Kisah yang benar-benar terjadi 2500 tahun yang lalu, kisah mengenai pertempuran epik antara bangsa Yunani dengan Persia, pertempuran untuk menyelamatkan tanah air orang-orang Yunani dari serbuan kekaisaran Persia yang didukung puluhan hingga ratusan suku bangsa yang berasal dari negeri-negeri jauh di Asia.
Kisah ini berdasarkan apa yang ditulis Herodotus, ahli sejarah Yunani, dalam karyanya, The Histories, 5 abad SM yang dilihat dari sudut pandang Yunani. Perang memang tidak adil dan tidak ada yang benar dan salah dalam perang. Masing-masing pihak memiliki versinya masing-masing. Bila ada yang lebih mengetahui bagaimana perang dilihat dari kacamata orang-orang Persia, silakan membandingkannya, tentu saja harus didukung oleh bukti-bukti yang kuat.
Kata-kata dalam kurung dengan tulisan miring adalah nama tokoh/tempat dalam bahasa Persia Kuno, sebagian besar nama-nama di bawah ini menggunakan nama Yunani/Latin.
Dinasti Akhaemenida (Hakhamanisiya)
Kita mulai kisah ini dengan silsilah dinasti raja-raja Persia Kuno yang dikenal dengan nama dinasti Akhaemenida (Hakhamanisiya), diambil dari nama pendirinya, Akhaemenes (Hakhamanis), seorang jendral perang yang membentuk angkatan perang pertama pasukan Persia. Putranya, Teispes (Cispis) memperluas wilayah kerajaan Persia dan setelah kematiannya membagi kerajaan menjadi dua bagian. Bagian utara dipimpin oleh putranya Ariaramenes (Ariyaramna) dan bagian Selatan dikuasai oleh putranya yang lain, Cambysses (Kambujiya) I.
Raja pertama Persia Kuno yang menyatukan seluruh wilayah Persia adalah Cyrus (Khurus) The Great , putra Cambysses I, yang naik takhta 559 SM dan mengalahkan Maharaja Astyages dari Media (Mada), 550 SM. Saat itu, kekuasaan Media sangat besar, wilayahnya diperkirakan membentang dari Kappadokia dan Armenia di Barat hingga Baktria, Aria dan Hyrkania di Timur.
Cyrus kemudian merebut Lydia yang diperintah oleh raja Kroesus (kira-kira 547 SM), Baktria, Sogdia, lalu menyerang India dan menaklukkan kota Babylonia (Babiru), 539 SM. Ibukota kerajaan Cyrus bernama Pasargadae (Pathragada), yang dibangun diatas lokasi dimana ia mengalahkan Astyages. Cyrus tewas terbunuh 530 SM saat melakukan penyerbuan ke Massagetae, yang dihuni orang-orang dari suku Skythia.
Cyrus digantikan oleh putranya, Cambysses II, yang menaklukkan Mesir (Mudraya), 525 SM. Tiga tahun kemudian, perang saudara pecah saat orang dalam istana, Gaumata, melakukan kudeta. Cambysses, yang masih berada di Mesir, memilih pulang ke Persia, tetapi meninggal di Syria. Gaumata menghambil alih kepemimpinan yang kosong sampai, saudara jauh dari Cambysses, Pangeran Darius (Darayavaus) yang menikah dengan putri Cyrus, berhasil membunuh Gaumata.
Setelah kudeta kedua dalam waktu satu tahun ini, banyak negeri jajahan yang memberontak. Pemberontakan paling besar dilancarkan oleh Phraortes (Frada) dari Media dan Nidintu-Bel (Naditabira) dari Babylonia. Setelah melewati 19 kali pertempuran, Persia dibawah kepemimpinan dinasti Akhaemenida mengalami masa-masa tenang. Dalam inskripsi monumen Behistun, disebutkan kemenangan Darius adalah bukti bahwa ia adalah utusan agung dari dewa paling disembah bangsa Persia saat itu, Ahuramazda.
Darius menjadi raja Persia dan dikenal dengan nama Darius The Great I. Ia merombak kekaisaran dan membentuk satrapy, negeri-negeri kecil pembayar pajak di bawah jajahan Persia dan diawasi oleh orang-orang yang dipilih khusus. Ia juga mendirikan Persepolis, kota bangsa Persia, dan membangun istana di Susa.
Jendral Persia yang cakap, Mardonius (Marduniya), menaklukkan banyak negara dan menggabungkannya ke dalam Persia, hingga kekaisaran ini berkembang semakin besar. Saat itu, wilayah kekuasaan Persia membentang dari Makedonia di Barat sampai Pakistan di Timur. Dari sungai Syrdarýa di pegunungan Kaukassus di Utara hingga gurun pasir Libya dan Teluk Persia di Selatan.
Dan dari seberang lautan, mereka memandang dengan ambisius sebuah negeri yang belum mereka taklukkan, pintu masuk ke daratan Eropa, yang terkenal kaya akan emas, Yunani. Tetapi ada banyak hal yang terjadi sebelum itu.
Yauna dan Persia
Yauna adalah nama Persia Kuno untuk Yunani (kata Yunani dalam Bahasa Indonesia pun berasal dari sini), diambil dari kata " Iona ’’, istilah Yunani untuk orang-orang Yunani yang mendiami koloni mereka di Asia Kecil (sekarang masuk wilayah Turki). Beberapa kota terbesarnya adalah Miletus, Samos dan Ephesus dimana pernah terdapat Kuil Artemis yang termasuk Tujuh Keajaiban Dunia Kuno.
Kata Yauna muncul pertama kali dalam daftar subyek nama suku bangsa di inskripsi monument Behistun, yang dibangun oleh Darius, 520 SM. Serupa dengan catatan Herodotus dalam The Histories yang mengaitkan bangsa Ionia dengan raja Persia, Cyrus The Great, yang menaklukkan wilayah ini 546 SM. Menurut Herodotus, orang-orang Iona digabungkan ke dalam satu wilayah pembayar pajak bersama dengan suku-suku Pamphylia, Lykia, Magnesia, Aeolia, Milya dan Karia.
Berada di bawah Kekaisaran Persia selama hampir 50 tahun, menumbuhkan rasa ketidak senangan di hati orang-orang Iona yang ingin membentuk pemerintahan demokrasi yang berdaulat. Dengan dipimpin Aristagoras dari Miletus serta dibantu pasukan dari Athena dan Eretria, orang-orang Iona memberontak 499 tahun SM. Selain di Miletus, pemberontakan serentak terjadi di kota-kota Iona lainnya seperti Ephesus, Byzantium dan Cyprus.
Pemberontakan memang berhasil dipadamkan dalam waktu enam tahun tetapi ribuan orang, baik laki-laki maupun wanita terbunuh. Miletus, kota yang memulai pemberontakan dibakar, dinding-dindingnya diluluhlantakkan dan penduduk kotanya dibunuh atau ditawan sebagai budak. Jelas sudah, cengkraman kekuasaan Persia di Asia Kecil akan lebih kuat bila hubungan orang-orang Iona dengan saudaranya di Barat Laut Aegea dipisahkan dengan memperlebar sayap kekuasaan Persia ke Barat.
Sebagai langkah awal, Jendral Mardonius dikirim untuk menaklukkan Makedonia. Ia memimpin 300 kapal dan 20.000 orang pasukan. Thasos, pulau Yunani yang memiliki banyak kekayaan alam direbut dan kemudian menjadi pembayar upeti untuk Kekaisaran Persia. Selanjutnya Makedonia dengan mudah ditaklukkan dan dimasukkan ke dalam wilayah Persia (492 SM).
Penaklukan ini sangat penting, karena Makedonia merupakan basis yang tepat untuk menguasai daratan Eropa selanjutnya dan negeri ini memiliki tambang emas. Darius dengan bangga menulis dalam inskripsi di makamnya di Naqs-i Rustam bahwa ia telah menaklukkan Yauna Takabara, “Orang Yunani bertopi”, mengacu pada kebiasaan orang-orang Makedonia mengenakan penutup kepala.
Dua tahun kemudian (490 SM), Darius mengirim ekspedisi selanjutnya ke Barat. Kali ini di bawah komando Datis dan Artaphernes. Tanpa banyak perlawanan, pulau-pulau Yunani di Laut Aegea, ditaklukkan. Pertama mereka merebut Naxos, pulau terbesar di Laut Aegea dan untuk merayakan kemenangan mereka, pasukan Persia melakukan upacara persembahan kepada dewa Apollo di Delos. Walaupun mereka tidak mengenal Apollo, tetapi mungkin orang-orang Persia menyamakan dewa bangsa Yunani ini dengan dewa mereka, Ahuramazda.
Kemudian kapal-kapal perang Persia melanjutkan penyerangan ke pulau Euboea (baca: evvia) dan menyerbu Eretria, salah satu kota Yunani yang mendukung para pemberontak di Asia Kecil. Pertempuran sengit berlangsung selama enam hari, tapi pada hari ketujuh kota itu jatuh karena ada yang berkhianat. Semua penduduk ditawan oleh pasukan Persia dan kemudian diasingkan. Dari Euboea, terlihat dataran luas Marathon, yang termasuk wilayah Athena, target selanjutnya penyerbuan tentara Persia.
Perang Marathon
Beberapa hari kemudian pasukan Persia mendarat di Marathon, 25 kilometer dari Athena. Hippias, putra Peisistratos, ditunjuk untuk memimpin komando atas Datis, Artaphernes dan 25.000 tentara Persia termasuk pasukan berkuda elit Persia yang berhadap-hadapan dengan 10.000 pasukan infantri Athena dengan persenjataan berat (hoplite) yang memblokir jalan menuju kota Athena.
Hippias ini dulu pernah menjadi raja tiran di Athena sebelum pemerintahan Athena menganut paham demokrasi. Keinginannya untuk kembali ke kota kelahirannya sejalan dengan ambisi Darius, yaitu mendirikan kerajaan Pro-Persia di seluruh wilayah Yunani.
Di saat genting tersebut, pasukan Athena mengirim seorang utusan bernama Pheidippides ke Sparta, untuk meminta Sparta mengirimkan bala bantuan secepat mungkin. Pheidippides kembali tiga hari kemudian setelah menempuh jarak 450 kilometer, membawa berita bahwa orang-orang Sparta harus menunggu sampai bulan purnama untuk melakukan aktifitas militer sesuai adat di yunani, yang berarti enam hari kemudian! (Catatan mengenai bulan purnama ini memungkinkan ahli sejarah menentukan tanggal pertempuran di Marathon).
Sementara pasukan Athena menunda pertempuran, mereka mendapatkan bantuan dari sekutu mereka, Plataea. Lawan terberat bagi orang-orang Yunani adalah pasukan elit berkuda Persia yang sangat tangguh. Ditambah, Marathon adalah dataran terbuka yang memungkinkan pemanah-pemanah Persia untuk bersembunyi di balik bukit. Tidak mungkin bagi pasukan infantri Athena untuk melancarkan serangan di Marathon, karena akan menjadi sasaran empuk mereka.
Tetapi pasukan Yunani masih memiliki seorang jendral pemberani bernama Militiades, yang mempunyai dendam atas orang-orang Persia, karena telah memaksanya mengungsi dari kerajaannya di pintu masuk Selat Hellespontus. Suatu hari, ia mendapat pertanda baik dan memimpin pasukan Yunani ke dalam formasi tempur. Di bagian tengah pasukan, ia menempatkan tentara dengan persenjatan kurang kuat, tetapi di bagian sayap kanan dan kiri, ia mengatur posisi tentara dengan persenjataan lebih kuat dan lembing lebih panjang.
Saat fajar menyingsing, tanggal 10 September atau 12 agustus 490 SM, ia melancarkan serangan kearah musuh, yang jaraknya sekitar dua kilometer dari perkemahan pasukan Yunani. Pasukan Persia yang unggul dalam jumlah, melihat serangan ini sebagai serangan bunuh diri besar-besaran dan menyerbu dengan kekutan penuh.
Tetapi di saat kedua pasukan bertumbukan, tentara Yunani di sayap kanan dan kiri bergerak maju dan merangsek pasukan Persia dari samping dan belakang, sekaligus menutup celah untuk tentara Persia melarikan diri. Dalam kekacauan, pasukan Persia yang panik, kalang kabut berusaha keluar dari perangkap pasukan Yunani dan melarikan diri secara membabi buta ke arah kapal-kapal Persia ditambatkan. Akibatnya banyak tentara Persia yang mati karena panik dan terkejut oleh serangan balik orang-orang Yunani, Menurut Herodotus, dalam pertempuran Marathon, pasukan Athena kehilangan 192 tentaranya, sementara korban tewas dari pasukan Persia mencapai 6400 orang.
Meskipun perang telah dimenangkan orang-orang Yunani di Marathon, ini bukanlah akhir dari invasi Persia. Pasukan Persia berhasil menarik mundur kapal-kapal mereka dan berniat menyerang Phaleron, pelabuhan Athena. Tetapi pasukan Athena juga telah meninggalkan Marathon dan menyiapkan diri di Phaleron untuk menghadapi serbuan bangsa Persia yang kedua kalinya. Karena sudah tidak mungkin untuk menduduki Athena tanpa perlawanan sengit, kapal-kapal Persia berlayar meninggalkan Yunani dan kembali ke Asia.
Dan inilah akhir dari perang Yunani-Persia pertama: Datis dan Artapharnes kembali ke Persia dan mendapat penghormatan dari sang raja, tawanan penduduk Eretria diasingkan di Mesopotamia, Hippias tidak pernah kembali ke Athena dan pasukan Sparta yang tiba belakangan, sudah terlambat untuk ambil bagian dalam pertempuran.
Walaupun begitu, rencana Darius untuk menancapkan kekuasaan Persia di pulau-pulau sekitar Laut Aegea berhasil dan wilayah kekuasaan Persia di Asia Kecil terlindung dari serangan orang-orang Yunani.
“Jangan sebut aku putra Darius, putra dari Hystaspes, putra dari Arsames, putra dari Ariaramnes, putra dari Teispes, putra dari Cyrus, putra dari Cambysses, putra dari Teispes, putra dari Achaemenes, jika aku tidak membalas (perbuatan) orang-orang Athena!” (kata-kata Xerxes di hadapan para bangsawan Persia sebelum berangkat menuju Yunani).
Xerxes
Darius, sebelum menjadi raja Persia, telah memiliki tiga anak laki-laki dari istri pertamanya, yang tertua bernama Artabazanes. Lalu saat ia naik takhta, ia menikah lagi dengan Atossa, putri Cyrus dan memiliki empat orang anak darinya, anak pertama dari istri keduanya ini diberi nama Xerxes.
Artabazanes sebagai anak paling tua dari semua keturunan Darius, menuntut takhta kerajaan jatuh ke tangannya. Sementara Xerxes berdalih ia lahir dari rahim Atossa, putri Cyrus dan Cyruslah yang telah berjasa memperjuangkan kerajaan Persia berdiri.
Perdebatan antara kedua pangeran Persia berlainan ibu ini semakin sengit sampai suatu ketika, Demaratus putra Ariston yang kehilangan takhtanya dan diasingkan dari Sparta, tiba di Susa dan mendengar perselisihan itu. Ia pergi menemui Xerxes dan berpendapat bahwa saat Xerxes dilahirkan, Darius sudah menjadi raja Persia yang berkuasa atas seluruh negeri, sementara saat Artabazanes lahir ke dunia, Darius hanyalah warga negara Persia biasa. Atas dasar pertimbangan itu, Xerxes lah yang lebih berhak atas takhta kerajaan Persia.
“Karena di Sparta,” ujar Demaratus, “ hukum memutuskan apabila seorang raja memiliki anak sebelum ia memerintah dan setelah menjadi raja ia memiliki anak lagi, maka anak yang lahir belakangan itulah yang berhak mewarisi takhta kerajaan”
Xerxes sependapat dan ia membujuk Darius yang lalu akhirnya memutuskan Xerxes untuk menjadi penerusnya. Tetapi seperti kata Herodotus dalam The Histories, ada atau tidak nasihat dari Demaratus, takhta pasti akan jatuh juga ke tangan Xerxes, karena Atossa sangat berkuasa dan memiliki pengaruh luas.
Saat berita kekalahan pasukan Persia di Marathon sampai ke telinga Darius, ia memutuskan untuk menyerang Yunani dengan kekuatan penuh. Tetapi pemberontakan di Mesir membuatnya menunda penyerangan dan ia keburu wafat sebelum menjalankan rencananya sekitar paruh kedua bulan November 486 SM.
Raja Persia yang baru naik takhta, Xerxes, berhasil menumpas pemberontakan di Mesir dan pada awalnya tidak ingin melakukan penyerbuan ke Yunani. Tetapi, Mardonius, jendral Persia yang gagal dalam perang sebelumnya, terus mendesaknya untuk membalas orang-orang Athena sekaligus melakukan penyerangan besar-besaran ke Eropa.
Paman Xerxes, Artabanus, puta Hystaspes, keberatan dengan rencana itu karena resikonya terlalu tinggi. Pada awalnya Xerxes menganggap pamannya itu pengecut, tapi kemudian ia berbalik pandangan dan setuju dengan pamannya.
Sampai kemudian Xerxes bermimpi bertemu seorang pria misterius yang memberi tahunya bila ia tidak ikut pergi berperang, dewa-dewa akan menghukumnya. Saat Artabanus mengalami mimpi buruk yang sama, mereka mengerti bahwa perang melawan Yunani adalah kehendak para dewa.
Dalam mimpinya yang terakhir, Xerxes melihat ia dimahkotai daun zaitun yang cabang-cabangnya menjulur dan menyebar menutupi seluruh Bumi dan tiba-tiba rangkaian daun itu menghilang begitu saja. Ahli nujum menafsirkan kerajaan Persia akan meliputi seluruh dunia dan seluruh umat manusia akan tunduk pada Xerxes. Begitu mendengar tafsir mimpi itu, Xerxes bertambah yakin dan mengumpulkan semua pemimpin Persia dari seluruh negeri.
Dihitung dari pemulihan kemanan di Mesir setelah pemberontakan, butuh waktu empat tahun bagi Xerxes untuk mengumpulkan pasukan besarnya lengkap dengan prajurit yang telah siap tempur. Dan di tahun kelima, telah berkumpul pasukan gabungan Persia yang jumlahnya luar biasa banyaknya. Tidak ada satupun pasukan sanggup menandingi kekuatan dan jumlahnya, tidak pasukan Darius saat menyerang Skythia, dan tidak juga pasukan Yunani saat menyerbu kota Troya.
Tapi sebelum itu, agar kegagalan armada Mardonius yang dihancurkan badai (492 SM) tidak terulang, Xerxes memerintahkan sebuah kanal dibangun membelah peninsula Athos sepanjang 12 furlong (2,4 km) yang pengerjaannya membutuhkan waktu tiga tahun (483-480 SM). Pasukan Persia dari berbagai negara ikut diperbantukan membangun kanal ini di bawah pengawasan Bubares, putra Megabazus dan Artachaees, putra Artaeus. Bahkan penduduk asli di sekitar Athos pun dipaksa ikut menggali kanal itu. Inilah pekerjaan pembangunan terbesar di zaman itu dan dengan karya fenomenal itu Xerxes dengan bangga menunjukkan kekuatannya.
Dan agar pasukan daratnya dapat menyeberangi selat Hellespontus, Xerxes membangun jembatan panjang melintasi selat itu yang terbuat dari kayu-kayu dan tali temali dari bahan rami serta papyrus. Pekerjaan ini ia percayakan pada kemampuan orang-orang Phoenikia dan Mesir. Jembatan itu sendiri panjangnya 7 furlong (1,4 km), menyambungkan benua Asia dengan Eropa.
Selama pekerjaan ini berlangsung, pasukan darat Persia yang dipimpin Xerxes mulai menempuh perjalanan panjangnya menuju Sardis dimulai dari kota Kritalla di Kappadokia. Saat Xerxes melintasi kota Kallabetus di Lydia, ia melihat pohon buah yang sangat indah. Pohon itu adalah pohon delima (pommegranate) yang buahnya dijadikan simbol hiasan di lembing pasukan Persia.
Saat itu jembatan yang melintasi Hellespontus hampir sudah selesai. Tetapi datang badai yang memporak-porandakan jembatan itu. Xerxes yang sangat murka memerintahkan dewa Hellespontus dihukum cambuk 300 kali dan sepasang belenggu diceburkan ke dalam selat itu. Dan semua mandor yang bertanggung jawab atas pekerjaan itu dipenggal kepalanya.
Pekerjaan itu akhirnya diselesaikan pekerja ahli yang lain dengan menggabungkan perahu jenis trireme dan penteconter*) : 360 buah perahu menopang jembatan di sisi Laut Euxine dan 314 buah lainnya menyokong jembatan di sisi lainnya. Setelah menggabungkan kesemua perahu, ia menambatkan jangkar dengan ukuran besar agar tidak goyah bila diterjang angin yang datang dari Laut Euxine maupun Laut Aegea. Saat semuanya siap mereka menguatkan tali-tali jembatan dengan menariknya dari pantai. Mereka menggabungkan enam tali di masing-masing sisi: dua terbuat dari rami putih dan empat dari bahan papyrus.
Saat semuanya telah siap, pasukan Xerxes yang melewatkan musim dingin di Sardis (Oktober 481 SM), bergerak menuju Abydos, dengan persenjataan lengkap, di awal musim semi. Di saat mereka berangkat, matahari tiba-tiba menghilang dari langit dan siang menjadi gelap gulita. Xerxes yang melihat pertanda itu bertanya kepada ahli nujum dan mereka menjawab: "Dewa agung telah menunjukkan kepada orang-orang Yunani kehancuran kota-kota mereka, karena matahari adalah pertanda baik bagi mereka sementara bulan adalah azimat kita."
Dan saat yang bersejarah telah tiba. Di bulan Juni, 480 tahun SM, pasukan Persia telah sampai di Abydos dan bersiap menyeberangi jembatan Hellepontus. Saat fajar merekah, Xerxes yang menggenggam cawan emas, menuangkan persembahan pada para dewa ke laut, dan sambil wajahnya menghadap matahari ia berdoa, “Semoga tidak ada kemalangan yang menimpa pasukan Persia yang menghalangiku untuk menaklukkan bumi Eropa, sampai aku melangkah ke batas-batas terjauh benua ini.” Setelah ia berucap, ia menceburkan cawan emas, berikut mangkuk emas dan sebilah pedang Persia ke dalam Hellespontus.
Di hari pertama, yang melintasi jembatan adalah prajurit darat, bersama Sepuluh Ribu Pasukan Persia, The Immortal dan kemudian prajurit gabungan dari berbagai suku di Asia. Di hari berikutnya melintas, kusir kereta, prajurit yang membawa lembing, kereta dan kuda-kuda keramat Persia. Lalu Xerxes diiringi pasukan kuda bertombak dan sisa pasukan.Di saat bersamaan, kapal-kapal berlayar ke pantai seberang. Penyeberangan itu sendiri memakan waktu tujuh hari tujuh malam tanpa henti.
Gambar 1: Relief Xerxes pada bangunan istana di Susa. (http://www.livius.org/x/xerxes/xerxes.html)
Gambar 2: Rekonstruksi perahu trireme (kiri) dan replika perahu penteconter (kanan).
*Trireme adalah perahu dengan tiga baris dayung di masing-masing sisinya dengan total 170 orang pendayung sementara penteconter adalah perahu layar dengan 50 orang pendayung. (http://www.bertsgeschiedenissite.nl/ijzertijd/eeuw5bc/penteconter.jpg dan http://johnlarroquetteproject.com/wordpress/wp-content/uploads/2008/06/trireme.jpg
Gambar 3: Gerakan pasukan Persia darat dan laut setelah melintasi Hellespontus, gambar insert adalah kanal yang Xerxes bangun di sepanjang semenanjung Athos.
No comments:
Post a Comment