Saifuddin Zuhri Qudsy
Dosen Fakultas Ushuluddin, Studi Agama, dan Pemikiran Islam
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Pendahuluan
Dalam Syi’ah, perpecahan terjadi diantara para ekstrimis dan moderat setelah wafatnya Ja’far Shadiq pada 765, imam yang keenam setelah Ali. Pada waktu itu, anak yang tertua Ja’far adalah Ismail. Karena alasan-alasan yang belum jelas, dan barangkali karena kerja samanya dengan elemen-elemen ekstrimis, Ismail tidak dianggap sebagai pewaris keimaman, dan sebagian besar orang Syiah menjadikan adiknya yakni Musa al-Kazim sebagai Imam ketujuh. Garis keturunan Musa bersambung hingga imam kedua belas yang menghilang pada 873, beliau tetap menjadi imam ‘yang dinantikan’ atau imam Mahdi, bagi sebagian besar orang-orang Syi’ah saat ini. Para pengikut keduabelas imam tersebut terkenal dengan nama Itsna Asyariyah atau Twelver Syiah yang merupakan sekte yang paling moderat di antara sekte yang lain. Perbedaan mereka dari Sunni hanya sebatas pada pokok-pokok ajaran tertentu saja yang pada tahun-tahun terakhir menjadi tidak signifikan lagi. Sejak abad XVI sekte Syiah Itsna syariyah menjadi anutan resmi penduduk Iran (Bernard Lewis, 1967: 26.
Kelompok yang lain mengikuti Ismail dan keturunannya, dan dikenal sebagai Ismailiyah. Untuk sekian lama bekerja secara diam-diam, dan mendirikan sebuah sekte yang terorganisir dengan baik dan memiliki daya tarik intelektual maupun emosional yang jauh melampaui saingan-saingannya. Untuk mengganti semrawutnya dugaan-dugaan dan takhayul primitif dalam sekte-sekte Ismailiyah yang terdahulu, sejumlah teolog terkemuka membangun sebuah sistim doktrin religius yang mengandung filsafat tingkat tinggi dan mengarang berbagai karya yang, setelah beberapa abad kemudian masih diakui kehebatannya. Bagi orang-orang saleh, sekte Ismailiyah sebenarnya juga menghormati al-Qur’an, hadits, dan Syari’ah sama halnya dengan yang dilakukan oleh orang-orang Sunni. Dalam masalah intelektual, mereka memberikan penjelasan-penjelasan filosofis mengenai alam semesta, dengan merujuk pada sumber-sumber kuno khususnya ide-ide platonik. Dalam masalah spiritual membawa kehangatan, kepercayaan emosional dan personal yang disokong oleh contoh penderitaan para imam dan pengorbanan para pengikutnya —pengalaman tentang gairah dan pencapaian kebenaran. Kepada orang-orang yang tidak puas terhadap penguasa, mereka menawarkan daya tarik sebuah gerakan oposisi yang kuat, tersebar luas, dan terorganisir dengan baik, yang tampaknya mampu menawarkan kemungkinan untuk menggulingkan penguasa yang ada, dan membangun sebuah tatanan masyarakat baru yang adil, dipimpin oleh Imam –pewaris nabi yang dipilih oleh Tuhan dan satu-satunya pemimpin yang paling tepat untuk seluruh manusia.
Dalam buku-buku sejarah disebutkan bahwa pada masa sepeninggal al-Mustansir (1035-1094M), gerakan Ismailiyah mengalami perpecahan serius dengan adanya dua kelompok yang berada di belakang kedua putra Al-Mustansir yakni Nizar dan Al-Musta'li. Kelompok Nizar cendrung ekstrem dan aktif, basis gerakannya di Suriah dan Persia. Kelompok Nizar inilah yang menjadi cikal bakal dari kelompok Hasyasyin yang menentang kepemimpinan Fatimiyyah, bahkan Nizar mem proklamirkan dirinya sebagai khalifah yang syah dengan gelar Al-Musthafa li Din Allah (Ajid Thahir, 2004: 121-122). Kelompok Nizariyah dapat ditumpas kekuatannya oleh Khalifah Al-Musta’li. Sedangkan Kelompok Al-Musta’li lebih moderat, mereka adalah leluhur dari kelompok spiritual Ismailiyah Bohra di Bombay India (Bosworth, 1993: 73).
Sejarah Assassins
Assassins atau hasyasyin, begitulah sebutannya. Kata inilah yang kemudian populer saat terjadinya perang Salib, dan di Barat kata ini dibawa oleh Marco Polo, serta dipopulerkan oleh Edward Burman (1987) dan Bernard Lewis. Dalam sejarahnya, hasyasyin merupakan satu kelompok sempalan dari sekte Syiah Ismailiyyah. Hitti dalam bukunya tidak menyebutkan kata assassins, tetapi hasyasyin. Gerakan ini merupakan gerakan sempalan dari ajaran Ismailiyyah yang berkembang pada dinasti Fathimiyyah, Mesir. Hassan Sabbah (w. 1124) adalah pendirinya dan para anggota hasyasyin menyebut gerakan mereka sebagai da’wah jadidah (ajaran baru). Menurut Hitti, Hassan Sabbah mengaku sebagai keturunan raja-raja Himyar di Arab Selatan. Menurutnya motif gerakan ini murni memuaskan ambisi pribadi, dan dari sisi keagamaan sebagai alat untuk balas dendam (Philip K. Hitti, 2010: 565). Hassan Sabbah dilahirkan di kota Qumm, salah satu pusat perkampungan Arab di Persia dan benteng orang-orang Syi’ah Itsna Asyariyah. Ayahnya, seorang pengikut Syiah Itsna Asyariyah, datang dari Kufah, Iraq, dan dikatakan sebagai orang asli Yaman. Tanggal kelahiran Hasan tidak ketahui, namun barangkali sekitar pertengahan abad XI. Ketika dia masih kecil, ayahnya pindah ke Rayy –kota modern di dekat Tehran, di sana Hasan mendapatkan pendidikan agamanya. Rayy merupakan pusat aktivitas para dai semenjak abad IX dan tak lama kemudian Hasan mulai terpengaruh oleh mereka (Philip K. Hitti, 2010: 565).
Alamut merupakan basis pertahanan dari hasyasyin. Benteng ini dibangun di atas punggung bukit di puncak sebuah gunung batu yang tinggi pada jantung pegunungan Elburz, serta mempunyai sebuah lembah yang tertutup dan kuat, yang panjangnya sekitar 30 mil, dan luasnya 3 mil. Tinggi gunung tersebut sekitar 6000 kaki di atas permukaan laut, dan hanya bisa dicapai melalui sebuah jalan sempit, curam dan berliku. Untuk mendekati batu tersebut orang harus melalui jurang sempit di sungai Alamut, yang terletak diantara jurang tegak lurus dan kadang menggantung.
Istana tersebut dikatakan telah dibangun oleh salah seorang raja Daylam. Ketika dia sedang keluar untuk berburu dia kehilangan burung Elang piarannya yang ternyata hinggap di gunung batu tersebut. Raja melihat nilai strategis posisi gunung batu tersebut dan saat itu pula dia membangun sebuah istana di atasnya. Dia memberi nama istana tersebut Aluh Amut yang dalam bahasa orang-orang Daylam berarti ajaran burung Elang.
Alamut, sebagai benteng pertahanan yang dimiliki oleh hasyasyin dipandang mempunyai peranan penting dalam melakukan serangan-serangan mendadak ke berbagai arah yang mengejutkan benteng-benteng pertahanan lawan. Dalam berbagai upayanya untuk mencapai tujuan, mereka menggunakan pisau-pisau belati yang indah, yang menjadikan pembunuhan sebagai seni. Organisasi rahasia mereka, yang didasarkan atas ajaran Ismailiyyah, mengembangkan agnostisisme yang bertujuan untuk mengantisipasi anggota baru dari kekangan ajaran, mengajari mereka konsep keberlebihan para nabi dan menganjurkan mereka agar tidak mempercayai apa pun serta bersikap berani untuk menghadapi apa pun. Di bawah mahaguru ada tingkatan guru senior yang masing-masing bertanggung jawab atas setiap daerahnya. Di bawahnya, ada dai-dai biasa, sedangkan tingkatan yang paling rendah adalah para fida’i yang selalu siap sedia melaksanakan setiap perintah sang Mahaguru (syekh, the elder, orang tua) (Philip K. Hitti, 2010: 565).
Hasyasyin juga cukup dikenal di dunia Barat. Persentuhannya dengan Barat, menurut Lewis, dimulai ketika belati mereka tertancap pada Conrad of Montferrat, raja kerajaan Latin Yerusalem. Pembunuhan tersebut, menurut Lewis, menimbulkan kesan yang mendalam pada para pasukan perang salib, dan mayoritas kronikus perang salib III mempunyai pengungkapan sesuatu mengenai sekte yang menakutkan tersebut, dan keyakinan serta cara-caranya yang aneh, serta pemimpin mereka yang mengagumkan. “Saya mengaitkan beberapa hal pada si syekh (the elder) ini” kata penulis kronik Jerman, Arnold of Lubbeck, “yang tampak menggelikan namun dapat saya buktikan dengan bukti-bukti serta saksi-saksi yang terpercaya. Mahaguru ini mempunyai ilmu sihir yang dapat membikin kagum banyak orang di negerinya, yang membuat mereka tidak menyembah dan tidak pula percaya kecuali kepadanya. Dia memikat mereka juga dengan cara yang aneh, seperti memberi harapan-harapan, janji-janji kesenangan dan kebahagiaan abadi, yang membuat mereka lebih memilih mati untuk mendapatkannya. Bahkan banyak diantara mereka yang akan terjun dari dinding yang tinggi yang akan menghancurkan kepala mereka dan membuat mereka mati dengan cara yang amat mengerikan, hanya dengan aba-aba anggukan kepala atau perintahnya. Ketika beberapa diantara mereka lebih memilih mati dengan cara ini —membunuh seseorang dengan keahliannya dan kemudian mereka akan membunuh diri mereka hingga sekarat dalam keberkatan—, sang mahaguru memberikan mereka belati yang disiapkan secara khusus untuk prosesi ini, dan kemudian dia memberi semacam obat yang dapat membuat mereka mabuk serta lupa, kemudian mereka ditunjukkan, dengan magisnya, pada mimpi-mimpi yang fantastis, penuh kesenangan, atau semacam itu. Tidak hanya berhenti di situ saja, sang mahaguru menjanjikan bahwa mereka akan menikmati kebahagiaan seperti itu selamanya sebagai balasan perbuatan yang telah mereka lakukan” (Bernard Lewis, 1967: 4).
Menurut Lewis, bagi para korbannya, para hasyasyin adalah orang-orang kriminal fanatik yang bergerak dalam konspirasi pembunuhan melawan agama dan masyarakat. Bagi para pengikut Ismailiyah, mereka adalah korps elit yang berperang melawan musuh-musuh imam; dengan menjatuhkan para penindas dan perebut kekuasaan, mereka memberikan bukti nyata akan kepercayaan dan loyalitas mereka, serta segera memperoleh kebahagiaan yang abadi. Orang-orang Ismailiyah sendiri menggunakan istilah fidai —yang secara kasar berarti pengikut setia— untuk menyebut pasukan pembunuh mereka, dan sebuah syair Ismailiyah yang indah memuji keberanian dan kesetiaan total mereka. Dalam sebuah kronik lokal Ismailiyah di Alamut, yang ceritakan oleh Rashid ad-Din dan Kashani, ada sebuah daftar pujian untuk pembunuhan-pembunuhan, yang juga menyertakan nama-nama korban beserta para pembunuhnya ((Bernard Lewis, 1967: 48).
Dari segi bentuk, orang-orang Ismailiyah merupakan sebuah masyarakat rahasia, yang mempunyai sistem sumpah, inisiasi serta tingkatan-tingkatan pangkat dan pengetahuan. Rahasia-rahasia mereka terjaga dengan baik, dan informasi mengenai mereka terpisah-pisah serta membingungkan. Orang-orang ortodoks yang suka berpolemik melukiskan orang-orang Ismailiyah sebagai gerombolan orang-orang nihilis palsu yang menipu korban-korbannya melalui tahapan-tahapan penistaan yang terus menerus, dan pada akhirnya memperlihatkan hal-hal yang amat buruk kepada orang-orang yang tidak mempercayai mereka.
Para penulis Ismailiyah melihat sekte ini sebagai penjaga misteri yang suci yang hanya bisa dicapai setelah melalui rangkaian panjang persiapan serta proses. Istilah yang umum dipergunakan untuk organisasi sekte ini adalah da’wa (dalam bahasa Persianya Da’vat), yang berarti missi atau ajaran; agen-agennya adalah para dai atau missionaris —secara literal berarti penyeru atau pengajak— yang merupakan suatu jabatan kependetaan melalui pengangkatan. Dalam laporan-laporan Ismailiyah belakangan mereka dibagi keberbagai macam tingkatan dai, guru, murid –tingkatan rendah atau tinggi-, sedangkan di bawah mereka adalah mustajib —secara literal berarti simpatisan atau responden, yang merupakan murid yang paling rendah— tingkatan yang paling tinggi adalah hujjah (dalam bahasa Persianya Hujjat), dai senior. Kata jazirah ‘pulau’, digunakan untuk menunnjukkan teritorial atau yurisdiksi etnik yang diketuai oleh seorang dai (Bernard Lewis, 1967: 49).
Gambaran yang dideskripsikan oleh Lewis di atas sangat menarik, karena hal seperti ini pula sebenarnya yang memacu seseorang untuk melaksanakan jihad fi sabilillah dengan mengangkat pedang. Penjelasan mengenai surga —seperti yang dipaparkan dalam al-Qur’an— yang di dalamnya terdapat sungai anggur, madu, dan susu, perempuan-perempuan cantik, serta kebun-kebun yang belum pernah dilihat di mata disuguhkan secara konkrit oleh sang mahaguru, sehingga pemuda yang disiapkan menjadi hasyasyin benar-benar percaya dan tidak memiliki alasan untuk tidak percaya bahwa itulah surga. Dan memang pada masa perang salib, hal ini memberikan kesan yang mendalam mengenai taktik dan strategi hasyasyin dalam meneror dan membunuh target-target yang menjadi korbannya. Dan tidak itu saja, Lewis mensinyalir bahwa hasyasyin juga sering disewa oleh orang-orang Barat untuk membunuh musuh-musuhnya. Dalam setiap pembunuhan yang mereka lakukan, baik di persia maupun di Syiria, para Hasyasyin selalu menggunakan belati; tidak pernah memakai racun atau peluru meskipun dalam banyak kesempatan hal itu akan membuat pembunuhan menjadi lebih mudah dan lebih aman. Menurut Lewis, seorang Hasyasyin hampir pasti selalu tertangkap, dan biasanya mereka memang tidak berusaha melarikan diri; bahkan ada anggapan bahwa selamat setelah melaksanakan tugas merupakan suatu hal yang memalukan. Seorang pengarang Barat abad XII mengatakan: “ketika kemudian ada beberapa orang di antara mereka yang memilih mati dengan cara ini… dia sendiri (baca: sang ketua) akan memberi mereka pisau yang menurutnya memang disiapkan untuk itu…”(Bernard Lewis, 1967: 47). Hal ini dikarenakan sang hasyasyin benar-benar mengharapkan surga.
Sisa-sisa Hasyasyin Saat Ini (Abad XIX-XX)
Bagaimana keadaan sekte ini pada saat ini? Lewis dalam buku Assassins mengungkapkan bahwa pada 1833, dalam Journal of The Royal Geographical Society, seorang pegawai British yang dikenal dengan Colonel W. Monteith dalam perjalanannya telah sampai pada pintu masuk lembah Alamut, tetapi belum benar-benar sampai atau mengenali istana tersebut. Lebih jauh dia menuliskan bahwa hal ini kemudian berhasil dilakukan oleh seorang saudara W. Monteith, Lieutenant Colonel (sir) Justin Sheil, yang laporannya diterbitkan pada jurnal yang sama tahun 1838. Seorang pegawai British yang ketiga yang bernama Stewart mengunjungi istana tersebut beberapa tahun kemudian. Setelah itu, baru satu abad kemudian penelitian mengenai Alamut dimulai lagi.
Data ini kemudian Lewis perkuat dengan mengatakan bahwa, pada 1811, Rousseau, konsul dari Aleppo, dalam sebuah perjalanan ke Persia menyelidiki pengikut Ismailiyah dan kaget saat mengetahui bahwa di kota tersebut masih banyak yang masih setia pada seorang imam yang bergaris keturunan Ismail. Nama imam tersebut adalah Shah Khalilullah, ia tinggal di sebuah desa yang bernama Kehk, dekat Qumm, yang terletak diantara Tehran dan Isfahan. Menurut Rousseau, Shah Khalilullah hampir dianggap sebagai tuhan oleh para pengikutnya, dan dianggap memiliki mu’jizat, dan mereka terus menerus mempersembahkan harta kekayaan dari harta benda milik mereka dan seringkali mereka menjulukinya sebagai khalifah. Bahkan banyak pengikut Ismailiyah yang berada di India, mereka secara reguler datang ke Kehk melalui pinggiran sungai Gangga dan Indus untuk menerima berkah dari imam mereka, sebagai balasan kebaikan dan sumbangan mereka (Bernard Lewis, 1967: 14).
Pada tahun 1825 seorang pelancong Inggris, J.B. Fraser mengkonfirmasikan keberadaan pengikut Ismailiyah di Persia dan ketaatan mereka kepada para pemimpinnya, meski mereka tidak lagi mempraktekkan pembunuhan dengan perintah para pemimpinnya; namun hingga saat ini Shah atau pemimpin sekte tersebut dipuja secara membabi buta oleh para pengikutnya yang masih tersisa, meskipun kegiatannya benar-benar sudah berbeda dengan karakter sekte pada awalnya. Ada juga beberapa pengikut sekte ini yang bertempat tinggal di India, yang masih setia pada pemimpinnya. Pemimpin yang dahulu, Shah Khalilullah telah terbunuh di Yazd beberapa tahun sebelumnya (tahun 1817), oleh para pemberontak yang melawan gubernur. Dia kemudian digantikan –dalam kapasitas keagamaannya— oleh salah seorang anaknya yang mendapatkan penghormatan serupa dari sekte tersebut.
Lebih jauh, Lewis mengungkapkan bahwa pada Desember 1850 sebuah kasus pembunuhan yang besar disidangkan pada pengadilan kriminal di Bombay empat orang tergeletak dan terbunuh di jalan pada siang hari bolong, yang merupakan akibat adanya perbedaan pendapat dalam komunitas keagamaan tempat mereka berada. Sembilan belas orang diadili dan empat dari mereka divonis mati dan digantung. Para korban serta para penyerangnya dikenal sebagai orang-orang Khoja; sebuah komunitas kecil, kebanyakan terdiri dari pedagang di daerah Bombay dan beberapa bagian lain di India.
Kejadian tersebut dipicu oleh sebuah perselisihan yang telah berlangsung selama dua puluh tahun lebih. Kejadian tersebut dimulai pada 1827, ketika sebuah kelompok Khoja menolak untuk membayar Upeti kepada pemimpin sekte mereka yang tinggal di Persia. Pemimpin tersebut adalah putera dari Shah Khalilullah, yang menggantikan ayahnya yang terbunuh pada 1817. Pada 1818 Syah Persia menunjuknya menjadi gubernur Mahallat dan Qumm, dan memberinya gelar Aga Khan. Dengan gelar inilah dia beserta keturunannya dikenal secara luas. Menghadapi penolakan tiba-tiba yang dilakukan oleh para pengikutnya di India untuk membayar kewajiban-kewajiban keagamaan mereka, Aga Khan mengirimkan utusan khusus dari Persia ke Bombay agar mereka kembali ke dalam kelompok. Turut serta dalam utusan tersebut nenek Aga Khan yang akan berpidato pada para pengikut Khoja di Bombay untuk memperoleh kembali kesetiaan mereka. Mayoritas komunitas Khoja masih setia kepada pemimpin mereka, tetapi ada sekelompok kecil yang masih tetap bersikukuh pada sikap menentang dan menegaskan bahwa mereka tidak mempunyai kewajiban untuk patuh terhadap Aga Khan dan tidak mengakui bahwa komunitas Khoja masih terikat dengannya. Dampak konflik tersebut melahirkan ketegangan dalam komunitas Khoja dan berpuncak dengan pembunuhan di tahun 1850.
Pada saat itu Aga Khan sendiri telah meninggalkan Persia, karena dia tidak berhasil memimpin sebuah pemberontakan melawan Shah, dan setelah tinggal sebentar di Afghanistan, ia kemudian berlindung di India. Jasanya kepada kepada orang-orang Inggris di Afghanistan dan Sind membuatnya memperoleh terima kasih dari mereka. Setelah pada awalnya tinggal di Sind dan kemudian di Calcuta, dia akhirnya tinggal di Bombay dimana dia mengukuhkan dirinya sebagai pemimpin komunitas Khoja. Kendati demikian ada beberapa orang yang tidak setuju yang kemudian menentangnya, orang-orang tersebut menggunakan sarana-sarana hukum untuk mengalahkannya. Setelah mengadakan persiapan, pada bulan april 1866, kelompok penentang itu mengajukan berkas-berkas tuntutan perkara kepada pengadilan tinggi di Bombay, dengan tuntutan agar Aga Khan dilarang melakukan intervensi terhadap urusan-urusan serta hak milik komunitas Khoja.
Masalah ini ditangani oleh Hakim Ketua Sir Joseph Arnould. Hearing berlangsung selama 25 hari, dan melibatkan hampir seluruh elemen pengadilan. Kedua kelompok mengajukan argumentasi-argumentasi serta berkas-berkas perkara, penyelidikan-penyelidikan yang dilakukan oleh pengadilan cukup luas dan mendalam, baik dalam aspek sejarah, garis keturunan, teologi dan hukum. Aga Khan sendiri memberikan kesaksian dan mengemukakan bukti-bukti tentang keturunannya. Pada tanggal 12 November 1866 Sir Joseph Arnould menyampaikan keputusan. Komunitas Khoja Bombay, menurutnya, merupakan bagian dari komunitas besar Khoja di India yang ajarannya berasal dari Ismailiyah yang merupakan cabang dari Syiah; mereka adalah sebuah sekte yang para leluhurnya berasal dari Hindu, yang telah berpindah keyakinan ke dalam kepercayaan Syiah Ismailiyah; serta selalu dan masih terikat hubungan kesetiaan spiritual terhadap para imam Ismailiyah. Mereka telah dijadikan pengikut pada 400 tahun yang lalu oleh dai-dai Ismailiyah dari Persia, dan tetap berada di bawah pengaruh otoritas spiritual imam-imam Ismailiyah, yang imam terakhirnya adalah Aga Khan. Para imam tersebut keturunan dari para raja Alamut, dan melalui mereka, menjadi keturunan Khalifah Fathimiyah di Mesir, dan akhirnya keturunan Nabi SAW. Pengikut mereka pada abad pertengahan terkenal dengan nama Hasyasyi.
Tampaknya Lewis sangat percaya dengan keputusan Arnould yang dengan didukung oleh data-data dan argumentasi historis yang kuat, kemudian secara legal mengukuhkan status komunitas Khoja sebagai bagian dari Ismailiyah, bahwa Ismailiyah merupakan keturunan dari para Hasyasyin, dan Aga Khan sebagai pemimpin spiritual Ismailiyah dan keturunan dari imam-imam Alamut.
Keputusan Arnould juga menimbulkan perhatian terhadap eksistensi komunitas Ismailiyah di daerah-daerah lain di seluruh dunia, orang-orang yang sebenarnya tidak mengakui Aga Khan sebagai pemimpin mereka. Kelompok-kelompok ini biasanya merupakan kelompok minoritas, berada di daerah terpencil dan terisolasi, sulit dicapai dari manapun, suka menyembunyikan pudarnya kepercayaan dan hilangnya karya-karya tulis mereka. Beberapa tulisan dalam bentuk manuskrip sampai ke tangan para sarjana. Pada awalnya kesemuanya datang dari Syiria –wilayah pertama yang menjadi pusat perhatian orang-orang Barat modern untuk menyelidiki Ismailiyah, baik pada era modern maupun pada abad pertengahan. Yang lain kemudian menyusul, dari berbagai wilayah yang berbeda-beda. Pada tahun 1903, seorang pedagang Italia, Caproti, membawa sekitar 60-an manuskrip Arab dari San’a, di Yaman, yang menjadi kumpulan buku pertama yang disimpan di perpustakaan Ambrosiana, di Milan. Dalam pemeriksaan, mereka juga mengerjakan karya-karya yang berisi doktrin-doktrin Ismailiyah, yang berasal dari pengikut-pengikut Ismailiyah yang masih hidup di Arab bagian selatan. Di antara buku-buku tersebut, ada yang berisi sandi-sandi rahasia. Ketika di Eropa sudah tidak ada sumber-sumber baru lagi, para Sarjana Russia, yang telah menerima beberapa manuskrip sekte Ismailiyah dari Syiria, menemukan bahwa di negara mereka juga ada pengikut Ismailiyah yang tinggal di perbatasan kerajaan mereka, dan pada tahun 1902 Count Alexis Bibrinskoy menerbitkan sebuah laporan tentang pengorganisasian dan penyebaran orang-orang Ismailiyah di Russia, Asia Tengah. Pada waktu yang sama seorang pegawai kolonial A. Polostsev memperoleh salinan sebuah buku keagamaan sekte Ismailiyah yang ditulis dalam bahasa Persia. Buku tersebut ditempatkan pada museum Asiatic milik Russian Academy of the Scientist. Salinan lainnya menyusul, dan antara 1914 dan 1918 museum tersebut mendapatkan sebuah koleksi manuskrip Ismailiyah yang dibawa dari Shugnan -yang terletak diatas sungai Oxus- oleh dua orientalis I.I. Zarubin dan A.A. Semyonov. Dengan manuskrip-manuskrip ini serta manuskrip-manuskrip yang didapatkan setelahnya, para sarjana Russian mampu menyelidiki literatur keagamaan dan kepercayaan sekte Ismailiyah Pamir dan beberapa distrik yang berbatasan dengan Afghanistan di Badakhsan.
Kritik Atas Lewis
Ada beberapa poin yang hendak saya pakai dalam mengulas dan mengkritisi Lewis ini. Poin-poin tersebut antara lain: pertama, mencoba mengenali karakter hasyasyin dalam konteks Timur Tengah saat ini, terutama kaitannya dengan terorisme yang seringkali menyudutkan umat Islam; kedua, melihat posisi Lewis sebagai seorang orientalis yang menjadi rujukan masyarakat Barat dalam masalah Irak, Iran, dan Afghanistan, serta rujukan-rujukan buku yang digunakannya; ketiga, menempatkan posisi Lewis dalam kerangka kritik Edward Said dalam membongkar ideologi orientalisme.
· Mengenali Karakter Hasyasyin Pada Konteks Saat Ini
Di beberapa negara Islam, kasus adanya bom bunuh diri merupakan satu hal yang tidak aneh dan tidak mengejutkan. Biasanya bom bunuh diri baik dibawa sendiri ataupun diledakkan sendiri dari dalam mobil, merupakan karakter khas dari orang-orang yang merasa dirinya kalah dan kehilangan akal dalam menghadapi musuhnya. Pada saat ini, hal seperti ini banyak dilakukan kelompok ekstrim Islam kepada Barat (yang menurut mereka adalah kafir yang harus diperangi). Jika dianalogkan dengan hasyasyin, berarti kejadian pemboman ini tidak berasal dari ruang hampa. Karena hasyasyin pun juga tidak mau melarikan diri setelah targetnya berhasil dibunuh, bahkan jika disuruh sang guru pun dia akan membunuh dirinya sendiri, bahkan sebagaimana yang telah disebutkan di atas, bila target musuhnya sudah terbunuh dan misinya tercapai, si hasyasyin tidak melarikan diri, mereka siap dan surga sudah ada di depan mereka (satu kepercayaan yang sama sekali tidak dapat dipahami pada saat ini—bagaimana membunuh orang bisa dikatakan masuk surga. Hal yang sama pula dengan yang dilakukan oleh para pembajak dua pesawat yang ditabrakkan pada gedung WTC AS pada 2001. Tidak hanya ke Barat saja, di dalam Islam sendiri pun juga sering terjadi bom bunuh diri, misalnya di Irak ataupun Iran, dimana targetnya adalah orang Islam sendiri namun berbeda pandangan dengan si pembawa bom bunuh diri. Hal ini paling tidak menunjuk pada adanya analogi hasyasyin pada masa lalu dengan masa sekarang, hanya saja peralatan dan modusnya saja yang berbeda bentuk.
Dalam kasus ini, penelitian Lewis dalam buku The Assassins menemukan relevansinya, sehingga kemudian tak heran jika dia menjadi salah satu staf Ahli militer Bush dalam penyerangan ke Irak demi menghancurkan al-Qaeda yang dianggap organisasi teroris. Karena di samping dianggap kompeten dalam masalah ini, dia juga pakar masalah Middle East.
· Melihat Sumber-sumber yang Digunakan Lewis
Saya melihat data-data yang digunakan oleh Lewis kebanyakan adalah data-data yang berasal dari para orientalis sebelumnya. Memang ada beberapa rujukan yang digunakan Lewis yang berasal dari sarjana muslim, seperti al-Juwaini, Rashid ad-Din, dan lain-lain, namun yang dipergunakan adalah sumber-sumber dari pihak lawan. Memang dia mengatakan bahwa sumber-sumber mengenai Ismailiyah yang ditulis oleh orang dalam sudah banyak dibakar dan dihancurkan seiring dengan dihancurkannya Ismailiyyah dan Alamut, sehingga data-data dari perspektif insider sama sekali tidak tercover di sini. Yang menarik di sini adalah, kepiawaian Lewis dalam menggiring opini mengenai keburukan dari hasyasyin, seolah-olah kelompok ini sama sekali tidak ada sisi kebaikannya. Yang tak kalah menariknya adalah dia mendukung hal ini dengan data-data konkrit. Seolah dia hendak membuat satu kebenaran mengenai buruknya hasyasyin, tanpa harus mengetahui berbagai motif yang konkret yang dijadikan argumen oleh kelompok ini. Jika meminjam bahasa Michel Foucault, kebenaran adalah kekuasaan. Bagi Foucault, terdapat lima ciri politik ekonomi keberan: kebenaran berpusat pada bentuk diskursus ilmiah dan istitusi yang memproduksinya. Ia adalah subjek bagi rangsangan konstan ekonomi dan politik (kebutuhan akan kebenaran sama banyaknya dengan produksi ekonomi atau kekuasaan politik); ia adalah objek difusi besar-besaran dan konsumsi besar-besaran (yang beredar melalui perangkay pendidikan dan informasi yang meluas secara relatif dalam; lembaga sosial, tanpa ada batas yang tegas); ia diproduksi dan ditransmisikan di bawah aparatur sentral dan dominan—kalau tidak eksklusif—dari segelintir aparatur besar politik dan ekonomi (universitas, angkatan bersenjata, tulisan, dan medua); dan yang terakhir ia adalah masalah dari keseluruhan debat politik dan konfrontasi sosial (perjuangan ideologis) (Michel Foucault, 1980: 131-132).
Lewis membentuk kebenaran melalui data-data yang didisplay olehnya, sehingga ketika buku ini telah jadi dan tersebar, buku inipun dikonsumsi dan membentuk satu opini publik AS mengenai gerakan-gerakan militan Islam. Hal inilah yang perlu dicermati dari sosok Lewis. Akhirnya peta-peta terorisme di dunia timur tengah yang terbentuk jika membaca buku ini adalah Iran, Irak, Syiria, dan Afghanistan.
· Bernard Lewis dalam Kerangka Kritik Edward Said
Bagi Edward W. Said, Lewis merupakan kasus yang menarik untuk dikaji lebih lanjut karena kedudukannya dalam dunia politik Timur-Tengah, Inggris, dan Amerika adalah sebagai seorang orientalis kawakan. Apa pun yang ditulisnya akan selalu dibarengi dengan “otoritas” dan “validitas” yang diberikan masyarakat Eropa pada setiap karyanya. Menurut Said, selama kira-kira setengah dasawarsa, karya-karya Lewis hampir selalu bersifat agresif ideologis meskipun ia tidak bisa lepas dari kesulitan dan ironi. Lebih jauh Said menyatakan bahwa tulisan Lewis bukanlah salah satu contoh sempurna akademisi orientalis yang berlandaskan pada pengetahuan yang benar-benar objektif. Lebih dari itu, tulisan Lewis justru lebih dekat pada tulisan yang berwujud propagandistis, yakni dengan menentang objek bahasannya (Edward W. Said, 1978: 318-320). Meski demikian, kenyataan ini tentu bukan sesuatu yang mengejutkan bagi siapa pun yang akrab dengan sejarah orientalisme. Yang jelas, tulisan Lewis ini lebih tampak sebagai salah satu skandal “kecendekiaan” yang paling akhir dan yang paling sering tidak mendapatkan kritik yang memadai dari para cendekiawan lainnya di Barat. Tulisan hasyasyin ini merupakan salah satu tulisan yang digarap Lewis untuk menentang objek bahasannya sendiri. Secara lebih jauh Said menegaskan bahwa ideologi Lewis mengenai Islam adalah bahwa Islam tidak pernah berubah, dan dengan bahasa yang lebih vukgar lagi Said menyatakan bahwa Lewis memiliki misi untuk memberikan informasi kepada masyarakat pembacanya yang konservatif, Yahudi, dan siapapun juga yang sudi mendengar, bahwa semua penuturan politik, sejarah, dan kecendekiaan mengenai kaum muslim harus dimulai dan diakhiri dengan kenyataan bahwa kaum muslim tetaplah kaum muslim (tidak berubah), tak lebih dari itu. Dari sini pula kita melihat bahwa salah satu cara untuk menelanjangi pemikiran Lewis adalah dengan menggunakan kacamata pendekatan poskolonialisme.
Secara lebih jauh, bagi Said, orientalisme merupakan suatu aliran penafsiran yang menjadikan Timur, peradaban-peradabannya, orang-orangnya, dan lokalitas-lokalitasnya sebagai objek interpretasi. Dan yang menarik menurut Edward Said, aliran ini selalu mendapat legitimasi yang besar secara moral. Secara lebih jauh Said mengatakan bahwa selama masih dalam kesadaran barat, Timur hanyalah satu kata yang kemudian diberi makna, asosiasi, dan konotasi. Bahkan semua hal ini tidak harus merujuk pada Timur ‘yang sebenarnya’ tetapi hal-hal lain yang berhubungan dengan kawasan itu (Edward W. Said, 1978: 318-320).
Daftar Pustaka
Ajid Thahir, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Bosworth, The Islamic Dynasties, terjemah: Ilyas Hasan, Bandung: Mizan, 1993.
Bernard Lewis, The Assassins: Radical Sect In Islam, London: Al Saqi Books. 1967.
Edward Burman, The Assassins: Holy Killers of Islam, Ed. Crucible, Wellingborough, 1987,
Edward W. Said, Orientalism, New York: Vintage Books, 1978.
Michel Foucault, Power/Knowledge, New York: Pantheon Books, 1980.
Philip K. Hitti, The History of Arabs, Jakarta: Serambi, 2010.
No comments:
Post a Comment