarkan rekruitmen orang-orang Italia. Jika Antonius ingin melawan orang Parthia, ia harus memiliki dana yang besar untuk merekrut dan melatih tentara yang banyak. Ini berarti ia harus bergantung pada Mesir dan Cleopatra.
Setelah berunding, diputuskan bahwa Cleopatra bersedia mendanai legiuner Antonius, dan sebaliknya Antonius memberikan Cleopatra kekuasaan atas beberapa wilayah kekuasaan Romawi di Timur, dan yang terpenting: Antonius mengakui dua anak kembar hasil hubungannya dengan Cleopatra. Akan makin kuatlah kedudukan Cleopatra: ia adalah ibu dari dua anak orang Romawi yang tertinggi di Timur. Makin tampaklah kelihaian Cleopatra dalam berpolitik: jika Antonius menepati janji, masa depan Mesir yang merdeka, dipimpin oleh jalur keturunan Romawi-Macedonia, sudah pasti.
Tahun 36 SM adalah saat-saat menentukan. Secara bersamaan, Octavian bertempur melawan Sextus dengan kekuatan barunya dan Antonius melaksanakan invasi besar-besaran terhadap Parthia. Namun keduanya berlangsung diluar dugaan: Octavian tanpa diduga berhasil menghancurkan armada Sextus yang jauh lebih kuat dan berpengalaman (tentu berkat jasa besar Agrippa), sedangkan kampanye Antonius di Parthia tidak disertai Dewi Fortuna: kampanyenya gagal total, bahkan menjadi malapetaka. Pendeknya, Antonius kehilangan 32,000 orang (2/5 jumlah pasukannya) karena kelaparan, cuaca buruk, atau penyakit. Kemenangan besar Octavian dan kekalahan besar Antony menjadi titik balik hubungan kedua orang ini, sampai akhirnya final showdown di Actium.
Kini Antonius tidak bisa lagi berperan ganda seperti sebelumnya: sebagai rekan kooperatif Octavian dalam mengatur empire Romawi, sebagai rival temporer Octavian sebagai pemegang kekuasaan tertinggi Romawi, dan sebagai pemimpin bebas di Timur (Hellenistik). Setelah pamornya jatuh, salah satu peran tersebut harus diprioritaskan dan yang lain harus dilepaskan. Keputusan Antonius: ia tidak lagi menjadi rekan kooperatif Octavian, dan ia memutuskan menjadi pemimpin dinasti Hellenistik di Timur dengan dukungan Cleopatra. Rivalitas dengan Octavian tetap ada, namun sekarang antara kekuatan Timur (dipimpin Antonius dan dibiayai Cleopatra) melawan kekuatan Barat (dipimpin Octavian dan dibiayai pembayar pajak Roma). Sebagai finalisasi keputusan ini, Antonius menolak bantuan tentara dan logistik dari istrinya Octavia: ia merasa bahwa yang bisa didapatkannya dari Cleopatra jauh lebih baik daripada itu.
Bertindak sebagai seorang pemimpin Hellenis, ia mengadakan aliansi dengan dinasti-dinasti di Asia, misalnya kerajaan Media yang membantunya dalam perang melawan Parthia. Ia juga mengalahkan raja Armenia yang memberontak, dan menyelenggarakan pesta besar di Alexandria. Secara formal ia memberikan kuasa wilayah-wilayah Asia bagi anak-anaknya dengan Cleopatra. Tindakan-tindakan Antonius benar-benar dimanfaatkan oleh Octavian untuk mengambil hati orang Romawi untuk memihak dirinya, menunjukkan bahwa Antonius sudah tidak loyal lagi pada Roma. Mengetahui bahwa banyak partisan Antonius di Roma yang masih yakin bahwa ia masih memihak Romawi (terutama mengingat dirinya sebagai bawahan Caesar yang loyal), Octavian menggeser pusat perhatian dari Antonius ke Cleopatra; Octavian membuat seakan-akan Cleopatra ingin sendirian berkuasa atas Kekaisaran Romawi, dan persekutuan Antonius dan Cleopatra dianggap sebagai pengkhianatan. Akibat propaganda ini, senator-senator yang memihak Antonius kabur ke Timur, dan Octavian pun makin menanamkan kekuasaan di Roma.
Denah pertempuran Actium:
Tahun 32 SM, sudah tidak diragukan lagi bahwa akan terjadi perang saudara besar. Dengan dukungan dana dari Cleopatra, Antony berhasil mengumpulkan kekuatan yang luar biasa besarnya: 75,000 tentara Romawi (termasuk veteran-veteran kampanye di Phillippi dan Parthia), 25,000 tentara infanteri non-Romawi, 12,000 pasukan kavaleri. Sedangkan armadanya terdiri dari 500 kapal tempur berat dan 300 kapal dagang untuk urusan logistik. Meskipun memiliki pasukan sebesar ini, berbeda dengan Caesar dahulu, Antonius tidak bisa menyerang pasukan Octavian di Italia, karena ia akan masuk mulut macan propaganda Octavian "Cleopatra sang Ratu penguasa dunia".
Ia memutuskan menunggu di suatu posisi defensif di Actium, dan ini adalah sebuah kesalahan: meskipun secara strategis masuk akal karena untuk menyerang Octavian harus membentangkan jalur logistiknya sepanjang laut Adriatik, tetapi sejarah membuktikan bahwa strategi defensif terbukti fatal dalam kasus Pompeius (masa Caesar) dan para konspirator pembunuh Caesar dalam Perang Saudara.
Lebih parahnya lagi, moril tentara Antonius terpengaruh dengan hadirnya Cleopatra di kamp. Cleopatra, yang tidak ingin bertindak pasif, bermaksud baik ingin melihat sendiri kemajuan pasukan yang didanainya dan turut membantu mengambil keputusan di saat genting; akan tetapi, ini malah menjadi bumerang, karena malah makin meyakinkan tentara Romawi bawahan Antonius bahwa tuduhan Octavian benar: mungkin Cleopatra benar-benar menguasai Antonius dan menjadikannya boneka. Jadi mereka berperang untuk siapa? Ternyatalah bahwa peran yang diambil Antonius sebagai pemimpin dinasti Hellenistik membuatnya sulit bekerjasama dengan orang-orang Romawi bawahannya.
Sementara itu di pihak Octavian, Agrippa senantiasa menunjukkan kemahirannya sebagai admiral. Armada Octavian memilih bermarkas di tempat yang kemudian menjadi Nicopolis, di utara kamp Antonius, dipisahkan oleh selat sempit di Semenanjung Actium. Antonius mencoba memaksakan perang darat dengan cara memotong kamp Octavian dari sumber air, sedangkan Agrippa mencoba memblokir kapal-kapal perang Antonius di Teluk Ambracia. Pada fase awal, kedudukan stalemate: Antonius tidak berani bertempur di laut, Octavian tidak berani bertempur di darat. Akan tetapi penyakit terus menggerogoti pasukan Antonius; sang waktu memihak Octavian.
Tanggal 2 September, 31 SM, Antonius sudah putus asa. Pasukan terus menipis, pasokan logistik makin berkurang. Satu-satunya cara untuk menyelamatkan dirinya adalah mengambil resiko pertempuran terbuka di laut dengan kapalnya yang masih tersisa, 230 kapal perang. Terjadilah pertempuran laut besar-besaran (lihat peta), kedua pasukan bertempur gagah berani, namun pada akhirnya jumlah juga yang menentukan: Octavian dengan 400 kapalnya, dan pasukan yang lebih segar, akhirnya menang. Tengah hari, ketika angin bertiup, sekonyong-konyong sebuah skuadron 80 kapal, dipimpin oleh kapal bendera Cleopatra, melarikan diri dari gelanggang pertempuran, kembali ke Mesir. Antonius pun mengikuti.
Meskipun Antonius kabur dan Octavian memenangkan perang di laut, tentara darat Antonius yang masih loyal mundur teratur ke Macedonia. Octavian yang politikus ulung mengerti bahwa tentara yang mundur ini janganlah ditekan dengan pertempuran frontal. Ia memilih berunding dengan tentara ini, dan menawarkan akan membeli mereka dengan harga tinggi. Dengan kerajaan timur yang kaya sudah di depan mata, tentu uang bukan masalah bagi Octavian. Dan benar saja, Antonius dan Cleopatra tidak mampu mempertahankan Mesir terhadap invasi yang datang kemudian. Antonius bunuh diri dengan pedang, dan Cleopatra, yang sempat ditawan Octavian, memilih mati dengan bisa ular kobra. Octavian pun menguasai Mesir dan kekayaannya, berhasil menyatukan Romawi timur dan barat dibawah kekuasaannya sendiri. Ia kelak akan digelari "Augustus Caesar" oleh Senat, memerintah sampai 14 M, dan memulai era para Kaisar.
Kuncinya adalah kekalahan Antonius di Parthia tahun 36 SM. Sekarang bagaimana jika Antonius menang di Parthia? Ini sangat mungkin, apalagi Antonius sendiri jenderal yang mampu, tentaranya tengah tinggi moralnya, dan strateginya sudah benar (terbukti, kemudian jenderal-jenderal Roma berhasil menaklukkan Parthia melalui strategi ini). Yang jadi masalah hanya waktu mulainya kampanye yang tertunda. Dan tertundanya ini ironisnya terjadi karena Antonius menawarkan diri membantu Octavian melawan Sextus.
Kemenangan melawan Parthia akan berdampak besar bagi Antonius. Kemenangan Octavian terhadap Sextus jadi tidak ada apa-apanya. Di mata orang Roma, Antonius akan jadi lebih populer. Meskipun pertempuran seperti Actium tetap tidak terelakkan, pasukan Antonius yang bertempur moralnya tinggi, bertempur dipimpin oleh jenderal yang menang perang. Kemenangan tidak lagi menjadi pasti milik Octavian. Justru sebaliknya, sangat besar kemungkinannya Antonius bakal berjaya. Setelah menang, Antonius akan sementara kembali ke kota Roma, membersihkan golongan pro-Octavian yang masih tersisa sehingga ia bisa membentuk pemerintahan sesuai keinginannya. Kemungkinan besar, Antonius tidak se-ambisius Octavian untuk menjadi pemimpin tunggal atas Romawi -- lebih mungkin, Antonius akan membiarkan "kepemimpinan aristokrasi yang dipimpin oleh seorang pemimpin tunggal". Selama ini terjadi, ia harus membagi perhatiannya antara Roma dan Alexandria sebagai pemimpin dua dinasti: aristokrasi di Roma dan dinastinya sendiri dan Cleopatra di Alexandria. Maka Mesir tidak akan menjadi provinsi Romawi, tapi menjadi kerajaan independen, client-state Romawi yang diberi kuasa atas bagian timur Romawi. Dan kemungkinan besar berkembang menjadi kerajaan yang lebih baik daripada Romawi, karena terbukti bahwa keturunan-keturunan Ptolemy bisa memaksimalkan pendapatan sekaligus meminimalisir konflik budaya.
Salah satu perkembangan sosial yang dimungkinkan oleh berkuasanya Cleopatra (dan keturunannya) di Mesir adalah kesetaraan gender. Dinasti Ptolemy memberi keleluasaan bagi para wanita Mesir untuk bertindak seperti halnya pria: mereka bisa memimpin negara, mereka bisa menempati posisi-posisi penting di masyarakat, dan berdagang atas nama mereka sendiri. Apalagi ditunjang Cleopatra sebagai contoh yang baik. Ini sangat berbeda dengan diskriminasi gender dalam kebudayaan Romawi (yang terus terbawa sampai milenium ke-2 M!) Mesir akan menjadi pusat budaya yang berkembang pesat, ditunjang dengan datangnya imigran-imigran yang tertarik hidup di Mesir karena kemampuan pemerintahnya memerintah rakyat yang multi-budaya.
No comments:
Post a Comment