Khalifah Al-Musta'shim adalah seorang khalifah yang pemurah, penyabar, dan baik agamanya. Perbedaannya dengan sang ayah adalah dari kejelian dan kewaspadaan.
Al-Musta'shim memiliki banyak kelemahan dan terlalu menggantungkan pemerintahannya pada menterinya yang bernama Muayiddin Al-Alqami Ar-Rafidhi, yang berasal dari kalangan Syiah Rafhidah.
Padahal menteri inilah yang banyak melakukan pengkhianatan terhadap negara dengan cara membocorkan rahasia kekuatan negara pada orang-orang Tartar, dengan tujuan agar mereka menyerang dan menghancurkan Dinasti Abbasiyah serta mendirikan kerajaan bagi keturunan Ali.
Penguasaan orang-orang Tartar terhadap Asia tengah dimulai pada 615 H, dengan menguasai Bukhara dan Samarkand. Dalam penaklukan itu mereka membunuh banyak orang dan menghancurkan apa saja yang dilaluinya. Setelah itu, mereka menguasai Bukhara, Samarkand, Khurasan, Ray, Hamadzan, Irak, Azerbaijan, Darband Syarwan, Lan, Lakz, Qafjaq, dan wilayah-wilayah di sekitarnya yang merupakan wilayah Bani Abbasiyah.
Puncaknya pada 656 H, orang-orang Tartar di bawah pimpinan Hulagu Khan sampai ke Baghdad, pusat pemerintahan Bani Abbasiyah. Kedatangan mereka disambut tentara Khalifah Al-Musta'shim. Namun karena semangat dan jumlah tentara yang tidak seimbang, dalam waktu singkat tentara khalifah disapu bersih oleh pasukan Tartar.
Tentara khalifah saat itu bukan tentara Islam yang sebenarnya. Iman yang mulai rapuh, pemerintahan yang korup, semangat tempur yang rendah, perpecahan karena perbedaan kelompok dan kepentingan di antara pimpinan pasukan menjadi penyebab kekalahan tentara Bani Abbasiyah.
Pada 10 Muharram 656 H, pasukan Tartar memasuki Baghdad tanpa mendapatkan perlawanan sedikit pun. Sebagian besar tentara khalifah terbunuh, begitu juga dengan keluarganya. Sang menteri pengkhianat menasihati Khalifah Al-Musta'shim agar datang menemui orang-orang Tartar untuk mengadakan kesepakatan damai.
Ternyata ini hanya siasat sang menteri. Sebab setiap rombongan yang diutus khalifah keluar, langsung dibunuh, dan begitu seterusnya. Peristiwa ini telah banyak menelan korban dari kalangan ulama, fuqaha dan orang-orang penting di sekitar khalifah.
Adapun tentara Tartar yang berhasil memasuki Baghdad mengadakan pesta pembantaian terhadap siapa saja yang melawan atau tidak melawan. Kekejaman pembantaian ini melebihi apa yang dilakukan oleh Nebukadnezar ketika menaklukkan Baitul Maqdis. Selama empat puluh hari, korban yang jatuh dalam peperangan lebih dari satu juta penduduk. Konon selama empat puluh hari itu juga api tak pernah padam di Baghdad.
Setelah selesai dengan pembantaian terhadap khalifah dan penduduk Baghad, Menteri Muayiddin Al-Alqami meminta Hulagu Khan agar mengangkat orang-orang Alawiyin sebagai khalifah. Namun permintaan ini ditolak oleh Hulagu Khan. Bahkan Ibnu Al-Qami dijadikan pelayan mereka dan akhirnya mati dalam keadaan yang mengenaskan.
Belum puas dengan penaklukan Baghdad, Hulagu Khan mengirim surat kepada An-Nashir, penguasa Damaskus, agar menyerah kepada pasukan Tartar. Permintaan ini ditolak.
Pada 658 H, pasukan Tartar menyeberangi sungai Furat dan bergerak menujuk Halb. Mereka pun bersiap-siap menyerang Damaskus. Tentara Mesir yang dipimpin oleh Al-Muzhaffar dan panglima perangnya Ruknuddin Baybars Al-Bandaqari, menyambut kedatangan pasukan Tartar dengan semangat jihad tinggi.
Kedua pasukan bertemu di Ayn Jalut dan pertempuran sengit pun pecah pada 15 Ramadhan. Pasukan Tartar mengalami kekalahan telak dalam pertempuran ini. Sebagian kecil tentara Tartar yang mencoba melarikan diri terus dikejar oleh Baybars hingga ke Halb dan berhasil mengusir mereka dari tanah Arab.
Hingga 659 H, belum juga ada khalifah di dunia Islam. Akhirnya, didirikanlah Khalifah di Mesir dan Al-Mustanshir diangkat sebagai khalifah pertama. Dunia Islam kehilangan kekhalifahan selama 3,5 tahun.
Sebagian besar buku sejarah, ketika memaparkan sejarah para khalifah, berhenti pada Khalifah Al-Musta'shim ini. Padahal ada beberapa Khalifah Abbasiyah berikutnya yang sempat bertahan di Mesir. Mereka masih tergolong Khalifah Abbasiyah yang diakui sejarah. Meskipun wewenang mereka tidak besar, tetapi para penguasa setempat merasa mendapatkan kehormatan jika direstui oleh khalifah yang berada di Mesir.
Bahkan Sultan Bayazid I dari Daulah Ustmaniyah, merasa perlu meminta restu dari khalifah di Mesir, sebelum akhirnya Sultan Salim I mengambil alih khilafah dari tangan Khalifah Al-Mutawakkil III dan mendirikan Khilafah Utsmaniyah di Istanbul, Turki.
No comments:
Post a Comment