Sunday, August 14, 2011

Kisah PengIslaman Jawa & Runtuhnya Majaphit 3

Nusantara akan terguncang. Gempa Bumi, banjir bandang, angin puting beliung, ombak samudera naik ke daratan, gunung berapi memuntahkan laharnya berganti-gantian, musibah silih berganti, datang dan pergi. Bila waktu itu tiba, Alam telah melakukan penyeleksian. Alam akan memilih mereka-mereka yang 'berkesadaran tinggi'. Yang 'kesadarannya masih rendah', untuk sementara waktu disisihkan dahulu atau akan dilahirkan ditempat lain diluar Nusantara. Bila saat itu sudah terjadi, Sabdo Palon dan Naya Genggong akan muncul lagi, kembali ke Nusantara.

Menangislah Prabhu Brawijaya. Semalaman beliau menangis. Semua rahasia masa depan Nusantara, dijabarkan oleh Sabdo Palon dan Naya Genggong.

Keesokan harinya, beliau memanggil Sunan Kalijaga. Dihadapan seluruh yang hadir, beliau menyatakan hendak kembali ke Trowulan. Dan yang lebih mengagetkan, beliau menyatakan masuk Islam demi menjaga stabilitas negara.

Sunan Kalijaga dan seluruh yang hadir terperangah mendengar keputusan Sang Prabhu. Beberapa penasehat, pejabat dan kepala pasukan Bhayangkara, bersujud sambil menangis haru. Mereka memohon agar Sang Prabhu mencabut kembali sabda yang telah beliau keluarkan. Situasi tegang, sedih, bingung...

Sabdo Palon dan Naya Genggong angkat bicara. Dihadapan Prabhu Brawijaya, Sunan Kalijaga dan seluruh yang hadir, mereka mengucapkan sebuah sumpah, bahwasanya lima ratus tahun kemudian, mereka berdua akan kembali. ( Inilah yang lantas dikenal dengan JANGKA SABDO PALON NAYA GENGGONG oleh masyarakat Jawa sampai sekarang (silakan baca catatan saya tentang SERAT SABDO PALON).

Selesai mengucapkan sumpah mereka, Sabdo Palon dan Naya Genggong mencium tangan Sang Prabhu Brawijaya. Sabdo Palon berbisik :

"Lima ratus tahun lagi, ananda akan bertemu dengan kami kembali. Sekarang sudah saatnya kita berpisah. Selamat tinggal ananda."

Sabdo Palon dan Naya Genggong menyembah hormat, lalu bergegas keluar dari ruang pertemuan. Semua yang hadir masih bingung melihat peristiwa ini. Diantara mereka, ada beberapa yang ikut menyembah, melepas lencana mereka dan memohon maaf kepada Sang Prabhu untuk undur diri.

Bagaikan tugu dari batu, Sang Prabhu Brawijaya diam tak bergerak. Tinggal beberapa orang yang ada didepan beliau. Beberapa pasukan Bhayangkara yang memutuskan untuk setia mengiringi Sang Prabhu. Juga ada Sunan Kalijaga, yang masih pula ada di sana.

Setelah kediaman beliau yang lama, Sunan Kalijaga memberanikan diri menanyakan keputusan Sang Prabhu tersebut. Sang Prabhu menjawab, semua memang harus terjadi. Mendengar sabda Sang Prabhu, Sunan Kalijaga segera mendekat kepada beliau.

Sunan Kalijaga memohon dengan segala hormat, apabila Sang Prabhu benar-benar ikhlas menyerahkan tahta kepada Raden Patah, maka beliau harus rela melepaskan mahkota beserta pakaian kebesaran beliau sebagai Raja Diraja. Sejenak Sang Prabhu masih ragu, namun ketika sekali lagi Sunan Kalijaga memohon keikhlasan beliau, maka Sang Prabhu menyetujuinya. ( Inilah simbolisasi rambut beliau dipotong oleh Sunan Kalijaga. Pada kali pertama, rambut beliau tidak bisa putus. Dan pada kali kedua, barulah bisa putus).

Tidak menunggu waktu lama, berangkatlah rombongan Prabhu Brawijaya yang terdiri dari sedikit pasukan Bhayangkara dan Sunan Kalijaga beserta para santri menuju Trowulan. Sesampainya di Trowulan, masyarakat Majapahit menyambut dengan penuh suka cita. Keadaan mulai berangsur membaik ketika Sang Prabhu Brawijaya mengeluarkan maklumat agar semua pertikaian dihentikan. Disusul kemudian, keluar maklumat serupa dari Demak Bintara yang memfatwakan, peperangan sudah berhenti, diharamkan membunuh mereka yang telah kalah perang. Kondisi anarkhisme, berangsur-angsur menjadi kondusif. Stabilitas untuk sementara waktu kembali normal. Stabilitas yang dibawa dari Blambangan ini, membuat Sunan Kalijaga, sebagai suatu kenangan keberhasilan mendamaikan kedua belah pihak, memberikan nama baru kepada Blambangan, yaitu Banyuwangi. ( Disimbolkan, Sunan Kalijaga membawa sepotong bambu kemudian dia mengisinya dengan air kotor waktu masih di Blambangan. Begitu sesampainya di Trowulan, air dalam bambu itu berubah menjadi jernih dan wangi. Bambu adalah lambang dari sebuah negara, air kotor yang diambil Sunan Kalijaga adalah masalah yang dibuat oleh orang-orang yang sekeyakinan dengan Sunan Kalijaga sendiri. Air yang berubah jernih setibanya di Trowulan melambangkan kembalinya stabilitas negara).

Bergiliran, para putra Prabhu Brawijaya datang ke Trowulan. Adipati Handayaningrat dari Pengging beserta Ki Ageng Pengging putranya. Raden Bondhan Kejawen dari Tarub. Raden Bathara Katong dari Ponorogo. Raden Lembu Peteng dari Madura, dan masih banyak lagi. Tak ketinggalan Raden Patah sendiri.

Dihadapan seluruh putra-putra beliau, Sunan Kalijaga menyampaikan amanat Sang Prabhu agar pertikaian dihentikan. Dan agar Raden Patah, diikhlaskan menduduki tahta Demak Bintara. Seluruh putra-putra beliau, wajib menerima dan mentaati keputusan ini.

Kepada Sunan Kalijaga, Sang Prabhu Brawijaya memberikan amanat untuk mendampingi keturunan beliau yang ada di Tarub yaitu Raden Bondhan Kejawen dan keturunan beliau yang ada di Pengging. Terutama kepada Raden Bondhan Kejawen, Prabhu Brawijaya telah mengetahuinya dari Sabdo Palon dan Naya Genggong, bahwa kelak, dari keturunannya, akan lahir Raja-Raja besar di Jawa. Dinasti Raden Patah dan dinasti dari Pengging, tidak akan bertahan lama.

Prabhu Brawijaya bahkan membisikkan kepada Sunan Kalijaga, bahwa Demak hanya akan dipimpin oleh tiga orang Raja. Setelah itu akan digantikan oleh keturunan dari Pengging, cuma satu orang Raja. Lantas digantikan oleh keturunan dari Tarub. Banyak Raja akan terlahir dari keturunan dari Tarub (Ramalan ini terbukti, Demak hanya diperintah oleh tiga orang Sultan. Yaitu Raden Patah, Sultan Yunus lalu Sultan Trenggana. Setelah itu terjadi pertumpahan darah antara Kubu Abangan dengan Kubu Putihan. Dan Jaka Tingkir tampil kemuka. Jaka Tingkir adalah keturunan dari Pengging. Tapi tidak lama, keturunan dari Tarub, yaitu Danang Sutawijaya, yang kelak dikenal dengan gelar Panembahan Senopati Ing Ngalaga Mentaram, akan tampil kemuka menggantikan keturunan Pengging. Panembahan Senopati inilah pendiri Kesultanan Mataram Islam, yang sekarang terpecah menjadi Jogjakarta, Surakarta, Mangkunegaran dan Paku Alaman)

Tidak berapa lama kemudian, Prabhu Brawijaya jatuh sakit. Dalam kondisi akhir hidupnya, Sunan Kalijaga dengan setia mendampingi beliau. Kepada Sunan Kalijaga, Prabhu Brawijaya berwasiat agar dipusara makam beliau kelak apabila beliau wafat, jangan dituliskan nama beliau atau gelar beliau sebagai Raja terakhir Majapahit. Melainkan beliau meminta agar dituliskan nama Putri Champa saja. Ini sebagai penanda kisah akhir hidup beliau, juga kisah akhir Kerajaan Majapahit yang terkenal dipelosok Nusantara. Bahwasanya, beliau telah ditikam dari belakang oleh permaisurinya sendiri Dewi Anarawati atau Putri Champa dan beliau diperlakukan dan tidak dihargai lagi sebagai seorang laki-laki oleh Raden Patah, putranya sendiri.

Sunan Kalijaga sedih mendapat wasiat seperti itu. Namun begitu beliau wafat, wasiat itu-pun dijalankan.

Seluruh masyarakat berkabung. Seluruh putra dan putri beliau berkabung.

Dan kehancuran Majapahit. Kehancuran Kerajaan Besar ini dikenang oleh masyarakat Jawa dengan kalimat sandhi yang menyiratkan angka-angka tahun sebuah kejadian (Surya Sengkala), yaitu SIRNA ILANG KERTANING BHUMI. SIRNA berarti angka '0'. ILANGberarti angka '0'. KERTA berarti angka '4' dan BHUMI berarti angka '1'. Dan apabila dibalik, akan terbaca 1400 Saka atau 1478 Masehi. Kalimat KERTAning BHUMI diambil dari nama asli Prabhu Brawijaya, yaitu Raden Kertabhumi. Inilah kebiasaan masyarakat Jawa yang sangat indah dalam mengenang sebuah kejadian penting.

Dan Raden Patah, memindahkan pusat pemerintahan ke Demak Bintara. Dia dikukuhkan oleh Dewan Wali Sangha sebagai Sultan dengan gelar Sultan Syah 'Alam Akbar Jim-Bun-ningrat.

Keinginan orang-orang Islam terwujud. Demak Bintara menjadi ke-Khalifah-an Islam pertama di Jawa. Tapi, pemberontakan dari berbagai daerah, tidak bisa diatasi oleh Pemerintahan Demak. Wilayah Majapahit yang dulu luas, kini terkikis habis. Praktis, wilayah Demak Bintara hanya sebatas Jawa Tengah saja. Kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian seolah menjauh dari Demak Bintara. Darah terus tertumpah tiada habisnya. Perebutan kekuasaan silih berganti. Nusantara semakin terpuruk. Semakin tenggelam dipeta perpolitikan dunia.

Disusul kemudian, pada tahun 1596 Masehi, Belanda datang ke Jawa. Nusantara semakin menjadi bangsa tempe! Semenjak Majapahit hancur, hingga sekarang, kemakmuran hanya menjadi mimpi belaka.

Kapan Majapahit bangkit lagi? Kapan Nusantara akan disegani sebagai Macan lagi?

KI AGENG PENGGING (1)

Setelah kehancuran Majapahit pada tahun 1478 masehi, maka berakhir pula kejayaan Majapahit. Berakhirnya masa kejayaan Majapahit ini, bukanlah saat diperintah oleh Prabhu Brawijaya VII seperti yang dibanyak diberitakan selama ini, namun saat di bawah pemerintahan Prabhu Brawijaya V atau Prabhu Brawijaya Pamungkas. Sebagai bukti, dibawah inilah nama Raja-Raja yang pernah memerintah Majapahit.

1.Raden Wijaya atau Bhree Wijaya I atau Prabhu Brawijaya I atau Shrii Kertarajasa Jayawardhana (1292-1309 M)
2.Raden Kala Gemet atau Prabhu Jayanegara atau Shrii Jayanegara (1309-1328 M).
3.Ratu Ayu Tri Bhuwanatunggadewi Jayawishnuwardhani (1328-1350 M)
4.Prabhu Hayam Wuruk atau Shrii Rajasawardhana (1350-1389 M).
5.Prabhu Wikramawardhana (1389-1492 M) Pada masa inilah terjadi Perang Paregreg. Dimana Adipati Bhree Wirabhumi atau Adipati Kebo Marcuet mengadakan pemberontakan ke Majapahit dan berhasil ditaklukkan oleh Jaka Umbaran atau Raden Gajah atau Minak Jingga.
6.Ratu Ayu Suhita atau Dewi Kencana Wungu (1429-1447 M), diperistri oleh Raden Parameshwara atau Raden Damar Wulan atau yang lantas setelah menjadi suami Ratu Ayu Suhita, memegang tampuk pemerintahan dengan gelar Bhree Wijaya II atau Prabhu Brawijaya II setelah berhasil mengalahkan Jaka Umbaran atau Raden Gajah atau Minak Jingga, penguasa Blambangan. Pengambilan gelar ini demi mengukuhkan kedudukannya sebagai keturunan Raden Wijaya.
7.Prabhu Kertawijaya atau Bhree Wijaya III atau Prabhu Brawijaya III (1447-1451 M)
8.Prabhu Rajasawardhana atau Bhree Wijaya IV atau Prabhu Brawijaya IV ( 1451-1453 M)
9.Raden Kertabhumi atau Bhree Wijaya V atau Prabhu Brawijaya V atau Prabhu Brawijaya Pamungkas (1453-1478 M). Dalam masa pemerintahan beliau, beliau dibantu oleh saudaranya, yaitu Raden Purwawisesha sebagai mahapatih (1456-1466 M) yang lantas digantikan oleh Raden Pandhan Salas atau Bhree Pandhan Salas (1466-1473 M).

Pada masa pemerintahan Raden Kertabhumi inilah, Majapahit diserang oleh pasukan Demak Bintara. Diperingati dengan Surya Sangkala SIRNA ILANG KERTAning BHUMI.

Semenjak kehancurannya, Majapahit kini harus tunduk kepada Demak Bintara. Majapahit menjadi negara kecil, bagian dari Demak Bintara. Tampuk pemerintahan Majapahit dipegang oleh seseorang yang ditunjuk langsung oleh Sultan Demak atau Raden Patah yang kini bergelar Sultan Syah Alam Akbar Jiem-Boenningrat I.

Dan anda semua pasti akan terkejut bila saya ungkapkan bahwa, pemegang tampuk pemerintahan Majapahit, setelah Prabhu Brawijaya V, adalah MA-HWAN! Seorang berdarah China yang lantas bergelar Prabhu Brawijaya VI. Dia memerintah dibawah kendali Demak Bintara.

Fenomena politik inilah yang memicu ketidak puasan dikalangan bangsawan Majapahit. Para bangsawan yang sudah terkoyak moyak harga dirinya setelah penyerangan Demak Bintara, kini harus kembali menelan pil pahit dengan dikukuhkannya Prabhu Brawinaya VI yang nyata-nyata bukan keturunan Makapahit, bahkan berdarah China.

Dan ketidak puasan ini meledak juga. Raden Girindrawardhana, bangsawan keturunan Majapahit yang berkedudukan di daerah Keling, Kedhiri, mengadakan pemberontakan. Peperangan kembali berkobar. Darah tertumpah kembali. Dan Majapahit, untuk kedua kalinya, berhasil diluluh lantakkan! Raden Girindrawardhana yang banyak mendapat dukungan dari gerilyawan sisa-sisa lasykar Majapahit lama, berhasil menjebol Majapahit baru boneka Demak Bintara. Prabhu Brawijaya VI atau Ma-Hwan, tewas!

Tahta Majapahit berhasil dikuasai oleh Raden Girindrawardhana. Dia memboyong segala tanda kebesaran Majapahit dari Trowulan ke Keling, Kedhiri. Disana, dia mengukuhkan diri sebagai Prabhu Brawijaya VII dan memaklumatkan bahwa Majapahit yang berkedudukan di Kedhiri sekarang, telah bebas dari dominasi Demak Bintara!

Mendengar kabar tersebut, pemerintahan Demak Bintara tidak tinggal diam. Pasukan dalam jumlah besar dikirim ke Kedhiri. Peperangan kembali pecah! Dan lagi, darah membanjiri bumi pertiwi. Pasukan Demak yang dipimpin langsung oleh Sunan Kudus ini, mendapat perlawanan dahsyat! Kedhiri, sulit ditaklukkan! Begitu sulitnya menjebol Kedhiri, mengingatkan penyerangan Demak ke Trowulan kala itu.

Namun, pelahan, pasukan Kedhiri berhasil ditundukkan. Prabhu Brawijaya VII atau Raden Girindrawardhana gugur dimedan laga!

(Hal inilah yang diekspose besar-besaran oleh kaum Putihan. Sehingga muncul pendapat bahwa Demak bukannya menghancurkan Majapahit, namun menyerang Raden Girindrawardhana yang lebih dahulu menghancurkan Majapahit. Padahal faktanya, baik penyerangan kepada Prabhu Brawijaya V maupun Raden Girindrawardhana, semuanya dilakukan oleh pasukan Demak Bintara).

Majapahit kembali dibawah kendali Demak Bintara. Dan diiangkatlah pejabat baru sebagai Raja bawahan yang memegang tampuk pemerintaan Mahapahit dengan gelar Prabhu Brawijaya VIII.

Majapahit semakin suram. Pamornya semakin redup. Masyarakat Jawa sudah tidak lagi memandang Majapahit boneka ini. Dan pada pemerintahan Prabhu Brawijaya IX, Majapahit benar-benar colaps. Pada akhirnya, Majapahit lantas masuk wilayah kekuasaan Kadipaten Terung, Sidoarjo ( +/- 1500 M).

Pewaris Tahta Sah.

Prabhu Brawijaya V atau Raden Kertabhumi mempunyai seorang permaisuri yang berasal dari negeri Champa ( Kamboja Selatan)., bernama Dewi Anarawati. Permaisuri beliau ini beragama Islam. Dia adalah adik ipar Syeh Ibrahim As-Samarqand yang terkenal di Jawa dengan nama Syeh Ibrahim Smorokondi. ( makamnya berada di Tuban sekarang : Damar Shashangka).

Dewi Anarawati ini adalah bibi dari Sunan Ampel atau Raden Ali Rahmad atau Bong Swie Hoo, pendiri Dewan Wali Sangha. Raden Ali Rahmad adalah putra Syeh Ibrohim Smorokondi. Raden Ali Rahmad juga adalah menantu Adipati Tuban, Adipati Wilwatikta.

Adipati Wilwatikta, mempunyai dua orang putra-putri, yang sulung dinikahi oleh Raden Ali Rahmad atau Sunan Ampel dan kelak terkenal dengan sebutan Nyi Ageng Ampel, sedangkan yang bungsu bernama Arya Teja. Arya Teja menggantikan kedudukan ayahandanya sebagai Adipati Tuban dengan gelar, Adipati Arya Teja.

Adipati Arya Teja inilah ayahanda Raden Sahid dan Dewi Rasawulan. Kelak, Raden Sahid terkenal dengan sebutan Sunan Kalijaga.

Sunan Kalijaga tidak berminat menggantikan kedudukan ayahandanya sebagai seorang Adipati. Tahta Tuban diserahkan kepada Raden Jaka Supa, suami adiknya Dewi Rasawulan.

Raden Jaka Supa adalah keturunan Empu keraton Majapahit,yaitu Ki Pitrang atau Ki Supa Mandrangi atau Pangeran Sedayu. Raden Jaka Supa adalah arsitek keris Kyai Naga Sasra dan Kyai Sabuk Inten yang terkenal itu.

Sesungguhnya, keris Kyai Naga Sasra maupun Kyai Sabuk Inten, adalah sebuah simbol semata. Naga Sasra berasal dari bahasa sanskerta Nagha Sahasrara yang berarti Seribu Naga. Ini melambangkan banyaknya kekuatan-kekuatan laten Majapahit yang masih memiliki kekuatan militer dan masih memiliki pengaruh besar dipelosok Nusantara.

Sedangkan Sabuk Inten berarti Ikat Pinggang Intan yang melambangkan para investor ekonomi lokal maupun mancanegara sebagai sumber keuangan yang sangat menentukan perputaran roda perekonomian negara.

Majapahit dan mancanegara waktu Majapahit masih berdiri. Pekerjaannya sebagai penyedia persenjataan militer negara, menjadikan Ki Pitrang banyak memiliki relasi.

Apabila anda pernah dengar sebuah pedang kuno yang menjadi kebanggaan Dr. Sun Yat Sen, pendiri Taiwan yang bernama Pit-Kang, sesungguhnya pedang tersebut adalah hasil tempaan Ki Pitrang, sehingga namanya pun masih disebut Pitrang walaupun dalam logat China. Pedang ini masih disimpan di Taiwan. Pedang tersebut adalah hadiah Raja Majapahit kepada Kaisar Tiongkok. Dan tidak tahu bagaimana ceritanya, pedang kuno yang berasal dari Majapahit tersebut bisa dibawa lari oleh Dr.Sun Yat Sen ke Taiwan setelah Tiongkok berhasil dikuasai kaum komunis.

Kebesaran nama Ki Pitrang inilah, menjadikan Raden Jaka Supa, sebagai anak laki-laki satu-satunya dari istri yang berasal dari Majapahit ( seorang lagi, istri Ki Pitrang berasal dari Blambangan. Dari istri Blambangan ini, beliau mempunyai seorang putra bernama Jaka Sura, yang meninggal sewaktu berusia belia. Praktis, putra Ki Pitrang tinggal Raden Jaka Supa), sangat disegani. Para sisa-sisa bangsawan Majapahit, yang masih memiliki pengaruh dalam bidang ekonomi maupun militer dan masih banyak tersebar di beberapa pelosok Nusantara serta yang disimbolkan dengan Keris Kyai Naga Sasra, ditambah para investor asing yang disimbolkan dengan Keris Kyai Sabuk Inten, sangat-sangat menghormati Raden Jaka Supa.


Kyai Sabuk Inten



Sosok Jaka Supa sangat dibutu*kan pihak pemerintahan Demak Bintara. Ditambah kehadiran Sunan Kalijaga, yang juga sangat disegani oleh berbagai kalangan lintas agama di wilayah bekas kerajaan Majapahit, maka seolah-olah, dua orang ini adalah kunci keberlangsungan pemerintahan Demak Bintara!

Sunan Kalijaga, demi mengingatkan Sultan Demak, memerintahkan Raden Jaka Supa membuat dua buah keris, yaitu Kyai Naga Sasra dan Kyai Sabuk Inten. Keduanya harus diserahkan kepada Sultan Demak, sebagai benda simbolik untuk mengingatkan Sultan Demak, bahwa tanpa dukungan sisa-sisa bangsawan Majapahit serta tanpa dipermudah masuknya investor mancanegara ke wilayah Demak Bintara, dapat dipastikan Demak tidak akan berumur lama. Dengan bersatunya Kyai Naga Sasra dan Kyai Sabuk Inten tersebut, bisa dipastikan Demak akan berdiri tegak sebagai kerajaan besar pengganti Majapahit! (Sayangnya, pada perkembangan selanjutnya, kedua benda simbolik ini di anggap sangat-sangat keramat oleh masyarakat Jawa hinggai sekarang. Dan timbul kepercayaan, pemerintahan akan kuat jika seorang penguasa memiliki Kyai Naga Sasra dan Kyai Sabuk Inten sekaligus)


Kyai Naga Sasra




Kembali pada Prabhu Brawijaya V yang menikahi Putri Champa, Dewi Anarawati. Dari pernikahan tersebut, lahirlah tiga orang putra-putri. Yang sulung seorang putri ( sampai sekarang saya belum tahu namanya : Damar Shashangka ), dinikahkan dengan Adipati Handayaningrat IV, penguasa wilayah Pengging, daerah sekitar Surakarta sekarang. Yang kedua, Raden Lembu Peteng, berkuasa di Madura. Dan yang ketiga Raden Jaka Gugur.

Kelak Raden Jaka Gugur inilah yang dikenal dengan nama Sunan Lawu, penguasa mistik Gunung Lawu. Keberadaannya di Gunung Lawu, disalah pahami oleh warga sekitar sebagai Prabhu Brawijaya V sendiri. ( Maklum, sosok Raja pada masa itu hanya dikenal nama besarnya semata. Sosok aslinya, bagi masyarakat pedesaan, sama sekali tidak diketahui karena sulit bertemu langsung. Tidak ada media massa pada waktu itu seperti jaman sekarang, sehingga wajah Prabhu Brawijaya V, terbatas hanya kalangan bangsawan saja yang bisa mengenalinya. Oleh karena itu, kehadiran Raden Jaka Gugur di lereng Gunung Lawu, disalah pahami sebagai Prabhu Brawijaya V, bahkan sampai sekarang).

Dan Prabhu Brawijaya V, tetap ada di Trowulan hingga beliau wafat. Prabhu Brawijaya V tidak pernah kemana-mana. Semenjak dari Banyuwangi hingga jatuh sakit dan wafat, beliau ada di Trowulan. Sunan Kalijaga lah yang terus mendampingi beliau hingga kewafatan beliau.

Dari pernikahan Adipati Handayaningrat IV dengan putri sulung Prabhu Brawijaya V, lahirlah dua orang putra. Pertama Raden Kebo Kanigara dan yang kedua Raden Kebo Kenanga.

Raden Kebo Kanigara lahir pada tahun 1472 Masehi. Menyusul setahun kemudian, Raden Kebo Kenanga lahir ( tahun 1473 M ). Jadi sewaktu Majapahit dihancurkan oleh Demak Bintara pada tahun 1478 Masehi, Raden Kebo Kanigara masih berusia enam tahun, dan Raden Kebo Kenanga masih berusia lima tahun.

Menginjak usia dua puluh tahun, Raden Kebo Kanigara pergi meninggalkan Pengging. Beliau memutuskan menjadi seorang Vanaprastha atau pertapa dalam usia muda. Beliau melakukan pertapaan di daerah lereng Gunung Merapi. Tempat dimana beliau pernah bertapa, sekarang terkenal dengan sebutan Desa Turgo, yang berasal dari gabungan dua suku kata AnggenTUR RaGA yang artinya MENGGEMBLENG DIRI.

Petilasan bekas beliau bertapa, kini berubah menjadi makam yang banyak diziarahi oleh masyarakat Jawa. Padahal, Raden Kebo Kanigara beragama Shiva Buddha, dan apabila wafat, tidak mungkin dikebumikan, namun di kremasi atau di Aben.

Sejujurnya, jenasah Raden Kebo Kanigara hilang raib karena kekuatan tapa brata-nya yang sangat keras. Dan tempat yang dikenal sebagai makam Raden Kebo Kanigara sekarang, sebenarnya hanyalah salah satu bekas tempat beliau bersemadi.

Putra bungsu Adipati Handayaningrat IV, yaitu Raden Kebo Kenanga, dalam usia dua puluh tahun, setahun semenjak kepergian kakaknya, harus kehilangan ramandanya. Adipati Handayaningrat IV wafat. Dan seharusnya, yang berhak menggantikan kedudukan beliau adalah Raden Kebo Kanigara. Karena sang sulung telah pergi bertapa, maka si bungsu, Raden Keno Kenanga terpaksa menggantikannya. Dan Raden Kebo Kenanga lantas dikenal dengan gelar KI AGENG PENGGING.

Dalam usia relatif muda, Ki Ageng Pengging sangat terkenal kedalaman spiritualitasnya. Dalam garis keturunannya, sebenarnya mengalir darah pewaris sah tahta Majapahit. Karena nenek beliau, yaitu Dewi Anarawati, telah diangkat sebagai permaisuri. Sehingga jelas disini, manakala Prabhu Brawijaya V kelak lengser keprabhon atau wafat, yang berhak menggantikan seharusnya adalah putri sulung beliau yang dinikahkan dengan Adipati Handayaningrat IV. Otomatis, apabila putri sulung istri Adipati Handayaningrat IV ini kelak lengser keprabhon atau wafat, maka yang berhak menggantikannya adalah putranya, yaitu Raden Kebo Kanigara. Karena seperti telah diceritakan diatas, Raden Kebo Kanigara tidak berminat kepada tahta, maka Raden Keno Kenanga atau Ki Ageng Pengging yang berhak menggantikannya. Jika ditilik dari sini, sesungguhnya pewaris tahta Majapahit seharusnya Ki Ageng Pengging, bukan Raden Patah!!

Seluruh masyarakat Majapahit tahu akan hal ini. Tahu siapa yang seharusnya berhak memegang tahta. Sehingga diam-diam, pengaruh keturunan Pengging masih terasa sangat besar di wilayah Demak Bintara. Bagi pemerintahan Demak, keturunan Pengging adalah bahaya laten! Praktis pemerintah Demak Bintara secara diam-diam memasang pasukan mata-mata khusus di Pengging. Gerak-gerik Ki Ageng Pengging, tak pernah lepas dari pengamatan Sultan Demak dan Dewan Wali Sangha.

Sesungguhnya jika Ki Ageng Pengging mau, dia bisa melakukan konsolidasi kekuatan sisa-sisa Majapahit. Tapi, seperti sifat kakaknya, Ki Ageng Pengging sama sekali tidak mempunyai ambisi politik seperti itu. Malahan beliau lebih suka mendalami spiritualitas.

Para prajurid Pengging sendiri sangat merasakan akan hal itu. Kegiatan pelatihan militer, dirasa jauh berkurang semenjak Ki Ageng Pengging menggantikan ayahandanya. Malahan, tempat-tempat suci lebih bergairah dan hidup semenjak beliau berkuasa.

Ki Ageng Pengging tenggelam dalam spiritualitas. Setiap waktunya senantiasa beliau manfaatkan untuk peningkatan Kesadaran Atma. Pengging sangat damai. Penuh nuansa religius.

Namun hal itu tak berlangsung lama. Manakala Ki Ageng Pengging berkenalan dengan seorang ulama Islam yang dikenal berseberangan dengan Dewan Wali Sangha yaitu Syeh Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar, Pengging mulai memanas!

Walaupun masih belia, kedalaman spiritualitas Ki Ageng Pengging tidak bisa diragukan lagi. Pencapaian spiritual-nya, sampai pada kondisi MATI SAJERONING URIP, URIP SAJERONING PATI ( MATI DIDALAM HIDUP, HIDUP DIDALAM KEMATIAN). Beliau mampu dalam beberapa hari, bermeditasi tanpa bernafas. Raga beliau mampu menyerap Praana ( oksigen ) melalui seluruh pori-pori tubuh tanpa menggunakan pergerakan paru-paru.

Bila tidak jeli, mereka yang melihat kondisi Ki Ageng Pengging sewaktu bermeditasi, pasti akan menyangka beliau meninggal. Namun bagi yang benar-benar jeli, mereka akan tahu, jantung beliau masih tetap berdetak, sangat-sangat halus. Dan darah beliau masih tetap mengalir, walau dalam percepatan yang sangat-sangat halus.

…...Ndan yatika sinangguh mamyaken praana sangdhila jati ngarannya, yeku puujaajaati ngarannya, sembahyang alit, yapwan mangkana tiksna deningasamadhi, wyakta hilang ikang waayu ganal, mati lina ri sangkanya, apan tan cinetana dening aatmaa, nahan maarga kunyci rahasya ngarannya. ( Tattwa Jnyaana : 62 )

“...Itulah yang disebut memuja Praana sangdhila jaati, yaitu Sejatinya Puja, sembahyangnya Suksma. Bila sudah demikian samadhi-nya sangat-sangat tajam, benar-benar hilangnya nafas yang kasar, mati lenyap keasalnya. Kesadaran suksma telah melebur ke Kesadaran Atma. Inilah kunci kesempurnaan. ( Tattwa Jnyaana : 62)


Ki Ageng Pengging telah mencapai tahap peleburan ini. Sesuai dengan yang diuraikan dalam Rontal Tattwa Jnyaana. Bila beliau mau, beliau bisa meninggalkan badan kasarnya, mati, sesuai dengan keinginannya sendiri.

Begitu beliau diangkat sebagai penguasa Pengging pengganti ayahandanya, dalam usia belia, beliau menikah. Seorang gadis dari daerah Tingkir, masih adik kandung Ki Ageng Tingkir, beliau persunting.

Pengging benar-benar damai. Jauh dari hiruk pikuk perpolitikan, Jauh dari pertikaian-pertikaian. Sunan Kalijaga-pun, sering berkunjung ke Pengging bersama beberapa santri beliau.



Dari Sunan Kalijaga, Ki Ageng Pengging senantiasa mendapat petuah-petuah yang sangat berharga. Walaupun Sunan Kalijaga beragama Islam dan Ki Ageng Pengging beragama Shiva Buddha, kedekatan hubungan mereka sudah tidak bisa digambarkan lagi. Secara khusus, Ki Ageng Pengging menyediakan musholla di kompleks Dalem Agung beliau. Ini diperuntukkan bagi sahabat-sahabat beliau yang beragama Islam.

Dari sahabat-sahabat Islam beliau inilah, Ki Ageng Pengging tahu akan sosok Syeh Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar. Sosok ulama yang berseberangan dengan Dewan Wali Sangha.

Beberapakali dalam meditasinya, beliau mencoba menghubungi Syeh Lemah Abang. Dan Ki Ageng Pengging tersenyum puas manakala salam beliau senantiasa dijawab oleh Syeh Lemah Abang dengan senyuman yang luar biasa damainya.

Ki Ageng Pengging tahu, Syeh Lemah Abang bukan manusia sembarangan. Beberapakali pula, mereka bertemu didalam alam meditasi. Ki Ageng Pengging mencium kaki Syeh Lemah Abang dengan penuh hormat. Dan Syeh Lemah Abang senantiasa mengusap-usap kepala Ki Ageng Pengging dengan penuh kasih.

Sunan Kalijaga tahu akan semua itu. Dan beliau tersenyum bangga setiap kali dalam taffakur-nya, melihat Syeh Lemah Abang dan Ki Ageng Pengging senantiasa bertemu, walau dalam alam lain. Walau tidak dialam nyata.

Dan manakala, sosok Syeh Lemah Abang mendadak berkunjung ke Pengging, betapa bahagianya Ki Ageng Pengging. Walau belum pernah bertemu secara fisik, Ki Ageng Pengging dan Syeh Lemah Abang, sudah sedemikian dekatnya. Begitu Syeh Lemah Abang hadir, Ki Ageng Pengging langsung bersujud didepan beliau. Mencium kaki beliau. Penuh hormat dan sangat-sangat bahagia.

Pernah selama tiga hari tiga malam, keduanya meluangkan waktu untuk berdiskusi tentang intisari spiritualitas. Tidak hanya sekedar berdiskusi, keduanyapun masuk kekedalaman batin masing-masing. Dan disana, Syeh Lemah Abang, bersorak gembira begitu melihat Ki Ageng Pengging, dibawah awan-awan mind yang tenang, tengah ada dibawah beliau, tidak terlampau jauh. Dan disana, Ki Ageng Pengging mencakupkan kedua tangannya didepan dada, menyembah, sembari memandang Syeh Lemah Abang dengan senyum kedamaian.

Karena seringnya berkunjung ke Pengging, Syeh Lemah Abang akhirnya dipertemukan dengan sahabat-sahabat Ki Ageng Pengging. Beberapa bangsawan muda keturunan Majapahit yang masing-masing juga memiliki wilayah kekuasaan. Mereka antara lain, Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng butu* dan Ki Ageng Ngerang. Ketiganya bahkan lantas tertarik memeluk Islam tanpa paksaan. Ki Ageng butu* dan Ki Ageng Ngerang, kelak terkenal dengan gelar Sunan butu* dan Sunan Ngerang.

Namun diam-diam, mata-mata Demak Bintara mengetahui semua itu. Laporan segera masuk ke hadapan Sultan Demak. Dan Sultan Demak meneruskan informasi itu ke Dewan Wali Sangha.

Sebuah informasi yang sangat mengejutkan bagi Dewan Wali Sangha. Dan Dewan Wali memerintahkan Sultan Demak agar semakin menungkatkan kegiatan mata-mata di wilayah Pengging. Sultan Demak merespon perintah tersebut, Jumlah pasukan mata-mata semakin ditambah di wilayah Pengging. Demak semakin waspada. Karena bila Pengging bergerak, dapat dipastikan, dukungan dari berbagai daerah akan mudah diraih. Apalagi ditambah sosok Syeh Lemah Abang dan Sunan Kalijaga disana, Pengging akan berubah menjadi kekuatan yang sangat menakutkan. Dan hal ini, adalah ancaman serius bagi keberlangsungan pemerintahan Demak Bintara.

Padahal, ketakutan Demak Bintara hanyalah ketakutan semu. Karena di Pengging, tidak ada pergerakan apapun. Ki Ageng Pengging tidak mempunyai rencana apapun untuk berbuat makar. Demak Bintara, hanya ketakutan sendiri.

Sunan Kalijaga membaca gelagat tersebut. Beliau memperingatkan Ki Ageng Pengging untuk waspada. Namun, Ki Ageng Pengging bagaimamapun juga masih berusia belia. Beliau kadang masih kurang perhitungan. Beliau sangat mencintai spiritualitas. Dan kecintaannya ini, membuat beliau tanpa perhitungan yang matang, menawarkan wilayah Pengging untuk dipakai sebagai tempat kepindahan Pesantren Krendhasawa milik Syeh Lemah Abang.

Syeh Lemah Abang memang mempunyai rencana untuk memindahkan lokasi pesantrennya yang ada di Cirebon. Hal ini berkaitan dengan situasi politik Cirebon yang semakin memanas akibat terus-terusan menjalankan agresi militer ke Pajajaran. Cirebon sudah tidak kondusif lagi bagi peningkatan Kesadaran. Sudah sangat-sangat berubah. Sudah tidak sama lagi dengan Cirebon dimasa Syeh Dzatul Kahfi masih hidup.

Namun, Sunan Kalijaga melarang Syeh Lemah Abang menerima tawaran itu. Karena bila Syeh Lemah Abang menerimanya, pemerintah Demak Bintara akan menuduh beliau bersekongkol dengan Ki Ageng Pengging hendak mengadakan gerakan subversif. Syeh Lemah Abang memang tidak begitu memahami peta perpolitikan. Dan Sunan Kalijaga yang lebih paham. Oleh karenanya, Syeh Lemah Abang menolak tawaran Ki Ageng Pengging. Beliau memutuskan untuk tetap bertahan di Cirebon.

Dan, kabar bahwasanya Ki Ageng Pengging menawarkan wilayah Pengging sebagai tempat kepindahan pesantren Krendhasawa, diartikan lain oleh Pemerintahan Demak. Sultan Demak yang sudah terlanjur ketakutan, menyimpulkan bahwa memang tengah terjadi gerakan rahasia antara Ki Ageng Pengging dengan Syeh Lemah Abang.

Dan Dewan Walu Sangha-pun bertindak. Sunan Giri Kedhaton, mengeluarkan fatwa bahwa Syeh Lemah Abang adalah musuh kekhilafahan Islam di Jawa, dan tugas Sultan Demak dan Sultan Cirebon ( Sunan Gunung Jati ) untuk menangkap Syeh Lemah Abang. ( Cerita selengkapnya, baca catatan SEKELUMIT KISAH SUNAN KAJENAR ATAU SYEH SITI JENAR).

Terdengarlah kabar, Syeh Lemah Abang dijatuhi hukuman mati oleh Pemerintah Demak Bintara dengan tuduhan MENGAJARKAN AJARAN SESAT dan HENDAK MENGADAKAN MAKAR! Tak urung, Lontang Asmara, Sunan Panggung dan murid-murid Syeh Lemah Abang yang lain, ikut dijadikan sasaran pemerintah!

Kabar ini sampai juga ke Pengging. Ki Ageng Pengging berkabung. Begitu juga Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Ngerang dan Ki Ageng butu*. Untung, Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Ngerang dan Ki Ageng butu*, lepas dari daftar buruan pemerintah Demak. Tidak seperti Lontang Asmara dan Sunan Panggung.

Ki Ageng Pengging benar-benar merasa kehilangan. Dan beliau semakin menyadari, bagaimana posisinya di mata Sultan Demak. Dirinya dipandang sebagai duri dalam daging. Musuh dalam selimut. Tak urung, setelah Syeh Lemah Abang pasti akan tiba giliran beliau menjadi target untuk disingkirkan!

Ki Ageng Pengging telah siap untuk itu. Siap menunggu giliran untuk disingkirkan. Bukan untuk melakukan perlawanan bersenjata, namun siap menerima ajal jika memang Sultan Demak menghendakinya. Ki Ageng Pengging sangat merindui sosok Syeh Lemah Abang. Apabila Syeh Lemah Abang pergi dari dunia maya ini, maka Ki Ageng Pengging berniat untuk mengikutinya. Apalah arti dunia bagi Ki Ageng Pengging. Dunia sama sekali sudah tidak menarik minat beliau.

Beberapa bulan setelah wafatnya Syeh Lemah Abang, Ki Ageng Pengging mengirimkan surat kepada Sultan Demak. Isi surat tersebut sangat mengejutkan. Ki Ageng Pengging befmaksud mengakhiri pemerintahan Pengging. Dan beliau meminta kepada Sultan Demak agar memasukkan wilayah Pengging ke kadipaten terdekat, sesuai kebijaksanaan Sultan Demak. Bahkan, Ki Ageng Pengging meminta agar Sultan Demak melepas segala jabatan politik beliau.

Surat ini menggemparkan Demak Bintara. Begitu menerima surat tersebut, Sultan Demak mengadakan sidang mendadak dengan para petinggi Kesultanan. Sidang berjalan a lot. Dan hasil keputusan sidang, menyetujui permintaan Ki Ageng Pengging, walaupun sikap waspada tetap harus dijaga demi menghadapi maksud tersembunyi dari permintaan tersebut.

Keesokan harinya, Sultan Demak memerintahkan Patih Wanasalam, Patih Agung Kesultanan Demak Bintara, untuk berangkat menuju Pengging, menemui Ki Ageng Pengging. Patih Wanasalam ditugaskan untuk membacakan surat keputusan Sultan Demak dihadapan Ki Ageng Pengging sekaligus memenuhi keinginan Ki Ageng Pengging, mengadakan pelepasan jabatan. Disamping itu pula, Ki Wanasalam mendapat pesan khusus agar terus mencari informasi secara diam-diam tentang maksud sesungguhnya dari keinginan Ki Ageng Pengging.

Rombongan Patih Agung Demak Bintara ini, sampai juga di wilayah Pengging. Kedatangan rombongan pasukan Kesultanan yang serba mendadak ini, menggemparkan Pengging. Para Prajurid Pengging, tanpa di komando, segera mempersiapkan diri untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan. Pengging mendadak tegang!!

Rombongan dari Demak ini disambut oleh Ki Ageng Pengging. Kedatangannya yang mendadak, tanpa pemberitahuan, memang disengaja agar bisa melihat kondisi Pengging yang sesungguhnya.

Seluruh pasukan Demak diberi tempat istirahat tersendiri. Ki Patih Wanasalam, diberikan tempat khusus. Perjalanan yang agak jauh, membuat Sang Patih kecapaian. Setelah disambut oleh Ki Ageng Pengging, Ki Patih Wanasalam, diberikan waktu untuk beristirahat sejenak.

Manakala dirasa sudah pulih tenaganya, Ki Wanasalam mengutus seorang prajurid agar menghadap Ki Ageng Pengging. Ki Ageng diminta bersiap sedia karena Ki Wanasalam hendak menyampaikan amanat Sultan Demak. Dan prajurid yang diutus, kembali dengan menyampaikan pesan dari Ki Ageng agar Ki Patih berkenan menuju Bale Pisowanan.

Ki Wanasalam, diiringi beberapa pengawal khusus, berangkat terlebih dahulu menuju Bale Pisowanan. Setelah Ki Patih sudah tiba disana, baru Ki Ageng Pengging menyusul. Hal ini adalah etika kerajaan Jawa, dimana seorang pejabat besar, harus terlebih dahulu ada di Bale Pisowanan, baru pejabat dibawahnya datang menghadap.

Setelah keduanya berada di Bale Pisowanan, Ki Ageng Pengging menyatakan kesiapannya mendengarkan amanat Sultan Demak Bintara. Ki Wanasalam segera menjelaskan, bahwa surat Ki Ageng telah diterima oleh Sultan Demak. Dan Sultan Demak telah mengadakan sidang khusus. Hasil keputusan sidang, telah tertulis didalam gulungan Surat Keputusan Sultan yang kini dipegang oleh Ki Wanasalam. Sebelum dibacakan, Ki Wanasalam menanyakan kesungguhan isi surat yang dikirimkan Ki Ageng Pengging. Lantas rencana apa yang hendak dilakukan Ki Ageng apabila keinginannya dikabulkan oleh Sultan Demak ?

Ki Ageng menghaturkan sembah sebelum menjawab, lantas beliau menuturkan bahwasanya apa yang telah beliau tulis dalam surat yang telah dikirimkan ke hadapan Sultan Demak memang benar-benar telah menjadi niatan dan kebulatan tekad beliau. Manakala keinginannya yang tertulis didalam surat tersebut dikabulkan, maka beliau hanya meminta agar pajak wilayah Pengging tidak dinaikkan serta memberikan tanah kepada Ki Ageng Pengging cukup beberapa jung ( hektar ) saja, sekedar sebagai tempat tinggal dan lahan bersawah.

Ki Wanasalam belum puas, dia terus mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang penuh selidik. Tentang hubungannya dengan Sunan Kalijaga, tentang nasib para prajurid Pengging kelak dikemudian hari, tentang jumlah perenjataan Pengging, tentang perekonomian Pengging dan tentang hubungan Ki Ageng Pengging dengan Syeh Lemah Abang dan para murid-muridnya. Ki Wanasalam sengaja ingin mendengar langsung jawaban dari Ki Ageng Pengging, demi untuk mencari-cari hal-hal yang janggal dari kata-kata beliau.

Namun, tidak satupun jawaban yang diberikan oleh Ki Ageng Pengging nampak ada kejanggalan disana. Ki Wanasalam tetap belum sepenuhnya percaya, dan pada akhirnya, Ki Wanasalam mengajukan pertanyaan simbolik. Pertanyaan yang sudah dipesankan oleh Sultan Demak. Pertanyaannya adalah sebagai berikut :

“Mana yang dipilih, ATAS atau BAWAH. KOSONG atau ISI?”

Ki Ageng Pengging tersenyum. Sejenak beliau terdiam. Lantas memberikan jawaban :

“Manakah yang hendak saya pilih ? Tidak ada. Sebab baik ATAS, BAWAH, KOSONG maupun ISI. Semuanya adalah milik saya.”

Ki Wanasalam terkejut mendengar jawaban Ki Ageng Pengging. Sekali lagi Ki Wanasalam mengajukan pertanyaan serupa. Dan kembali Ki Ageng Pengging memberikan jawaban yang sama, dan beliau tambahi :

“Janganlah salah mengerti. AKU ini adalah segalanya. AKU ada dimana-mana. AKU telah melampaui segalanya. Jadi, manalagi yang bisa AKU pilih ? Karena semuanya adalah AKU.”

Ki Wanasalam tersenyum dan berkata :

“Tuluskah jawaban Ki Ageng ? Tidak adakah maksud lain ?”

Ki Ageng Pengging tersenyum. Dia tidak menjawab lagi. Jawaban Ki Ageng Pengging sangatlah tulus. Namun Ki Wanasalam tetap tidak bisa menangkap ketulusan itu. Dia masih curiga. Curiga jikalau jawaban itu bernilai ambigu. Tidak murni spiritual, namun tersirat juga maksud Ki Ageng Pengging mempunyai rencana merebut tahta Demak Bintara. Pikiran Ki Wanasalam yang sudah terpola dengan kecurigaan, tidak bisa melihat ketulusan kata-kata Ki Ageng Pengging.

Melihat orang yang pikirannya seliar ini, maka percuma Ki Ageng Pengging mengulangi kata-katanya. Beliau lantas memilih diam dan tersenyum. Senyum geli seseorang yang melihat keserakahan tampak didepan matanya. Keserakahan manusia yang terobsesi keduniawian. Dan lagi lagi, senyum ini diartikan lain oleh pikiran Ki Wanasalam. Pikiran yang sudah penuh dengan setan-setan liar!

Jika Ki Wanasalam sadar, dia seharusnya malu. Malu kepada sosok pemuda yang umurnya terpaut jauh dengannya, namun batinnya lebih tulus daripada batinnya sendiri.

Dan pada akhirnya, Ki Wanasalam menyampaikan amanat Sultan Demak. Dia mengeluarkan surat keputusan Sultan Demak. Sembari berdiri, dia membacakan surat keputusan tersebut.

Surat tersebut berisi, mulai semenjak hari yang tertanda dalam surat keputusan Sultan Demak, Ki Ageng Pengging dilepas dari jabatannya sebagai Adipati Pengging. Dan, Pengging bukan lagi wilayah tersendiri. Pengging akan dimasukkan ke wilayah terdekat. Untuk sementara, menunggu keputusan lebih lanjut, Ki Ageng Pengging harus tetap memimpin Pengging dan tetap menjaga keamanan Pengging.

Gemparlah seluruh prajurid Pengging mendengar surat keputusan Sultan Demak tersebut. Sedang, Ki Ageng Pengging malah tersenyum puas. Karena dengan lepasnya jabatan sebagai Adipati dari pundaknya, maka setidaknya, rasa ketidak terimaan beliau akan tahta yang direbut Raden Patah, yang masih tersisa sedikit direlung hatinya, bisa dimatikan ! Namun, tidak begitu bagi para prajurid Pengging. Banyak yang menahan amarah ketidak terimaan !

Selesai membacakan surat keputusan Sultan Demak, Ki Patih Wanasalam, menggulung surat tersebut, menyimpannya kembali dan duduk. Lantas Ki Patih berkata :

“Mulai hari ditetapkannya surat keputusan ini, ananda Ki Ageng Pengging sudah bukan lagi seorang Adipati. Dan atas perintah Kangjeng Sultan Demak, ananda harus menghadap ke Demak demi menunjukkan kesetiaan ananda.”

Ki Ageng menjawab :

“Ki Patih, apa perlunya hamba menghadap ke Demak ? Toh sekarang saya bukan siapa-siapa lagi. Sudahlah, saya sekarang hanyalah orang Sudra, wong cilik. Kangjeng Sultan Demak seyogyanya jangan lagi mencurigai hamba.”

Ki Patih berkata tegas :

“Ini adalah perintah seorang Sultan. Dan beliau memberi waktu bagi ananda tiga tahun kedepan.”

Dan, upacara pelepasan jabatan-pun segera dilakukan. Setelah upacara usai, Ki Wanasalam kembali ke tempat istirahatnya. Dan Ki Ageng Pengging, kembali ke Dalem Agung.

Berita dilepasnya jabatan Adipati dari pundak Ki Ageng Pengging, segera menyebar ke seluruh penjuru Pengging. Menyebar dari mulut ke mulut. Ketidak puasan pun terdengar. Banyak yang tidak bisa menerima akan hal tersebut.

Keesokan harinya, kembali Ki Wanasalam bertemu Ki Ageng Pengging untuk berpamitan.

Hari itu, Pengging gempar. Para Lurah Prajurid Pengging memohon menghadap kepada Ki Ageng Pengging demi untuk menanyakan maksud keputusan tersebut. Dan kepada para Lurah Prajurid Pengging, Ki Ageng mengiyakan keputusan beliau tersebut dan seluruh masyarakat Pengging diminta menerima kenyataan ini. Bagaikan menelan pil pahit para Lurah Prajurid mendengarnya. Ki Ageng Pengging lantas memberikan kepada mereka, untuk bergabung menjadi prajurid Kadipaten yang bakal dipasrahi wilayah Pengging kelak atau melepaskan jabatan sebagai prajurid dan bertani.

Para Lurah Prajurid segera mengumpulkan prajurid Pengging. Kepada mereka, para Lurah Prajurid menawarkan pilihan dari Ki Ageng Pengging. Dan sungguh tidak disangka, seluruh prajurid menyatakan hendak meletakkan senjata dan memilih menjadi petani biasa, mengikuti junjungan mereka, Ki Ageng Pengging!

Dan, di Demak, kabar dilepasnya jabatan Ki Ageng Pengging sebagai Adipati pun merebak pula. Ki Wanasalam sudah menyampaikan hasil dia diutus ke Pengging. Sultan Demak sedikit berlega hati. Namun manakala dia mendengar bahwasanya Ki Ageng Pengging tampak enggan untuk menghadap ke Demak, kecurigaannya kembali muncul.

Tinggal menunggu waktu. Jika sampai tiga tahun mendatang Ki Ageng Pengging tetap tidak menghadap ke Demak, maka tidak ada jalan lain, cucu Prabhu Brawijaya V itu, harus disingkirkan seperti halnya Syeh Lemah Abang!
Keputusan resmi dari pemerintahan Demak Bintara mengenai status wilayah Pengging tidak juga kunjung turun. Ki Ageng Pengging enggan mempertanyakan hal tersebut. Walaupun sesungguhnya, beliau sudah resmi tidak menjabat sebagai seorang Adipati, namun pada kenyataannya, beliaulah yang tetap harus mengelola Pengging dan menjaga kawasan tersebut agar senantiasa kondusif.

Tentu saja, statusnya yang bukan Adipati, mempersulit bagi beliau untuk mengeluarkan kebijaksanaan-kebijaksanaa
n baru dalam urusan ketata negaraan. Pengging ibarat wilayah tanpa penguasa. Pengging stagnan dalam segala bidang. Hanya penarikan upeti dan penyaluran ke pemerintah pusat saja yang terus berjalan. Selain itu, Pengging sudah tidak berarti apa-apa lagi.

Dalam kemiliteran, Pengging sama sekali sudah lumpuh. Pengging adalah wilayah terbuka tanpa perlindungan. Untung, Pengging tetap terkendali.

Kehidupan para penduduk Pengging tetap bersahaja. Para bekas prajurid Pengging yang kini turun ke sawah dan tidak lagi mendapatkan gaji resmi, masih tetap siap sedia mengangkat senjata jika Ki Ageng memerintahkan. Pengging bagai wilayah tak bertuan.

Ki Ageng Tingkir, yang mendengar kabar tersebut, bertandang ke Pengging. Beliau menanyakan maksud keputusan Ki Ageng Pengging, adik iparnya. Dan Ki Ageng Pengging memberikan jawaban yang sejujurnya, bahwasanya ia sudah tidak mau lagi terlibat dengan urusan tetek bengek politik. Beliau lilo legowo, menerima, untuk sekedar menjadi wong cilik, asal hidup lebih tenang dan jauh dari keserakahan duniawi.

Namun, Ki Ageng Tingkir mengingatkan. Pada kenyataannya, kondisi yang dialami Ki Ageng Pengging sekarang jauh lebih sulit. Jelas, beliau bukan lagi Adipati. Namun tugas-tugas seorang Adipati masih harus beliau jalankan. Tanpa hak kewenangan mengeluarkan kebijaksanaan. Tanpa hak mempunyai kekuatan perlindungan wilayah. Tanpa hak gaji penuh dari hasil pajak. Sesungguhnya, Ki Ageng Pengging, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan untuk lepas dari kegiatan perpolitikan. Pihak Demak rupa-rupanya sengaja membuat status Pengging menggantung seperti itu. Dan apakah kondisi seperti ini yang diinginkan ?

Ki Ageng Pengging terdiam. Dan Ki Ageng Tingkir menyarankan, apabila memang sudah mantap dengan keputusannya, seyogyanya, segera meminta kepada Sultan Demak untuk memberikan keputusan pasti mengenai Pengging. Dan itu berarti, Ki Ageng harus melayangkan surat ke pemerintah pusat. Atau kalau perlu, menghadap langsung Sultan Demak.

Dan Ki Ageng Pengging tampak enggan. Melihat keengganan di wajah adik iparnya, Ki Ageng Tingkir mengingatkan sekali lagi dengan nada agak keras :

“Jika memang dhimas masih menginginkan tahta, jangan setengah-setengah lagi. Ingat, kakang siap dibelakang dhimas!”

Dan Ki Ageng Tingkir mohon diri.

Dan itulah terakhir kali Ki Ageng Pengging melihat kakak iparnya. Dua bulan kemudian, Ki Ageng Tingkir wafat. Ki Ageng Tingkir sudah memeluk Islam. Manakala jenazah hendak dimandikan, Ki Ageng Pengging berbisik ditelinga kanan jenazah kakak iparnya :

“Kakang Tingkir, antinen sedhela maneh. Ingsun bakal nusul bebarengan nyabrang segara rahmat.”

(Kakang Tingkir, tunggulah sebentar lagi. Aku akan menyusulmu untuk bersama-sama mengarungi lautan Kasih.)

Kelahiran Ki Mas Karebet.

Istri Ki Ageng Pengging, yang sudah mengandung beberapa waktu lalu, sudah saatnya melahirkan. Kelahiran putra pertama Ki Ageng Pengging ini disambut gemuruh suka cita rakyat Pengging. Upacara kelahiran-pun digelar sangat meriah. Beberapa Pandhita Shiva Buddha datang tanpa diundang demi untuk memberikan doa-doa keselamatan. Hadir pula Ki Ageng butu* dan Ki Ageng Ngerang. Mereka yang beragama Shiva Buddha dan Islam, bercampur, bersuka ria menyambut kelahiran putra Ki Ageng.

Pertunjukan Wayang Beber ( wayang yang diceritakan dengan cara membentangkan gambar. Beber artinya Bentang. Wayang Beber artinya Wayang yang dibentangkan) digelar hingga tujuh malam.

Ki Ageng Pengging, memberikan nama Ki Mas Karebet kepada putranya. Karebet adalah nama lain dari Wayang Beber. Wayang Karebet sama artinya dengan Wayang Beber. ( Kelak, Ki Mas Karebet terkenal dengan nama Jaka Tingkir. Setelah berhasil menjadi Sultan Pajang, lantas bergelar Sultan Adiwijaya)

Pada malam ke tujuh, menjelang dini hari, manakala pertunjukan Wayang hamper usai, para tamu dikejutkan dengan jatuhnya seberkas cahaya dari langit menuju Dalem Agung. Cahaya yang sangat jelas itu meluncur dari atas langit, bergerak cepat, mengarah atap Dalem Agung dimana Ki Mas Karebet ada didalam sana. Dan Cahaya itu lenyap tepat setelah menyetuh atap. Para tamu geger!

Hampir semua para tamu yang masih terjaga, melihat cahaya itu. Yang tertidur cepat-cepat dibangunkan teman-teman mereka. Kejadian yang langka ini segera menyita perhatian semua yang tengah bersuka cita menyambut kelahiran Ki Mas Karebet. Semua tamu-pun sibuk memperkirakan, cahaya apa yang barusan terlihat. Sinarnya terang sedikit kebiru-biruan. Kepercayaan masyarakat Jawa menyebut cahaya itu ANDARU KILAT, atau cukup disebut NDARU. Suatu cahaya yang membawa ‘Wahyu Keprabhon’ atau tanda bahwa dimana kediaman orang yang kejatuhan ANDARU KILAT, sudah bisa dipastikan, kelak akan menjadi Penguasa Agung. Menjadi seorang Raja Besar!

Para Pandhita segera memerintahkan untuk segera merakit sesajen sebagai sarana pelaksanaan sembahyang syukur . Hyang Widdhi Wasa, telah memberikan kepercayaan besar kepada keturunan Ki Ageng Pengging kelak, untuk menjadi Raja Tanah Jawa!

Menjelang pagi hari, begitu pertunjukan Wayang Beber usai, upacara persembahyangan pun digelar! Mantram-mantram Weda terlantun syahdu pagi-pagi buta. Semua tamu yang beragama Shiva Buddha, ikut serta melaksanakan persembahyangan. Dupa mengepul. Merebak mewangi kesegenap penjuru. Suara genta Sang Pandhita berdenting-denting mengiringi ucaran-ucaran mantra.

Duta Demak Bintara.

Tiga tahun sudah berlalu. Dan tiga tahun sudah Ki Ageng Pengging harus mengelola Pengging tanpa status yang jelas. Mas Karebet, tumbuh menjadi bayi yang sehat dan montog. Kulitnya yang putih bersih, tubuhnya yang mungil dan tawanya yang menggemaskan, sangat-sangat menghibur Ki Ageng Pengging beserta istri beliau. Kehidupan Ki Ageng Pengging benar-benar bahagia. Hyang Widdhi melimpahkan kedamaian cinta kasih dalam keluarga beliau.

Namun, lain lagi situasi di Demak Bintara. Tenggang waktu yang diberikan Sultan Demak kepada Ki Ageng Pengging, telah sampai kepada batasnya. Sultan Demak merasa perlu untuk mengambil tindakan tegas. Ki Ageng Pengging, telah dianggap ‘mbalelo’ atau membangkang perintah Sultan!

Setelah menggelar siding dengan para pembesar Kesultanan. Sultan Demak segera mengirim utusan ke Giri Kedhaton, meminta restu Sunan Giri, pemimpin Dewan Wali Sangha, untuk memberi wewenang mengambil keputusan tegas kepada Ki Ageng Pengging. Dan, Dewan Wali merestuinya.

Pada hari yang dipilih, Sultan Demak mengutus Senapati Agung Demak Bintara, Sayyid Ja’far Shodiq atau Sunan Kudus untuk menemui Ki Ageng Pengging. Perintah yang diberikan sangatlah tegas, yaitu memerintahkan Ki Ageng Pengging untuk menghadap ke Demak Bintara. Apabila tetap bersikukuh dengan keengganannya, maka Senapati Demak diberikan wewenang penuh untuk menyingkirkan Ki Ageng Pengging, yang sudah dianggap sebagai pembangkang!

Diiringi tujuh ratus prajurid pilihan Demak Bintara dengan persenjataan lengkap siap tempur, berangkatlah Sunan Kudus ke Pengging!

Tidak diceritakan dalam perjalanan, Sunan Kudus beserta prajurid pilihan Demak Bintara, akhirnya sampai diwilayah Pengging. Malam telah menjelang. Hal ini memang sudah direncanakan oleh Sunan Kudus, yaitu tiba di Pengging tepat malam hari. Setelah beristirahat sejenak, Sunan Kudus memerintahkan pasukan membagi empat kelompok. Masing-masing ditempatkan di keempat penjuru arah, mengepung Pengging! Seluruh prajurid segera bergerak menempati pos masing-masing. Pengging, dalam sekejap telah terkepung dari semua arah!

Namun, gerakan pasukan Demak ini diam-diam diketahui oleh beberapa masyarakat Pengging mantan prajurid. Secepatnya mereka menghubungi mantan Lurah Prajurid Pengging, melaporkan gerak pasukan tak dikenal yang terlihat telah mengepung wilayah Pengging! Mantan Lurah Pengging segera menghadap ke Dalem Agung.

Malam itu, Ki Ageng Pengging mendapat laporan dari mantan Lurah Prajurid Pengging, bahwasanya, wilayah Pengging, telah dikepung dari empat penjuru oleh sepasukan tak dikenal! Dan mantan Lurah Prajurid memperkirakan, mereka adalah pasukan dari Demak Bintara!

Mantan Lurah Prajurid memohon kepada Ki Ageng untuk memerintahkan sesuatu kepada mereka. Dan Ki Ageng memerintahkan agar tetap tenang. Beliau tidak mau ada pertumpahan darah. Yang diincar pasukan Demak adalah dirinya. Maka, Ki Ageng meyakinkan mereka, beliau akan menyelesaikan permasalahan ini secara damai. Namun, tidak ada salahnya para mantan prajurid Pengging disiagakan malam ini juga!

Mantan Lurah Pengging, mendengar jawaban Ki Ageng Pengging, segera bergegas mohon undur. Dengan menggunakan sandi suara burung malam tiruan, suara sandi prajurid Pengging dulu, mantan Lurah Pengging, memerintahkan beberapa orang yang kebetulan bersamanya untuk memberi peringatan tanda bahaya kepada segenap mantan prajurid yang kini tengah tertidur lelap dikediaman masing-masing!

Dari rumah kerumah, begitu mendengar bunyi sandi suara burung malam tiruan, para bekas prajurid Pengging terjaga! Kalaupun ada yg tidak terjaga saking lelapnya tertidur, istri maupun keluarga yang lain segera membangunkan mereka! Para mantan prajurid ini sudah terbiasa mendengar isyarat suara burung malam tiruan tersebut. Yaitu suara yang dibuat oleh beberapa prajurid untuk memperingatkan agar seluruh prajurid waspada dan siaga!

Disana-sini, diseluruh Pengging, para mantan prajurid seketika terbangunkan. Masing-masing segera mengenakan pakaian tempur dan mengambil senjata masing-masing yang sudah hampir tiga tahun tidak pernah mereka pergunakan lagi!

Kini, tinggal menunggu suara tersebut terdengar lagi. Jika kembali terdengar, maka pertanda, seluruh prajurid harus menempati pos mereka dahulu. Pos masing-masing. Namun, bunyi yang dinanti-nantikan, tidak juga kunjung terdengar. Para mantan prajurid Pengging, yang sudah siap sedia dirumah masing-masing, terjaga semalaman suntuk!!

(Inilah kejadian sesungguhnya yang terjadi waktu itu. Dalam Babad Tanah Jawa, hanya diceritakan, begitu Sunan Kudus dan bala tentara Demak tiba dipinggiran wilayah Pengging, mereka serta merta membunyikan gong Kyai Sima. Sima berarti Harimau. Dan bunyi gong tersebut menggema kesegenap wilayah Pengging pada malam hari itu juga, sehingga seluruh masyarakat Pengging tidak bisa tidur semalam suntuk karena ketakutan. Padahal yang dimaksud, bahwasanya kedatangan Sunan Kudus beserta pasukan Demak diwilayah Pengging, bagaikan seekor Harimau yang tengah mengincar mangsanya, yaitu Ki Ageng Pengging. Dan kedatangannya dimalam hari, sudah diketahui oleh para prajurid Pengging. Babad Tanah Jawa sendiri, ternyata juga mencoba merendahkan Pengging dengan cerita bernuansa mistis)




No comments:

Post a Comment