Bukti-bukti Sejarah
Abad XV adalah dimulainya ‘pelayaran besar’ oleh bangsa-bangsa Eropa. Segera setelah berhasil mengusir penguasa Arab dari Semenanjung Iberia, pelaut-pelaut dari kerajaan-kerajaan Spanyol dan Portugis memulai pelayaran mereka. Segenap daya dan dana dikerahkan untuk membangun dan mempersenjatai kapal-kapal kuat yang sanggup berlayar jauh.
Pelaut-pelaut Spanyol berlayar ke barat, menyeberangi Samudra Atlantik, berharap menemukan India. Ternyata mereka kecele. Sebuah benua besar membentang dari Kutub Utara sampai Kutub Selatan. Semula, mereka mengira sudah sampai di India. Penduduknya mereka namakan Indian. Ternyata bukan. Selanjutnya mereka namai benua baru itu sebagai Amerika.
Menghindari wilayah orang Arab (Timur Tengah), pelaut Portugis mengarahkan kapal-kapalnya ke selatan. Atau mungkin mereka tahu : jalur di Laut Mediterania tidak kemana-mana, tidak ada jalur laut langsung menuju ke India. Mereka lebih memilih memutari Benua Afrika. Mereka begitu terobsesi akan India. Mungkin mereka menduga bahwa sumber rempah-rempah (spices, komoditi sangat berharga di Eropa) ada di India.
Portugis berhasil sampai ke India, tetapi mendapati bahwa ternyata rempah-rempah dikapalkan dari arah timur. Tidak berasal dari anak benua India. Kabarnya berasal dari Malaka. Pada tahun 1511, Malaka-pun mereka kuasai. Dan ternyata, Malaka juga hanyalah pelabuhan transit. Menurut pelaut-pelaut pribumi yang mengangkutnya, rempah-rempah itu berasal dari Maluku.
Belum lama Portugis menduduki Malaka, orang-orang pribumi sudah mulai berusaha membebaskannya. Setahun sesudahnya (1512), terjadi pengepungan Malaka yang dipimpin oleh seorang laksamana (admiral) dari Jawa. Apa kepentingan orang Jawa di negeri di Tanah Semenanjung ini ?
Jawa harus diselidiki. Informasi terus digali. Portugis mendengar berita kurang jelas (gosip) kalau Jawa diperintah oleh raja-raja, baik yang sudah Islam maupun yang masih cafre. Yang terbesar adalah dua raja kafir yang memerintah sebagian besar ujung barat dan ujung timurnya. Yang dimaksud pastilah Kerajaan Pajajaran dan Kerajaan Majapahit.
Pada jaman inilah mulai banyak orang Eropa berkunjung ke Jawa. Mungkin karena memang tugasnya, kebanyakan mereka mencatat segala keterangan yang didapat. Pada jaman itu, informasinya mungkin hanya berguna untuk keperluan strategi perdagangan dan militer saja. Tapi bagi sejarawan kemudian, informasi ini seperti permata terpendam yang sangat berharga.
Dari catatan-catatan inilah para sejarawan dapat merekonstruksi kondisi sosial politik di Nusantara, dan Jawa khususnya, pada jaman itu. Digabungkan dengan ‘sejarah’ yang dicatat oleh orang pribumi sendiri, diharapkan bisa diperoleh gambaran yang memadai.
Informasi tentang keruntuhan Majapahit diberikan oleh HJ. De Graaf dan Th. Pigeaud dalam bukunya: Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI (terjemahan yang diterbitkan Grafiti Pers). Mereka menyimpulkannya dari dokumen-dokumen Eropa dan Jawa terpercaya. Temuannya berbeda dengan ‘sejarah’ yang diuraikan dalam buku-buku dan cerita Jawa tradisional.
Menurut cerita rakyat Jawa, tahun kejadiannya adalah 1478. Diambil dari kalimat terkenal ‘Sirna Ilang Kertaning Bhumi’ = Musnah Hilang Keagungan Negeri = 1400 Jawa = 1478 Masehi, yang dipercaya sebagai tahun keruntuhan Majapahit. Tapi kedua ilmuwan Belanda tersebut mendapatkan bukti-bukti yang berbeda.
Keduanya menelisik dokumen-dokumen Jawa kuno dan catatan perjalanan orang Eropa ke Jawa pada abad XV dan XVI. Ada juga disebutkan, meskipun sedikit, sumber-sumber dari catatan orang Cina. Untuk catatan orang-orang Eropa dan Cina, mereka dapat dengan mudah menafsirkannya, meskipun nama-nama orang dan tempat di Jawa ditulis dalam ejaan Portugis atau Cina. Kebiasaan menulis bangsa Eropa dan Cina adalah mirip. Mereka lebih banyak menulis fakta apa adanya. Meskipun disana-sini ada juga catatan yang dilebih-lebihkan, isi dokumen-dokumen itu lebih gamblang dan tidak ‘seburuk’ tulisan orang-orang Jawa.
Dokumen Jawa mereka bagi menjadi tiga macam golongan. Golongan pertama adalah dokumen resmi yang kebenarannya tidak perlu diragukan. Dokumen ini biasanya berbentuk prasasti yang ditulis diatas batu atau logam atau bahan lainnya, dan biasanya dikeluarkan oleh raja yang resmi memerintah.
Dokumen jenis ini berisi lebih banyak gambaran tentang golongan elite di sekitar raja atau keluarganya. Karena tanggalnya tercantum jelas (atau dapat juga dilakukan analisis penanggalan terhadap bahan prasasti atau gaya bahasa atau gaya huruf dengan metoda tertentu), dokumen ini sangat bermanfaat untuk mencari informasi tentang kondisi sosial politik pada masa tertentu.
Dokumen jenis kedua adalah buku-buku yang ditulis pada jaman yang lebih kemudian. Tulisan orang Jawa, mungkin dimaksudkan untuk mengagungkan penguasa secara berlebihan, biasanya banyak mangandung unsur-unsur ajaib dan tidak masuk akal. Buku-buku itu pada umumnya berbentuk babad dan yang terbesar adalah Babad Tanah Jawi, ditulis kira-kira tahun 1720-an. Selisih beberapa ratus tahun lebih dari kejadian yang diuraikan.
Termasuk dalam dokumen ini juga adalah kisah para Wali (penyebar agama Islam di Jawa). Kisah-kisah ini beredar luas di pesisir Jawa. Tulisan ini juga memuat unsur-unsur mukjizat dan tindakan ajaib para guru tersebut. Dari nilai sejarah, dokumen ini juga kurang bisa dijadikan pegangan. Namun jika hal-hal gaib diabaikan dan dilakukan telaah lebih teliti, cerita-cerita ini dapat juga memberikan gambaran tentang perikehidupan masyarakat di abad XV dan XVI.
Untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya tidak mudah. Ahli sejarah harus dengan susah payah menafsirkan apa sebenarnya yang dimaksud oleh para pujangga Jawa dalam buku-buku mereka. Metodanya adalah dengan membandingkan dengan teks-teks lain, terutama teks Eropa, jika ada. Jika tidak ada teks pembanding, mereka mencoba menafsirkan dengan cara menarik kesimpulan yang paling mungkin dengan membuang unsur-unsur yang tidak logis.
Salah satu buku Jawa yang paling menarik perhatian adalah Sejarah Banten. Buku ini ditulis di Kerajaan Banten yang merupakan salah satu cabang keluarga Kerajaan Demak di Jawa Barat. Karena Banten tidak pernah takluk kepada Mataram, dokumen mereka terjauhkan dari unsur pengagungan Dinasti Mataram seperti yang terdapat pada buku-buku Jawa yang lain. HJ. De Graaf dan Th. Pigeaud mendapati bahwa ternyata isi Sejarah Banten bersesuaian dengan teks orang Eropa.
Jenis dokumen Jawa terakhir adalah cerita rakyat setempat. Cerita-cerita ini, jika dikaji dengan cermat dan hati-hati ternyata dapat juga memberikan informasi sejarah yang bermanfaat. Sayangnya cerita-cerita rakyat ini tidak memiliki catatan waktu kejadian dan urut-urutannya diabaikan. Tidak jarang, di dalamnya juga mengandung cerita-cerita ajaib yang sulit dapat dipercaya.
Siapakah Raden Patah ?
Berdasarkan dokumen-dokumen yang ada, Kemaharajaan Majapahit ternyata tidak runtuh di tahun 1478. Tetapi tahun itu ternyata bukan tahun yang tidak penting. Setidaknya ada dua kejadian besar yang langsung menyangkut nasib bumi Jawa : berdirinya Kesultanan Demak dan perebutan kekuasaan di ibukota Majapahit.
Pada tahun itulah raja pertama Demak mulai memerintah. Di catatan-catatan Jawa dia disebut dangan nama Raden Patah. Dari kata Arab : Al Fatah, berarti kemenangan gemilang. Pada awalnya, dia masih mengakui Maharaja Majapahit sebagai atasannya.
Dari gelarnya, yaitu raden, dapat diduga ia bertalian darah dengan penguasa lama. Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa ia adalah anak Maharaja Majapahit terakhir, yaitu Brawijaya. Sedangkan ibunya adalah selir raja, seorang wanita Cina muslim. Tempat kelahirannya adalah Palembang. Konon ibunya dalam keadaan mengandung ketika ‘dihadiahkan’ kepada Gubernur kesayangan Maharaja di Sumatera Selatan itu.
Ditemukan juga nama Panembahan Jimbun sebagai gelar raja itu. Kaum peranakan Cina di Jawa menganggap nama itu berasal dari kata Cina : Jin Bun, yang berarti ‘orang kuat’. Fakta ini sepertinya memperkuat anggapan bahwa ia benar-benar putra Maharaja Majapahit terakhir yang beristrikan wanita Cina.
Keterangan itu sempat dikutip Prof. Slamet Muljana dari Universitas Indonesia dalam bukunya : Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa Dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Namun sumber-sumber yang dikutip Slamet Muljana itu diragukan kebenarannya oleh HJ de Graaf. (Lihat juga buku lain tulisan HJ de Graaf : Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI, Antara Historisitas dan Mitos). HJ de Graaf menduga kata ‘Jimbun’ pada gelar Raja Demak pertama itu berasal dari sebuah wilayah di sekitar Demak yang bernama sama, tempat kelahiran sang raja.
Menurut catatan orang Eropa, nama penguasa Demak pertama itu adalah Pate Rodin (Sr) . De Graaf memperolehnya dari buku Summa Oriental tulisan Tome Pires, seorang duta Portugis dari Malaka yang mengunjungi Jawa pada awal abad XVI. Ilmuwan Belanda itu memperkirakan nama sang penguasa mungkin adalah ‘Kamaruddin’ atau ‘Badruddin’.
Dari buku yang sama dan juga dari dokumen Kerajaan Banten, didapatkan bukti bahwa Raja Demak tersebut bukanlah keturunan Maharaja Majapahit. Di dokumen Kerajaan Banten, ia disebut dengan nama Arya Sumangsang. Ia adalah anak Patih Adipati (gubernur) Demak bernama Cek Ko Po yang beretnis Cina. Sedangkan penguasa Demak pada waktu itu adalah bawahan Majapahit bernama Lembu Sora. Mungkin ia yang bergelar Kertabhumi.
Cek Ko Po, menurut Sejarah Banten, adalah seorang Cina muslim yang berasal dari Gresik, Jawa Timur. Dengan keahliannya dalam berniaga, ia menjadi kaya raya. Dengan kekayaanya tidak aneh jika ia menjadi orang terpandang di kota Demak. Melihat kemampuannya itu, penguasa Demak kemudian mengangkatnya menjadi ‘Patih’.
‘Patih’ yang dimaksud belum tentu merujuk pada jabatan patih seperti yang disandang oleh patih raja Jawa pada umumnya. Tugas pejabat patih pada jaman kuno adalah mengatur segala hal - ekonomi maupun militer - agar pemerintahan dapat berjalan lancar (mirip dengan perdana menteri pada jaman sekarang). Bisa juga yang dimaksud dengan ‘patih’ disana adalah semacam pemimpin masyarakat Cina. De Graaf memperkirakan, (pada awalnya ia) tak lebih dari ‘Kapitan’ Cina, seperti yang lazim dipakai di jaman yang lebih kemudian.
Meskipun hanya menjabat sebagai ‘patih’ penguasa daerah bawahan (ataupun sebagai ‘Kapitan’ Cina), ternyata ia sangat berjasa kepada Maharaja Majapahit. Cek Ko Po-lah yang ‘memimpin’ ekspedisi militer penghukuman atas Palembang dan Cirebon yang membangkang. Dalam bahasa sekarang : menjadikan Palembang dan Cirebon sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).
Tidak jelas, apakah Cek Ko Po turun langsung sebagai panglima operasi militer atau hanya mendukung secara finansial. Melihat latar balakangnya yang sukses sebagai pengusaha, agaknya ia membantu dengan kekayaannya. Dan bantuannya itu sangat bermanfaat.
Menurut aturan, yang menjadi panglima seharusnya adalah Lembu Sora/Kertabhumi. Karena Demak merupakan wilayah ‘dalam’ (bukan berstatus mancanegara) Majapahit yang berada di ujung paling barat. Tetapi rupanya ia mendelegasikan wewenang kepada ‘patih’nya itu.
Pada waktu ekspedisi itulah konon anak Cek Ko Po dilahirkan. Entah dengan cara mengawini putri Penguasa Demak itu atau dengan cara membunuhnya, pada akhirnya anak Cek Ko Po marak menjadi Raja di Demak. Dan ternyata, Maharaja Majapahit – sebagai atasan Demak – tidak melakukan tindakan apapun atas penyimpangan itu.
Ada beberapa kemungkinan mengapa Maharaja mendiamkan, yang berarti mengesahkan, kejadian itu. Bisa jadi karena jasa-jasanya yang besar kepada Maharaja. Mungkin pada tahun-tahun itu kekuatan militer Majapahit sudah sedemikian lemahnya. Atau mungkin juga Maharaja mendapatkan keuntungan dengan adanya pengambilalihan kekuasaan di Demak itu. Mungkin juga gabungan ketiga penyebab itulah yang menjadi dasar sikap lembek pemerintah pusat.
Berdasarkan dokumen Majapahit yang paling dapat dipercaya, penguasa tertinggi Majapahit saat itu adalah keturunan cabang keluarga Maharaja yang ada di Kediri. Mungkin juga Maharaja itu memindahkan ibukota ke Kediri. Ada sebuah prasasti yang menyebutkan bahwa pada tahun yang sama - 1478 - terjadi ‘pengambilalihan’ kekuasaan dari Maharaja yang sedang berkuasa oleh Raja (bawahan, mungkin masih keluarga) dari Kediri yang bernama Girindrawardhana.
Cabang keluarga Kediri ini lebih muda dan sebenarnya tidak berhak menduduki tahta. Cabang keluarga yang sebenarnya lebih berhak, karena lebih senior, adalah cabang Sinagara. Salah satu keturunannya adalah Lembu Sora / Kertabhumi yang berkuasa di Demak. Maharaja mendapatkan keuntungan karena ‘saingan potensial’ itu sudah disingkirkan oleh ‘patih’-nya sendiri. Istilah Jawanya : Maharaja melakukan ‘nabok nyilih tangan’ = memukul dengan cara meminjam tangan orang lain.
Ternyata, pemerintah pusat Majapahit salah melakukan perhitungan politik. Membiarkan kejadian di Demak ternyata membuat turunnya wibawa Maharaja di mata penguasa-penguasa daerah lain, terutama penguasa-penguasa yang mulai beralih beragama Islam. Apapun alasannya, Maharaja tidak bisa mengubah keadaan. Insiden Demak membuktikan dengan nyata : Majapahit yang dulu perkasa, sekarang sudah tidak bergigi lagi.
Contoh yang paling jelas dilakukan oleh penguasa Giri-Gresik. Tanpa ragu ia memproklamirkan diri menjadi raja (merdeka) lengkap dengan gelar : Prabu Satmata. Sebelumnya, ia hanya bergelar Sunan Giri I. Yang masih setia mungkin tinggal raja-raja Blambangan dan Bali. Inilah awal keruntuhan Majapahit. Akan tetapi jelas bahwa Majapahit tidak ambruk di tahun 1478 itu. Kemaharajaan Majapahit, meskipun lemah, masih berdiri sampai berpuluh-puluh tahun kemudian.
Bukti nyata keberadaan Majapahit di tahun-tahun setelah 1478 ada di buku Summa Oriental itu juga. Di sekitar tahun 1513, penulis buku itu mengunjungi Tuban. Ia sebagai wakil penguasa baru atas Malaka, diterima dengan baik. Tuan rumahnya bernama Pate Vira. Kemungkinan besar adalah Adipati Wilwatikta, penguasa Tuban waktu itu. Seorang bangsawan Jawa berusia enam puluhan. Meskipun sudah beragama Islam, ia masih mengaku sebagai bawahan Maharaja Hindu di Daha di pedalaman Jawa Timur. Daha adalah sebutan lain dari Kediri.
Karena yang sedang berkuasa di Majapahit saat itu adalah cabang keluarga Kediri, De Graaf dan juga ahli sejarah lain, tidak bisa tidak, tanpa keraguan, menafsirkan Daha atasan Tuban sebagai Kemaharajaan Majapahit. Meskipun Tome Pires tidak menulis satupun kata Majapahit (atau dalam bentuk lainnya) di bukunya, tidak dapat disangkal bahwa yang dimaksud Daha di situ adalah Majapahit.
Berdasarkan dokumen-dokumen yang ada, Kemaharajaan Majapahit ternyata tidak runtuh di tahun 1478. Tetapi tahun itu ternyata bukan tahun yang tidak penting. Setidaknya ada dua kejadian besar yang langsung menyangkut nasib bumi Jawa : berdirinya Kesultanan Demak dan perebutan kekuasaan di ibukota Majapahit.
Pada tahun itulah raja pertama Demak mulai memerintah. Di catatan-catatan Jawa dia disebut dangan nama Raden Patah. Dari kata Arab : Al Fatah, berarti kemenangan gemilang. Pada awalnya, dia masih mengakui Maharaja Majapahit sebagai atasannya.
Dari gelarnya, yaitu raden, dapat diduga ia bertalian darah dengan penguasa lama. Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa ia adalah anak Maharaja Majapahit terakhir, yaitu Brawijaya. Sedangkan ibunya adalah selir raja, seorang wanita Cina muslim. Tempat kelahirannya adalah Palembang. Konon ibunya dalam keadaan mengandung ketika ‘dihadiahkan’ kepada Gubernur kesayangan Maharaja di Sumatera Selatan itu.
Ditemukan juga nama Panembahan Jimbun sebagai gelar raja itu. Kaum peranakan Cina di Jawa menganggap nama itu berasal dari kata Cina : Jin Bun, yang berarti ‘orang kuat’. Fakta ini sepertinya memperkuat anggapan bahwa ia benar-benar putra Maharaja Majapahit terakhir yang beristrikan wanita Cina.
Keterangan itu sempat dikutip Prof. Slamet Muljana dari Universitas Indonesia dalam bukunya : Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa Dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Namun sumber-sumber yang dikutip Slamet Muljana itu diragukan kebenarannya oleh HJ de Graaf. (Lihat juga buku lain tulisan HJ de Graaf : Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI, Antara Historisitas dan Mitos). HJ de Graaf menduga kata ‘Jimbun’ pada gelar Raja Demak pertama itu berasal dari sebuah wilayah di sekitar Demak yang bernama sama, tempat kelahiran sang raja.
Menurut catatan orang Eropa, nama penguasa Demak pertama itu adalah Pate Rodin (Sr) . De Graaf memperolehnya dari buku Summa Oriental tulisan Tome Pires, seorang duta Portugis dari Malaka yang mengunjungi Jawa pada awal abad XVI. Ilmuwan Belanda itu memperkirakan nama sang penguasa mungkin adalah ‘Kamaruddin’ atau ‘Badruddin’.
Dari buku yang sama dan juga dari dokumen Kerajaan Banten, didapatkan bukti bahwa Raja Demak tersebut bukanlah keturunan Maharaja Majapahit. Di dokumen Kerajaan Banten, ia disebut dengan nama Arya Sumangsang. Ia adalah anak Patih Adipati (gubernur) Demak bernama Cek Ko Po yang beretnis Cina. Sedangkan penguasa Demak pada waktu itu adalah bawahan Majapahit bernama Lembu Sora. Mungkin ia yang bergelar Kertabhumi.
Cek Ko Po, menurut Sejarah Banten, adalah seorang Cina muslim yang berasal dari Gresik, Jawa Timur. Dengan keahliannya dalam berniaga, ia menjadi kaya raya. Dengan kekayaanya tidak aneh jika ia menjadi orang terpandang di kota Demak. Melihat kemampuannya itu, penguasa Demak kemudian mengangkatnya menjadi ‘Patih’.
‘Patih’ yang dimaksud belum tentu merujuk pada jabatan patih seperti yang disandang oleh patih raja Jawa pada umumnya. Tugas pejabat patih pada jaman kuno adalah mengatur segala hal - ekonomi maupun militer - agar pemerintahan dapat berjalan lancar (mirip dengan perdana menteri pada jaman sekarang). Bisa juga yang dimaksud dengan ‘patih’ disana adalah semacam pemimpin masyarakat Cina. De Graaf memperkirakan, (pada awalnya ia) tak lebih dari ‘Kapitan’ Cina, seperti yang lazim dipakai di jaman yang lebih kemudian.
Meskipun hanya menjabat sebagai ‘patih’ penguasa daerah bawahan (ataupun sebagai ‘Kapitan’ Cina), ternyata ia sangat berjasa kepada Maharaja Majapahit. Cek Ko Po-lah yang ‘memimpin’ ekspedisi militer penghukuman atas Palembang dan Cirebon yang membangkang. Dalam bahasa sekarang : menjadikan Palembang dan Cirebon sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).
Tidak jelas, apakah Cek Ko Po turun langsung sebagai panglima operasi militer atau hanya mendukung secara finansial. Melihat latar balakangnya yang sukses sebagai pengusaha, agaknya ia membantu dengan kekayaannya. Dan bantuannya itu sangat bermanfaat.
Menurut aturan, yang menjadi panglima seharusnya adalah Lembu Sora/Kertabhumi. Karena Demak merupakan wilayah ‘dalam’ (bukan berstatus mancanegara) Majapahit yang berada di ujung paling barat. Tetapi rupanya ia mendelegasikan wewenang kepada ‘patih’nya itu.
Pada waktu ekspedisi itulah konon anak Cek Ko Po dilahirkan. Entah dengan cara mengawini putri Penguasa Demak itu atau dengan cara membunuhnya, pada akhirnya anak Cek Ko Po marak menjadi Raja di Demak. Dan ternyata, Maharaja Majapahit – sebagai atasan Demak – tidak melakukan tindakan apapun atas penyimpangan itu.
Ada beberapa kemungkinan mengapa Maharaja mendiamkan, yang berarti mengesahkan, kejadian itu. Bisa jadi karena jasa-jasanya yang besar kepada Maharaja. Mungkin pada tahun-tahun itu kekuatan militer Majapahit sudah sedemikian lemahnya. Atau mungkin juga Maharaja mendapatkan keuntungan dengan adanya pengambilalihan kekuasaan di Demak itu. Mungkin juga gabungan ketiga penyebab itulah yang menjadi dasar sikap lembek pemerintah pusat.
Berdasarkan dokumen Majapahit yang paling dapat dipercaya, penguasa tertinggi Majapahit saat itu adalah keturunan cabang keluarga Maharaja yang ada di Kediri. Mungkin juga Maharaja itu memindahkan ibukota ke Kediri. Ada sebuah prasasti yang menyebutkan bahwa pada tahun yang sama - 1478 - terjadi ‘pengambilalihan’ kekuasaan dari Maharaja yang sedang berkuasa oleh Raja (bawahan, mungkin masih keluarga) dari Kediri yang bernama Girindrawardhana.
Cabang keluarga Kediri ini lebih muda dan sebenarnya tidak berhak menduduki tahta. Cabang keluarga yang sebenarnya lebih berhak, karena lebih senior, adalah cabang Sinagara. Salah satu keturunannya adalah Lembu Sora / Kertabhumi yang berkuasa di Demak. Maharaja mendapatkan keuntungan karena ‘saingan potensial’ itu sudah disingkirkan oleh ‘patih’-nya sendiri. Istilah Jawanya : Maharaja melakukan ‘nabok nyilih tangan’ = memukul dengan cara meminjam tangan orang lain.
Ternyata, pemerintah pusat Majapahit salah melakukan perhitungan politik. Membiarkan kejadian di Demak ternyata membuat turunnya wibawa Maharaja di mata penguasa-penguasa daerah lain, terutama penguasa-penguasa yang mulai beralih beragama Islam. Apapun alasannya, Maharaja tidak bisa mengubah keadaan. Insiden Demak membuktikan dengan nyata : Majapahit yang dulu perkasa, sekarang sudah tidak bergigi lagi.
Contoh yang paling jelas dilakukan oleh penguasa Giri-Gresik. Tanpa ragu ia memproklamirkan diri menjadi raja (merdeka) lengkap dengan gelar : Prabu Satmata. Sebelumnya, ia hanya bergelar Sunan Giri I. Yang masih setia mungkin tinggal raja-raja Blambangan dan Bali. Inilah awal keruntuhan Majapahit. Akan tetapi jelas bahwa Majapahit tidak ambruk di tahun 1478 itu. Kemaharajaan Majapahit, meskipun lemah, masih berdiri sampai berpuluh-puluh tahun kemudian.
Bukti nyata keberadaan Majapahit di tahun-tahun setelah 1478 ada di buku Summa Oriental itu juga. Di sekitar tahun 1513, penulis buku itu mengunjungi Tuban. Ia sebagai wakil penguasa baru atas Malaka, diterima dengan baik. Tuan rumahnya bernama Pate Vira. Kemungkinan besar adalah Adipati Wilwatikta, penguasa Tuban waktu itu. Seorang bangsawan Jawa berusia enam puluhan. Meskipun sudah beragama Islam, ia masih mengaku sebagai bawahan Maharaja Hindu di Daha di pedalaman Jawa Timur. Daha adalah sebutan lain dari Kediri.
Karena yang sedang berkuasa di Majapahit saat itu adalah cabang keluarga Kediri, De Graaf dan juga ahli sejarah lain, tidak bisa tidak, tanpa keraguan, menafsirkan Daha atasan Tuban sebagai Kemaharajaan Majapahit. Meskipun Tome Pires tidak menulis satupun kata Majapahit (atau dalam bentuk lainnya) di bukunya, tidak dapat disangkal bahwa yang dimaksud Daha di situ adalah Majapahit.
Ada beberapa bukti lainnya yang menguatkan. Salah satu diantaranya adalah catatan perjalanan seorang Brahmana dari tanah Sunda bernama Bujangga Manik yang sejaman. Ia selalu menyebut Daha/Kediri untuk wilayah yang bernama resmi Majapahit. Jadi, pada paro terakhir Abad XV dan awal Abad XVI itu, Majapahit selalu disebut dengan nama Daha atau Kediri.
Nama sang penguasa Tuban juga bisa dikaitkan. Kata ‘wilwa-tikta’ pada namanya adalah terjemahan Sansekerta untuk kata Jawa ‘maja-pahit’. Cerita rakyat Tuban (Babad Tuban) menyebutkan bahwa ia memperoleh nama itu ketika pada masa mudanya mengabdi (magang) sebagai pejabat tinggi di lingkungan ibukota Majapahit. Namanya yang lain adalah Arya Teja.
Menurut Tome Pires juga (berdasarkan informasi yang diterimanya dari penguasa Tuban itu), nama sang Maharaja di Daha adalah Batara Vigiaja. Tentu, ini adalah lidah Portugis untuk menyebut (Bra) Wijaya. Di buku-buka Jawa – Babad Tanah Jawi misalnya – nama Brawijaya (diikuti dengan nomor I, II, dan seterusnya) digunakan untuk menyebut raja-raja Majapahit. Kata Jawa kuno ‘Bhra’ atau ‘Bhre’ artinya adalah raja.
Dan mahapatihnya bernama Gusti Pate. Menurut catatan-catatan Jawa dan Bali, nama sebenarnya adalah Patih Udara atau Mahudara atau Amdura. Patih itu sangat terkenal dan ditakuti di penghujung senja Majapahit. Menurut Tome Pires juga, sang patih adalah keturunan mahapatih terkenal di era raja-raja Majapahit terdahulu (Gajah Mada ?). Babad Tanah Jawi mengacaukan nama patih ini dengan Gajah Mada yang sudah meninggal kira-kira 150 tahun sebelumnya.
Disamping ditemui langsung oleh Adipati Wilwatikta sang Penguasa Tuban (yang terkesan sangat angkuh dan tinggi hati di matanya), rombongan Tome Pires juga diselidiki oleh utusan-utusan dari ibukota yang dikirim oleh Mahapatih Udara. Tome Pires sangat terkesan dengan sifat ingin tahu mereka akan hal-hal baru. Prestasi orang Portugis menaklukkan Kesultanan Malaka dan mempertahankannya benar-benar dikagumi oleh orang Jawa Majapahit.
Mahapatih itu juga yang memberi gelar penguasa Surabaya sebagai Jurupa Galagam Imteram. Ini adalah ejaan Portugis untuk gelar Jawa : Surapati Ngalaga Ing Terung = Panglima Ulung Dari Terung. Nama penguasa Surabaya itu sebelumnya adalah Pate Bubat. Gelar itu diberikan atas jasa militernya membendung serangan orang-orang Islam dari Jawa Tengah.
Babad-babad Jawa juga menyebut-nyebut orang ini. Adipati Terung mula-mula adalah pembela Majapahit yang gigih, meskipun ia sudah beragama Islam dan mungkin keturunan Cina juga. Konon dialah yang berhasil membunuh Penghulu Rahmatullah, ayah Sunan Kudus, Panglima Demak penyerbu Majapahit. Tetapi kemudian ia (atau penggantinya) berbalik menjadi musuh Majapahit di kemudian hari.
Nama sang penguasa Tuban juga bisa dikaitkan. Kata ‘wilwa-tikta’ pada namanya adalah terjemahan Sansekerta untuk kata Jawa ‘maja-pahit’. Cerita rakyat Tuban (Babad Tuban) menyebutkan bahwa ia memperoleh nama itu ketika pada masa mudanya mengabdi (magang) sebagai pejabat tinggi di lingkungan ibukota Majapahit. Namanya yang lain adalah Arya Teja.
Menurut Tome Pires juga (berdasarkan informasi yang diterimanya dari penguasa Tuban itu), nama sang Maharaja di Daha adalah Batara Vigiaja. Tentu, ini adalah lidah Portugis untuk menyebut (Bra) Wijaya. Di buku-buka Jawa – Babad Tanah Jawi misalnya – nama Brawijaya (diikuti dengan nomor I, II, dan seterusnya) digunakan untuk menyebut raja-raja Majapahit. Kata Jawa kuno ‘Bhra’ atau ‘Bhre’ artinya adalah raja.
Dan mahapatihnya bernama Gusti Pate. Menurut catatan-catatan Jawa dan Bali, nama sebenarnya adalah Patih Udara atau Mahudara atau Amdura. Patih itu sangat terkenal dan ditakuti di penghujung senja Majapahit. Menurut Tome Pires juga, sang patih adalah keturunan mahapatih terkenal di era raja-raja Majapahit terdahulu (Gajah Mada ?). Babad Tanah Jawi mengacaukan nama patih ini dengan Gajah Mada yang sudah meninggal kira-kira 150 tahun sebelumnya.
Disamping ditemui langsung oleh Adipati Wilwatikta sang Penguasa Tuban (yang terkesan sangat angkuh dan tinggi hati di matanya), rombongan Tome Pires juga diselidiki oleh utusan-utusan dari ibukota yang dikirim oleh Mahapatih Udara. Tome Pires sangat terkesan dengan sifat ingin tahu mereka akan hal-hal baru. Prestasi orang Portugis menaklukkan Kesultanan Malaka dan mempertahankannya benar-benar dikagumi oleh orang Jawa Majapahit.
Mahapatih itu juga yang memberi gelar penguasa Surabaya sebagai Jurupa Galagam Imteram. Ini adalah ejaan Portugis untuk gelar Jawa : Surapati Ngalaga Ing Terung = Panglima Ulung Dari Terung. Nama penguasa Surabaya itu sebelumnya adalah Pate Bubat. Gelar itu diberikan atas jasa militernya membendung serangan orang-orang Islam dari Jawa Tengah.
Babad-babad Jawa juga menyebut-nyebut orang ini. Adipati Terung mula-mula adalah pembela Majapahit yang gigih, meskipun ia sudah beragama Islam dan mungkin keturunan Cina juga. Konon dialah yang berhasil membunuh Penghulu Rahmatullah, ayah Sunan Kudus, Panglima Demak penyerbu Majapahit. Tetapi kemudian ia (atau penggantinya) berbalik menjadi musuh Majapahit di kemudian hari.
Keruntuhan Majapahit
Tahun keruntuhan Majapahit kemungkinan besar adalah 1527. Menurut dokumen Kerajaan Demak, pada tahun itulah Demak menaklukkan Kediri. Dengan alasan yang sama, bahwa penguasa Majapahit adalah cabang keluarga Kediri, berarti yang ditaklukkan tahun 1527 itu tidak lain dan tidak bukan adalah Majapahit.
De Graaf juga menemukan bukti (tidak langsung) lain. Di tahun 1528, Raja Muda Portugis di Malaka menerima Duta Besar dari Kerajaan Blambangan yang diutus lewat pelabuhan Panarukan. Karena selama berabad-abad Blambangan adalah wilayah Majapahit, dengan merdekanya wilayah itu, berarti Kemaharajaan atasannya sudah tidak ada lagi.
Pada 1528 juga diberikatan bahwa Raja-raja Madura juga mulai beralih menjadi Islam. Dengan direbutnya Ibukota Majapahit oleh orang-orang Demak, para Penguasa Madura itu pasti lebih bebas memilih keyakinan yang menguntungkannya.
Yang berkuasa di Demak pada waktu penaklukan itu bukan lagi penguasa pertamanya, melainkan penguasa ketiganya. Di buku Tome Pires, dia disebut dengan nama Pate Rodin (Jr). Di buku-buku Jawa, dialah Raja Demak yang paling lama berkuasa : Sultan Trenggana.
Ia menggantikan abangnya yang hanya memerintah sebentar, Pangeran Sabrang Lor (Pengeran Menyeberang Ke Utara) atau oleh orang Portugis disebut dengan Pate Unus dari Jepara. Orang inilah yang berusaha memerangi Portugis di Malaka tahun 1512. Keduanya adalah putra penguasa Demak pertama (Raden Patah/ Pate Rodin Sr/ Arya Sumangsang/ Panembahan Jimbun).
Panglima Angkatan Bersenjata Demak pada waktu penaklukan Majapahit adalah Sunan Kudus. Sudah tentu, pada waktu itu ia belum bernama Sunan Kudus. Ia adalah anak sekaligus pengganti panglima yang terbunuh dalam perang sebelumnya.
Tokoh ini, dalam cerita-cerita Jawa, dikenal sebagai salah satu dari Wali Sanga. Mereka diyakini sebagai penyebar agama Islam mula-mula di tanah Jawa. Mereka juga diakui sebagai penasihat ahli untuk Raja Demak yang bersidang secara rutin. Cerita-cerita yang beredar sangat fantastis, penuh dengan mukjizat dan kesaktian (kecakapan militer) individu.
Pada saat yang sama, Kerajaan Demak ternyata juga mengirimkan pasukan bersenjatanya ke barat. Tujuannya adalah menaklukkan kerajaan Hindu lainnya, milik orang-orang Sunda : Pajajaran. Jenderal pemimpinnya adalah Syarif Hidayatullah. Disebut juga sebagai Fatahillah atau Fadhillah Khan atau Syeh Nurullah. Orang Portugis menyebutnya Faletehan atau Tagarill.
Mengapa Demak memecah kekuatannya menjadi dua ? Dipimpin oleh dua jenderal yang sama-sama tangguh, dengan perintah pada arah yang berlawanan ? Bisa jadi Kesultanan Demak sangat yakin akan kekuatannya. Cukup dengan masing-masing separo angkatan bersenjata, mereka yakin dapat melibas musuh-musuhnya. Tetapi menurut hitungan militer, alasan itu kurang dapat diterima. Terbukti kemudian, mereka gagal menaklukkan Pajajaran.
Kemungkinan alasan lainnya adalah untuk mencegah agar komando militer tidak memusat pada satu orang saja. Kekuatan militer besar yang dikendalikan oleh seorang panglima saja, tentu bisa sangat berbahaya bagi kedudukan Raja sendiri. Mungkin Sultan dapat merasakan adanya ancaman itu.
Bukankah ayah (atau kakek)-nya sudah melakukan dengan sukses hal yang dikhawatirkannya itu ? Bukankah dengan memanfaatkan pasukan besar yang sangat terlatih (berperang di Palembang dan Cirebon), ayahnya berhasil menjadi penguasa Demak ? Begitu mungkin perhitungan Sultan Trenggana.
Sang Panglima Demak Wilayah Barat adalah orang Pasai yang sudah haji ke Mekah dan mencapai kedudukan tinggi berkat wawasan internasionalnya yang luas. Atau mungkin juga karena perkawinannya dengan salah satu putri Sultan Trenggana. Di hari tuanya kelak, dia lebih dikenal dengan nama Sunan Gunungjati dari Cirebon.
Dibawah pimpinannya, tentara Demak berhasil menguasai Banten, Cirebon dan Sunda Kelapa (sekarang Jakarta). Tetapi mereka hanya berhasil mengisolasi Pajajaran dari akses ke laut. Mereka tidak berhasil mengalahkannya. Wilayah pedalaman Jawa Barat yang elok dan subur masih tetap dalam genggaman Raja Pajajaran.
Tahun keruntuhan Majapahit kemungkinan besar adalah 1527. Menurut dokumen Kerajaan Demak, pada tahun itulah Demak menaklukkan Kediri. Dengan alasan yang sama, bahwa penguasa Majapahit adalah cabang keluarga Kediri, berarti yang ditaklukkan tahun 1527 itu tidak lain dan tidak bukan adalah Majapahit.
De Graaf juga menemukan bukti (tidak langsung) lain. Di tahun 1528, Raja Muda Portugis di Malaka menerima Duta Besar dari Kerajaan Blambangan yang diutus lewat pelabuhan Panarukan. Karena selama berabad-abad Blambangan adalah wilayah Majapahit, dengan merdekanya wilayah itu, berarti Kemaharajaan atasannya sudah tidak ada lagi.
Pada 1528 juga diberikatan bahwa Raja-raja Madura juga mulai beralih menjadi Islam. Dengan direbutnya Ibukota Majapahit oleh orang-orang Demak, para Penguasa Madura itu pasti lebih bebas memilih keyakinan yang menguntungkannya.
Yang berkuasa di Demak pada waktu penaklukan itu bukan lagi penguasa pertamanya, melainkan penguasa ketiganya. Di buku Tome Pires, dia disebut dengan nama Pate Rodin (Jr). Di buku-buku Jawa, dialah Raja Demak yang paling lama berkuasa : Sultan Trenggana.
Ia menggantikan abangnya yang hanya memerintah sebentar, Pangeran Sabrang Lor (Pengeran Menyeberang Ke Utara) atau oleh orang Portugis disebut dengan Pate Unus dari Jepara. Orang inilah yang berusaha memerangi Portugis di Malaka tahun 1512. Keduanya adalah putra penguasa Demak pertama (Raden Patah/ Pate Rodin Sr/ Arya Sumangsang/ Panembahan Jimbun).
Panglima Angkatan Bersenjata Demak pada waktu penaklukan Majapahit adalah Sunan Kudus. Sudah tentu, pada waktu itu ia belum bernama Sunan Kudus. Ia adalah anak sekaligus pengganti panglima yang terbunuh dalam perang sebelumnya.
Tokoh ini, dalam cerita-cerita Jawa, dikenal sebagai salah satu dari Wali Sanga. Mereka diyakini sebagai penyebar agama Islam mula-mula di tanah Jawa. Mereka juga diakui sebagai penasihat ahli untuk Raja Demak yang bersidang secara rutin. Cerita-cerita yang beredar sangat fantastis, penuh dengan mukjizat dan kesaktian (kecakapan militer) individu.
Pada saat yang sama, Kerajaan Demak ternyata juga mengirimkan pasukan bersenjatanya ke barat. Tujuannya adalah menaklukkan kerajaan Hindu lainnya, milik orang-orang Sunda : Pajajaran. Jenderal pemimpinnya adalah Syarif Hidayatullah. Disebut juga sebagai Fatahillah atau Fadhillah Khan atau Syeh Nurullah. Orang Portugis menyebutnya Faletehan atau Tagarill.
Mengapa Demak memecah kekuatannya menjadi dua ? Dipimpin oleh dua jenderal yang sama-sama tangguh, dengan perintah pada arah yang berlawanan ? Bisa jadi Kesultanan Demak sangat yakin akan kekuatannya. Cukup dengan masing-masing separo angkatan bersenjata, mereka yakin dapat melibas musuh-musuhnya. Tetapi menurut hitungan militer, alasan itu kurang dapat diterima. Terbukti kemudian, mereka gagal menaklukkan Pajajaran.
Kemungkinan alasan lainnya adalah untuk mencegah agar komando militer tidak memusat pada satu orang saja. Kekuatan militer besar yang dikendalikan oleh seorang panglima saja, tentu bisa sangat berbahaya bagi kedudukan Raja sendiri. Mungkin Sultan dapat merasakan adanya ancaman itu.
Bukankah ayah (atau kakek)-nya sudah melakukan dengan sukses hal yang dikhawatirkannya itu ? Bukankah dengan memanfaatkan pasukan besar yang sangat terlatih (berperang di Palembang dan Cirebon), ayahnya berhasil menjadi penguasa Demak ? Begitu mungkin perhitungan Sultan Trenggana.
Sang Panglima Demak Wilayah Barat adalah orang Pasai yang sudah haji ke Mekah dan mencapai kedudukan tinggi berkat wawasan internasionalnya yang luas. Atau mungkin juga karena perkawinannya dengan salah satu putri Sultan Trenggana. Di hari tuanya kelak, dia lebih dikenal dengan nama Sunan Gunungjati dari Cirebon.
Dibawah pimpinannya, tentara Demak berhasil menguasai Banten, Cirebon dan Sunda Kelapa (sekarang Jakarta). Tetapi mereka hanya berhasil mengisolasi Pajajaran dari akses ke laut. Mereka tidak berhasil mengalahkannya. Wilayah pedalaman Jawa Barat yang elok dan subur masih tetap dalam genggaman Raja Pajajaran.
Peranan Para Sunan
Menurut dokumen yang paling terpercaya, para Sunan tersebut sebenarnya mula-mula menjabat sebagai Imam (penghulu) Masjid Raya Kerajaan Demak. Pada jaman itu, ternyata para Imam diberi kewenangan untuk membentuk korps militer tersendiri. Nama kesatuannya adalah Suranata. Legiun semacam ini (setengah militer setengah religius) masih dilestarikan di Istana Yogyakarta sampai sekarang.
Anggota pasukannya berasal dari komunitas orang alim yang dipimpin sendiri oleh sang Imam. Tidak diketahui dari mana sumber pembiayaan untuk senjata dan pelatihan militer lainnya. Mungkin dari amal jariah jamaah masjid seperti yang lazim sampai sekarang ini, atau mungkin juga dibiayai langsung dari kas kerajaan.Yang pasti, mereka dikenal sangat militan dalam membela dan mendakwahkan agama Islam.
Di negeri yang baru masuk Islam, tentu tidak aneh jika semangat mereka dalam berdakwah meluap-luap. Medan untuk berjihad terhampar luas di depan. Mereka berharap mendapatkan pengikut yang sebanyak-banyaknya dari orang Jawa yang masih kafir. Dengan demikian perluasan wilayah Islam menjadi terlaksana dengan sukses. Kematian bukan hal mengerikan bagi mereka. Mati di ladang jihad, syurga imbalannya. Tidak heran jika legiun Suranata sangat ditakuti dimana-mana.
Dengan latar belakang kekuatan yang dimilikinya itulah, Sunan Kudus berkarier di bidang militer Kerajaan Demak. Dan prestasinya tidak tanggung-tanggung : meruntuhkan kerajaan kafir kuno Hindu Jawa Majapahit. Keberhasilannya adalah menyingkirkan rintangan terbesar (menurut orang-orang Islam baru itu) dalam menjalankan perintah Tuhan di bumi Jawa. Dengan ambruknya pembela kekafiran, jalan menuju pengislaman di bekas wilayahnya menjadi semakin lapang.
Sudut Pandang Kaum Cafre
Fragmen kekalahan Majapahit itu direkam dengan jeli oleh para pencipta Reyog Panaraga (Batara Katong ?). Maharaja Majapahit digambarkan sangar seperti macan, tetapi suka bermegah-megah (hedonis) seperti merak. Pekerjaannya hanya lenggang-lenggok tanpa tujuan jelas akibat keberatan mahkota meraknya.
Para komandan militernya (warok) hanya bisa mendelik marah-marah karena prajurit-prajurit anak buahnya ternyata penakut dan lemah gemulai (diperankan oleh para gemblak, pemuda yang cantik-cantik). Naik kuda tetapi bertingkah kebanci-bancian dan tidak tangkas bertempur. Apalah artinya komandan yang pintar tanpa anak buah yang trengginas.
Pada klimaks pertunjukan reyog, kepala sang raja yang mulia diduduki oleh anak kecil : Kemaharajaan Majapahit yang dulu jaya dikalahkan oleh Kerajaan Demak yang belum lama berdiri.
Ada beberapa legenda dan catatan yang menyebutkan bahwa Majapahit tidak tinggal diam dengan kekalahannya. Legenda yang luas beredar : Majapahit akan bangkit kembali setelah 500 tahun (berarti tahun 2027 ?). Itu adalah sumpah yang diucapkan oleh penasihat spiritual Maharaja Majapahit, Sabdopalon dan Nayagenggong menjelang kepergiannya. Nama-nama yang mungkin mengacu pada Biksu Buddha dan Brahmana Syiwa.
Catatan resmi : yang lemah dan ketakutan mengungsi ke Pegunungan Tengger dan Pulau Bali. Tetapi yang kuat dan berani terus melawan. Di daerah Sengguruh (wilayah Malang Selatan sekarang), keturunan Gusti Pate / Patih Udara dengan sisa-sisa kekuatan Majapahit yang ada, masih melakukan perlawanan bersenjata. Diberitakan bahwa pada 1535 (8 tahun setelah jatuhnya Ibukota Majapahit), pasukan dari Sengguruh itu berhasil menguasai kota pesisir utara Giri (Gresik), sebuah kota Islam.
Legenda rakyat mengatakan bahwa pasukan itu terpaksa kembali ke markas utamanya di Sengguruh akibat diserang oleh sekawanan lebah yang muncul dari makam Sunan Giri yang dibongkar. Faktanya : pada 1535 juga, pasukan Islam Demak berhasil menguasai Pasuruan, mungkin lewat penyerangan dari laut.
Jatuhnya Pasuruan ini bisa memutus jalur perhubungan dari Sengguruh ke Gresik. Suatu keadaan yang (dari sudut pandang militer) pasti jauh lebih membahayakan dari pada sengatan sekawanan lebah. Perlawanan Sengguruh baru dapat dipatahkan pada tahun 1545. Berjarak 18 tahun sejak Ibukota Majapahit direbut.
Blambangan juga tidak mau tunduk begitu saja. Penetrasi Sultan Trenggana lebih jauh ke timur pada tahun 1546 berakibat fatal bagi sang raja. Seorang pengelana Portugis yang lain - Fernandez Mendez Pinto - melaporkan terbunuhnya sang raja Demak (Emperador Pangueyran de Dama) pada pertempuran di sekitar Panarukan. (Meskipun ia mengelirukannya dengan Pasuruan, yang sudah ditaklukkan Demak 11 tahun sebelumnya). Berita ini dapat dipercaya, karena setelah tahun itu (1546), di ibukota Demak terjadi kekacauan hebat akibat suksesi pewarisan tahta.
Ada berita samar-samar yang mengatakan bahwa Raja Blambangan dibantu sepenuhnya oleh Raja Bali Selatan (Gelgel). Menurut Tome Pires, Raja Blambangan lawan Sultan Trenggana bernama Pate Pimtor (mungkin ejaan Portugis untuk gelar Binatara). Sedangkan Raja Gelgel yang membantunya, tidak terbantahkan, adalah Anak Agung Batu Renggong yang perkasa. Keduanya semula mengakui Maharaja Majapahit sebagai atasannya.
Bahkan Raja-raja Bali tidak pernah takluk kepada Kerajaan Islam Jawa manapun.
Analisis Penyebab Kekalahan Angkatan Perang Majapahit
Faktor yang mungkin mempengaruhi jalannya pertempuran adalah digunakannya senjata berteknologi tinggi pada waktu itu oleh pasukan Demak : meriam berpeluru besi. Memang ada spekulasi yang mengatakan bahwa sebenarnya Majapahit juga memiliki senjata api sejenis meriam (teknologi artileri yang dipelajari dan dikembangkan dari mesiu temuan orang-orang Cina).
Namun yang dilontarkan meriam Majapahit bukan proyektil besi, melainkan bahan kimia yang menimbulkan ledakan saja. Hanya mirip mercon yang dilontarkan. Teknologi ini jelas tertinggal jauh dibandingkan dengan meriam Demak yang sanggup meruntuhkan tembok, menjebol pintu gerbang perbentengan dan mengoyak lambung kapal. Demak pasti sudah berpengalaman berhadapan dengan ampuhnya meriam (Portugis) pada waktu berusaha mengepung Malaka.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa Demak sanggup membuat atau membeli meriam yang setara dengan milik kapal-kapal Portugis itu. Menurut catatan Eropa, Demak memiliki tawanan perang seorang Portugis yang berasal dari Algarvia (wilayah Portugis Selatan) yang kemudian masuk Islam. Entah siapa nama aslinya, ia kemudian bernama Coja Zeynall.
Pekerjaan orang ini adalah membuat meriam untuk Raja. Salah satu hasil karyanya dipakai oleh Panglima Demak Wilayah Barat untuk menaklukkan Banten. Meriam ini kemudian dipajang di depan istana barunya di Banten. Sekarang meriam itu masih ada dan disimpan di Museum Nasional Jakarta dan diberi nama Ki Amuk.
Pribadi Sang Panglima Demak Wilayah Barat Syarif Hidayatullah juga bisa dijadikan bukti kepemilikan meriam itu. Ia kelahiran Pasai. Ia pasti sangat terkesan dengan daya rusak meriam Portugis dalam meluluh-lantakkan negerinya. Kemudian ia pergi berhaji ke Mekah. Melihat sulitnya transportasi waktu itu, tentu tidak mudah bagi orang Asia Tenggara untuk beribadah haji.
Di pusat komunitas muslim itu tentu ia mendengar berita digunakannya meriam-meriam Kesultanan Turki Usmani yang menggentarkan penguasa-penguasa di Kairo, Jerusalem, Konstantinopel, Athena, Beograd, Bucharest, Budapest, bahkan sampai ke Wienna. (Pada tahun 1517, Sultan Salim I dari Turki sukses menginvasi Mesir). Bukan tidak mungkin di sana, calon Panglima Demak itu berusaha mempelajari teknologi pembuatan meriam berikut strategi penggunaannya.
Ditemukan juga faktor non-militer sebagai penyebab kalahnya angkatan perang Majapahit itu. Dalam upaya bertahan, ternyata Majapahit (bersama Pajajaran) melakukan manuver politik dengan menawarkan koalisi kepada Portugis, penakluk Malaka. Majapahit melakukannya dengan perantaraan penguasa Tuban. Tome Pires, di Tuban menerima utusan-utusan Mahapatih Majapahit yang menawarkan persekutuan tahun 1513.
Pada tahun 1522, Panglima Portugis Henrique Leme mengadakan perjanjian dengan Raja Pajajaran yang bernama ‘Samiam’. Mungkin yang dimaksud adalah ‘Sang Hyang’ (Sang Dewa), gelar yang disandang Raja-raja Pajajaran. Portugis dijanjikan akan diberi ijin untuk mendirikan pos di Sunda Kelapa (pelabuhan milik Pajajaran) jika membantu mereka melawan pasukan Islam dari Jawa Tengah.
Perkembangan ini tentu tidak disenangi oleh kaum muslim di Jawa Tengah. Si kafir Hindu hendak meminta bantuan kepada kafir Portugis. Lengkap sudah faktor yang bisa membangkitkan semangat orang-orang Islam dalam membasmi kekafiran.
Padahal, semula Maharaja Majapahit tidak pernah (atau tidak sanggup) menghalang-halangi atau memusuhi penyebar Islam di wilayah negerinya. Legenda tentang Wali paling senior - Sunan Ampel - menunjukkan bahwa ia diterima dengan baik di istana. Mungkin juga karena masih keponakan permaisuri, Putri Champa. Malah ia diberi tugas memimpin masyarakat baru muslim di Surabaya.
Bahkan makam-makam tua di Tralaya-Trowulan, di wilayah sekitar ibukota Majapahit, membuktikan bahwa para bangsawan Majapahit sudah ada yang menganut Islam sejak jaman Prabu Hayam Wuruk.
Menurut dokumen yang paling terpercaya, para Sunan tersebut sebenarnya mula-mula menjabat sebagai Imam (penghulu) Masjid Raya Kerajaan Demak. Pada jaman itu, ternyata para Imam diberi kewenangan untuk membentuk korps militer tersendiri. Nama kesatuannya adalah Suranata. Legiun semacam ini (setengah militer setengah religius) masih dilestarikan di Istana Yogyakarta sampai sekarang.
Anggota pasukannya berasal dari komunitas orang alim yang dipimpin sendiri oleh sang Imam. Tidak diketahui dari mana sumber pembiayaan untuk senjata dan pelatihan militer lainnya. Mungkin dari amal jariah jamaah masjid seperti yang lazim sampai sekarang ini, atau mungkin juga dibiayai langsung dari kas kerajaan.Yang pasti, mereka dikenal sangat militan dalam membela dan mendakwahkan agama Islam.
Di negeri yang baru masuk Islam, tentu tidak aneh jika semangat mereka dalam berdakwah meluap-luap. Medan untuk berjihad terhampar luas di depan. Mereka berharap mendapatkan pengikut yang sebanyak-banyaknya dari orang Jawa yang masih kafir. Dengan demikian perluasan wilayah Islam menjadi terlaksana dengan sukses. Kematian bukan hal mengerikan bagi mereka. Mati di ladang jihad, syurga imbalannya. Tidak heran jika legiun Suranata sangat ditakuti dimana-mana.
Dengan latar belakang kekuatan yang dimilikinya itulah, Sunan Kudus berkarier di bidang militer Kerajaan Demak. Dan prestasinya tidak tanggung-tanggung : meruntuhkan kerajaan kafir kuno Hindu Jawa Majapahit. Keberhasilannya adalah menyingkirkan rintangan terbesar (menurut orang-orang Islam baru itu) dalam menjalankan perintah Tuhan di bumi Jawa. Dengan ambruknya pembela kekafiran, jalan menuju pengislaman di bekas wilayahnya menjadi semakin lapang.
Sudut Pandang Kaum Cafre
Fragmen kekalahan Majapahit itu direkam dengan jeli oleh para pencipta Reyog Panaraga (Batara Katong ?). Maharaja Majapahit digambarkan sangar seperti macan, tetapi suka bermegah-megah (hedonis) seperti merak. Pekerjaannya hanya lenggang-lenggok tanpa tujuan jelas akibat keberatan mahkota meraknya.
Para komandan militernya (warok) hanya bisa mendelik marah-marah karena prajurit-prajurit anak buahnya ternyata penakut dan lemah gemulai (diperankan oleh para gemblak, pemuda yang cantik-cantik). Naik kuda tetapi bertingkah kebanci-bancian dan tidak tangkas bertempur. Apalah artinya komandan yang pintar tanpa anak buah yang trengginas.
Pada klimaks pertunjukan reyog, kepala sang raja yang mulia diduduki oleh anak kecil : Kemaharajaan Majapahit yang dulu jaya dikalahkan oleh Kerajaan Demak yang belum lama berdiri.
Ada beberapa legenda dan catatan yang menyebutkan bahwa Majapahit tidak tinggal diam dengan kekalahannya. Legenda yang luas beredar : Majapahit akan bangkit kembali setelah 500 tahun (berarti tahun 2027 ?). Itu adalah sumpah yang diucapkan oleh penasihat spiritual Maharaja Majapahit, Sabdopalon dan Nayagenggong menjelang kepergiannya. Nama-nama yang mungkin mengacu pada Biksu Buddha dan Brahmana Syiwa.
Catatan resmi : yang lemah dan ketakutan mengungsi ke Pegunungan Tengger dan Pulau Bali. Tetapi yang kuat dan berani terus melawan. Di daerah Sengguruh (wilayah Malang Selatan sekarang), keturunan Gusti Pate / Patih Udara dengan sisa-sisa kekuatan Majapahit yang ada, masih melakukan perlawanan bersenjata. Diberitakan bahwa pada 1535 (8 tahun setelah jatuhnya Ibukota Majapahit), pasukan dari Sengguruh itu berhasil menguasai kota pesisir utara Giri (Gresik), sebuah kota Islam.
Legenda rakyat mengatakan bahwa pasukan itu terpaksa kembali ke markas utamanya di Sengguruh akibat diserang oleh sekawanan lebah yang muncul dari makam Sunan Giri yang dibongkar. Faktanya : pada 1535 juga, pasukan Islam Demak berhasil menguasai Pasuruan, mungkin lewat penyerangan dari laut.
Jatuhnya Pasuruan ini bisa memutus jalur perhubungan dari Sengguruh ke Gresik. Suatu keadaan yang (dari sudut pandang militer) pasti jauh lebih membahayakan dari pada sengatan sekawanan lebah. Perlawanan Sengguruh baru dapat dipatahkan pada tahun 1545. Berjarak 18 tahun sejak Ibukota Majapahit direbut.
Blambangan juga tidak mau tunduk begitu saja. Penetrasi Sultan Trenggana lebih jauh ke timur pada tahun 1546 berakibat fatal bagi sang raja. Seorang pengelana Portugis yang lain - Fernandez Mendez Pinto - melaporkan terbunuhnya sang raja Demak (Emperador Pangueyran de Dama) pada pertempuran di sekitar Panarukan. (Meskipun ia mengelirukannya dengan Pasuruan, yang sudah ditaklukkan Demak 11 tahun sebelumnya). Berita ini dapat dipercaya, karena setelah tahun itu (1546), di ibukota Demak terjadi kekacauan hebat akibat suksesi pewarisan tahta.
Ada berita samar-samar yang mengatakan bahwa Raja Blambangan dibantu sepenuhnya oleh Raja Bali Selatan (Gelgel). Menurut Tome Pires, Raja Blambangan lawan Sultan Trenggana bernama Pate Pimtor (mungkin ejaan Portugis untuk gelar Binatara). Sedangkan Raja Gelgel yang membantunya, tidak terbantahkan, adalah Anak Agung Batu Renggong yang perkasa. Keduanya semula mengakui Maharaja Majapahit sebagai atasannya.
Bahkan Raja-raja Bali tidak pernah takluk kepada Kerajaan Islam Jawa manapun.
Analisis Penyebab Kekalahan Angkatan Perang Majapahit
Faktor yang mungkin mempengaruhi jalannya pertempuran adalah digunakannya senjata berteknologi tinggi pada waktu itu oleh pasukan Demak : meriam berpeluru besi. Memang ada spekulasi yang mengatakan bahwa sebenarnya Majapahit juga memiliki senjata api sejenis meriam (teknologi artileri yang dipelajari dan dikembangkan dari mesiu temuan orang-orang Cina).
Namun yang dilontarkan meriam Majapahit bukan proyektil besi, melainkan bahan kimia yang menimbulkan ledakan saja. Hanya mirip mercon yang dilontarkan. Teknologi ini jelas tertinggal jauh dibandingkan dengan meriam Demak yang sanggup meruntuhkan tembok, menjebol pintu gerbang perbentengan dan mengoyak lambung kapal. Demak pasti sudah berpengalaman berhadapan dengan ampuhnya meriam (Portugis) pada waktu berusaha mengepung Malaka.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa Demak sanggup membuat atau membeli meriam yang setara dengan milik kapal-kapal Portugis itu. Menurut catatan Eropa, Demak memiliki tawanan perang seorang Portugis yang berasal dari Algarvia (wilayah Portugis Selatan) yang kemudian masuk Islam. Entah siapa nama aslinya, ia kemudian bernama Coja Zeynall.
Pekerjaan orang ini adalah membuat meriam untuk Raja. Salah satu hasil karyanya dipakai oleh Panglima Demak Wilayah Barat untuk menaklukkan Banten. Meriam ini kemudian dipajang di depan istana barunya di Banten. Sekarang meriam itu masih ada dan disimpan di Museum Nasional Jakarta dan diberi nama Ki Amuk.
Pribadi Sang Panglima Demak Wilayah Barat Syarif Hidayatullah juga bisa dijadikan bukti kepemilikan meriam itu. Ia kelahiran Pasai. Ia pasti sangat terkesan dengan daya rusak meriam Portugis dalam meluluh-lantakkan negerinya. Kemudian ia pergi berhaji ke Mekah. Melihat sulitnya transportasi waktu itu, tentu tidak mudah bagi orang Asia Tenggara untuk beribadah haji.
Di pusat komunitas muslim itu tentu ia mendengar berita digunakannya meriam-meriam Kesultanan Turki Usmani yang menggentarkan penguasa-penguasa di Kairo, Jerusalem, Konstantinopel, Athena, Beograd, Bucharest, Budapest, bahkan sampai ke Wienna. (Pada tahun 1517, Sultan Salim I dari Turki sukses menginvasi Mesir). Bukan tidak mungkin di sana, calon Panglima Demak itu berusaha mempelajari teknologi pembuatan meriam berikut strategi penggunaannya.
Ditemukan juga faktor non-militer sebagai penyebab kalahnya angkatan perang Majapahit itu. Dalam upaya bertahan, ternyata Majapahit (bersama Pajajaran) melakukan manuver politik dengan menawarkan koalisi kepada Portugis, penakluk Malaka. Majapahit melakukannya dengan perantaraan penguasa Tuban. Tome Pires, di Tuban menerima utusan-utusan Mahapatih Majapahit yang menawarkan persekutuan tahun 1513.
Pada tahun 1522, Panglima Portugis Henrique Leme mengadakan perjanjian dengan Raja Pajajaran yang bernama ‘Samiam’. Mungkin yang dimaksud adalah ‘Sang Hyang’ (Sang Dewa), gelar yang disandang Raja-raja Pajajaran. Portugis dijanjikan akan diberi ijin untuk mendirikan pos di Sunda Kelapa (pelabuhan milik Pajajaran) jika membantu mereka melawan pasukan Islam dari Jawa Tengah.
Perkembangan ini tentu tidak disenangi oleh kaum muslim di Jawa Tengah. Si kafir Hindu hendak meminta bantuan kepada kafir Portugis. Lengkap sudah faktor yang bisa membangkitkan semangat orang-orang Islam dalam membasmi kekafiran.
Padahal, semula Maharaja Majapahit tidak pernah (atau tidak sanggup) menghalang-halangi atau memusuhi penyebar Islam di wilayah negerinya. Legenda tentang Wali paling senior - Sunan Ampel - menunjukkan bahwa ia diterima dengan baik di istana. Mungkin juga karena masih keponakan permaisuri, Putri Champa. Malah ia diberi tugas memimpin masyarakat baru muslim di Surabaya.
Bahkan makam-makam tua di Tralaya-Trowulan, di wilayah sekitar ibukota Majapahit, membuktikan bahwa para bangsawan Majapahit sudah ada yang menganut Islam sejak jaman Prabu Hayam Wuruk.
Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga
Di samping kisah wali-wali lain, riwayat tentang Sunan Kudus banyak dijumpai dalam cerita-cerita Jawa yang beredar luas. Konon ia berdarah Arab, dan dari garis ibu masih merupakan keturunan Sunan Ampel. Namanya yang sebenarnya adalah Jafar Sidik. Disamping menjabat sebagai Imam Masjid Raya Demak, ia juga berdinas di Angkatan Bersenjata Demak menggantikan ayahnya yang terbunuh. Ayahnya hanya dikenal dari nama anumertanya : Penghulu Rahmatullah, artinya yang dirahmati oleh Allah.
Cerita dan babad Jawa menceritakan tokoh ini dengan karakteristik khas : keras dan tidak kenal kompromi. Dalam menegakkan syariah, ia tidak segan-segan menggunakan kekerasan, bahkan melakukan pembunuhan-pembunuhan. Sama sekali tidak pernah terdengar dia mau mengkompromikan keyakinannya dengan budaya setempat ketika masih menjadi pejabat tinggi di Kerajaan Demak.
Tindakannya melarang penyembelihan sapi, (dalam rangka menghormati kepercayaan Hindu yang masih dianut luas) dilakukan setelah ia menetap di kota Kudus. Demikian juga dengan perintahnya dalam pembangunan Menara Masjid Kudus yang terkenal itu. Arsitek menara ini – Ki Empu Sepet – adalah ahli bangunan dari Istana Majapahit yang menjadi tawanan perang Sunan Kudus. Tidak aneh jika bentuk menara masjid menyerupai candi-candi Hindu. Ia (atau pewaris keahliannya) kemudian menjadi arsitek istana baru raja-raja Demak dan Cirebon.
Tindakan Sunan Kudus yang paling terkenal (selain memimpin penyerbuan Majapahit) adalah menghukum si penyebar bid’ah : Syeh Siti Jenar dan muridnya Ki Ageng Pengging. Ajaran mereka pada intinya adalah : ‘manunggaling kawula Gusti’ = bersatunya diri manusia dengan Tuhan. Ajaran itu jelas membahayakan akidah Islam.
Menyamakan Allah Yang Maha Suci dengan manusia yang penuh dosa dan kelemahan jelas-jelas merendahkan martabat-Nya. Tidak ada hukuman yang lebih cocok bagi penghina Tuhan selain hukuman mati. Tanpa ragu, Sunan Kudus dan ‘Komando Pasukan Khusus’ Suranata-nya bergerak memusnahkan bibit-bibit kerusakan akidah itu.
Atau ada alasan lain yang lebih serius ? Ki Ageng Pengging (memiliki nama lain : Kebo Kenanga) adalah keturunan Adipati Andayanigrat, salah seorang pembela Majapahit yang gigih pada jamannya. Andayaningrat adalah putra Maharaja Majapahit terakhir yang ditempatkan di Pengging. Ia menjadi salah seorang panglima pembendung serangan Demak. Ki Ageng Pengging hendak makar membalaskan kekalahan ayahnya ?
Berbeda dengan Sunan Kalijaga misalnya. Sunan ini berasal dari golongan elite waktu itu. Ayahnya adalah Adipati Wilwatikta dari Tuban. Nama kecilnya adalah Raden Said. Setelah lama menjadi penjahat, akhirnya dia insyaf dan menjadi orang baik-baik berkat bimbingan pamannya, Sunan Bonang. Jadi, bukan hanya sekarang, anak pejabat tinggi cenderung bandel-bandel. Selanjutnya ia menjadi murid Sunan Gunungjati di Cirebon.
Sebagai Wali yang asli Jawa, metoda dakwahnya berbeda dengan Sunan Kudus. Sunan Kalijaga menggunakan kearifan lokal dalam mengajak rakyat Jawa yang masih Hindu-Budha ke agama Islam. Tujuannya adalah menghindarkan sejauh mungkin gejolak penolakan di masyarakat. Dia banyak melakukan adaptasi-adaptasi budaya Jawa agar cocok dengan nilai-nilai keislaman. Gending dan wayang yang semula kesenian sakral bagi agama lama, dipergunakannya sebagai media dakwah yang sangat efektif.
Sebagian kalangan menganggap bahwa metoda Sunan Kalijaga-lah yang berhasil mengislamkan Jawa. Tetapi tidak sedikit yang menganggap bahwa ajarannya menyesatkan. Ia dianggap merusak akidah. Metodanya mencampuradukkan ajaran Islam yang suci yang berasal dari Allah dengan ajaran agama lain, bahkan dengan kebudayaan Jawa yang hanya hasil kreasi manusia. Jadinya adalah Islam Kejawen yang menyimpang jauh dari ajaran Islam murni dari Arabia.
Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga hidup sezaman. Tidak tercatat adanya konflik kepentingan atau bentrok fisik antara kedua Wali itu. Namun keputusan Sultan Trenggana menunjukkan kapada Wali siapa Kerajaan Demak berpihak. Mungkin Sultan khawatir dengan pendekatan ‘keras’ dalam penyebaran Islam di Jawa yang dilakukan oleh Jafar Sidik.
Jafar Sidik akhirnya digantikan oleh Kalijaga sebagai Imam Masjid Raya sekaligus Penasehat Raja. Ia diberi wilayah tersendiri : Kudus sebagai imbalan atas jasa-jasanya. Namanya semula adalah Tajug atau Undung atau Ngudung. Setelah menjadi miliknya, nama kota itu diubahnya menjadi Kudus (dari kata Al Quds, sebutan orang Arab untuk Jerusalem). Satu-satunya kota di Jawa yang bernama dari bahasa Arab. Dia kemudian lebih dikenal dengan nama Sunan Kudus, sesuai dengan tempat tinggalnya.
Di samping kisah wali-wali lain, riwayat tentang Sunan Kudus banyak dijumpai dalam cerita-cerita Jawa yang beredar luas. Konon ia berdarah Arab, dan dari garis ibu masih merupakan keturunan Sunan Ampel. Namanya yang sebenarnya adalah Jafar Sidik. Disamping menjabat sebagai Imam Masjid Raya Demak, ia juga berdinas di Angkatan Bersenjata Demak menggantikan ayahnya yang terbunuh. Ayahnya hanya dikenal dari nama anumertanya : Penghulu Rahmatullah, artinya yang dirahmati oleh Allah.
Cerita dan babad Jawa menceritakan tokoh ini dengan karakteristik khas : keras dan tidak kenal kompromi. Dalam menegakkan syariah, ia tidak segan-segan menggunakan kekerasan, bahkan melakukan pembunuhan-pembunuhan. Sama sekali tidak pernah terdengar dia mau mengkompromikan keyakinannya dengan budaya setempat ketika masih menjadi pejabat tinggi di Kerajaan Demak.
Tindakannya melarang penyembelihan sapi, (dalam rangka menghormati kepercayaan Hindu yang masih dianut luas) dilakukan setelah ia menetap di kota Kudus. Demikian juga dengan perintahnya dalam pembangunan Menara Masjid Kudus yang terkenal itu. Arsitek menara ini – Ki Empu Sepet – adalah ahli bangunan dari Istana Majapahit yang menjadi tawanan perang Sunan Kudus. Tidak aneh jika bentuk menara masjid menyerupai candi-candi Hindu. Ia (atau pewaris keahliannya) kemudian menjadi arsitek istana baru raja-raja Demak dan Cirebon.
Tindakan Sunan Kudus yang paling terkenal (selain memimpin penyerbuan Majapahit) adalah menghukum si penyebar bid’ah : Syeh Siti Jenar dan muridnya Ki Ageng Pengging. Ajaran mereka pada intinya adalah : ‘manunggaling kawula Gusti’ = bersatunya diri manusia dengan Tuhan. Ajaran itu jelas membahayakan akidah Islam.
Menyamakan Allah Yang Maha Suci dengan manusia yang penuh dosa dan kelemahan jelas-jelas merendahkan martabat-Nya. Tidak ada hukuman yang lebih cocok bagi penghina Tuhan selain hukuman mati. Tanpa ragu, Sunan Kudus dan ‘Komando Pasukan Khusus’ Suranata-nya bergerak memusnahkan bibit-bibit kerusakan akidah itu.
Atau ada alasan lain yang lebih serius ? Ki Ageng Pengging (memiliki nama lain : Kebo Kenanga) adalah keturunan Adipati Andayanigrat, salah seorang pembela Majapahit yang gigih pada jamannya. Andayaningrat adalah putra Maharaja Majapahit terakhir yang ditempatkan di Pengging. Ia menjadi salah seorang panglima pembendung serangan Demak. Ki Ageng Pengging hendak makar membalaskan kekalahan ayahnya ?
Berbeda dengan Sunan Kalijaga misalnya. Sunan ini berasal dari golongan elite waktu itu. Ayahnya adalah Adipati Wilwatikta dari Tuban. Nama kecilnya adalah Raden Said. Setelah lama menjadi penjahat, akhirnya dia insyaf dan menjadi orang baik-baik berkat bimbingan pamannya, Sunan Bonang. Jadi, bukan hanya sekarang, anak pejabat tinggi cenderung bandel-bandel. Selanjutnya ia menjadi murid Sunan Gunungjati di Cirebon.
Sebagai Wali yang asli Jawa, metoda dakwahnya berbeda dengan Sunan Kudus. Sunan Kalijaga menggunakan kearifan lokal dalam mengajak rakyat Jawa yang masih Hindu-Budha ke agama Islam. Tujuannya adalah menghindarkan sejauh mungkin gejolak penolakan di masyarakat. Dia banyak melakukan adaptasi-adaptasi budaya Jawa agar cocok dengan nilai-nilai keislaman. Gending dan wayang yang semula kesenian sakral bagi agama lama, dipergunakannya sebagai media dakwah yang sangat efektif.
Sebagian kalangan menganggap bahwa metoda Sunan Kalijaga-lah yang berhasil mengislamkan Jawa. Tetapi tidak sedikit yang menganggap bahwa ajarannya menyesatkan. Ia dianggap merusak akidah. Metodanya mencampuradukkan ajaran Islam yang suci yang berasal dari Allah dengan ajaran agama lain, bahkan dengan kebudayaan Jawa yang hanya hasil kreasi manusia. Jadinya adalah Islam Kejawen yang menyimpang jauh dari ajaran Islam murni dari Arabia.
Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga hidup sezaman. Tidak tercatat adanya konflik kepentingan atau bentrok fisik antara kedua Wali itu. Namun keputusan Sultan Trenggana menunjukkan kapada Wali siapa Kerajaan Demak berpihak. Mungkin Sultan khawatir dengan pendekatan ‘keras’ dalam penyebaran Islam di Jawa yang dilakukan oleh Jafar Sidik.
Jafar Sidik akhirnya digantikan oleh Kalijaga sebagai Imam Masjid Raya sekaligus Penasehat Raja. Ia diberi wilayah tersendiri : Kudus sebagai imbalan atas jasa-jasanya. Namanya semula adalah Tajug atau Undung atau Ngudung. Setelah menjadi miliknya, nama kota itu diubahnya menjadi Kudus (dari kata Al Quds, sebutan orang Arab untuk Jerusalem). Satu-satunya kota di Jawa yang bernama dari bahasa Arab. Dia kemudian lebih dikenal dengan nama Sunan Kudus, sesuai dengan tempat tinggalnya.
Kekacauan Di Demak
Kematian mendadak Sultan Trenggana di Panarukan 1546 menimbulkan kekacauan hebat di ibukota Demak. Terjadi banyak pembunuhan balas-membalas antara pihak-pihak yang merasa berhak mewarisi tahta. Legenda tentang kekacauan itu lestari dalam buku-buku babad dan pertunjukan rakyat (ketoprak). Hampir semua orang Jawa - baik yang melek huruf maupun tidak- mengetahui kisahnya. Bahkan sangat romantis, sampai-sampai banyak sejarawan sempat meragukan kebenarannya.
Yang terbunuh mula-mula adalah putra mahkota, Pengeran Mukmin. Nama anumertanya menunjukkan dengan jelas akan nasib malangnya : Pangeran Seda ing Lepen (Pangeran Meninggal di Sungai). Ditenggelamkan di sungai ? Suatu kematian yang sangat tidak terhormat menurut adat Jawa. Awalnya tidak diketahui siapa dalang pembunuhan itu.
Pengganti Sultan Trenggana kemudian terpilih adik Mukmin yang bernama Susuhunan Prawata. Sepertinya keadaan akan menjadi damai kembali. Ia lebih dikenal sebagai orang alim yang lebih banyak mencurahkan hidupnya untuk urusan keagamaan. Dapat dilihat pada gelarnya.
Tetapi kemudian muncul ketidakpuasan dari seorang pangeran yang lain. Pangeran ini mencurigai Prawata sebagai dalang pembunuhan di sungai itu agar dapat menguasai tahta. Dan menuduh anggota keluarga kerajaan lainnya melakukan persekongkolan. Pangeran itu adalah putra Mukmin sendiri.
Namanya sangat terkenal di kalangan rakyat Jawa : Arya Penangsang, Adipati Jipang–Panolan (bawahan Demak). Pada gilirannya, ia menuntut balas atas kematian ayahnya yang dihinakan. Susuhunan Prawata-pun disingkirkannya. (Mungkin juga ia merasa lebih berhak menduduki tahta). Pembunuhan seorang raja sudah pasti menimbulkan kegegeran hebat. Keberhasilannya pasti dengan mengerahkan kekuatan militer yang besar.
Tahun kejadiannya adalah 1549. Akibatnya mudah ditebak : ibukota Demak hancur karenanya. Anggota keluarga Dinasti Demak yang lain merasa terancam karenanya. Kesultanan Islam pertama di Jawa hanya bertahan tidak lebih dari tiga generasi penguasa.
Banyak cerita romantis yang beredar luas di masyarakat. Ratu Kalinyamat (Putri Sultan Trenggana yang diberi kekuasaan di Jepara) bersumpah akan terus bertapa telanjang di kamar dalam istananya selama Arya Penangsang masih hidup. Hanya rambut panjangnya yang dijadikan sebagai penutup tubuh. Suaminya termasuk yang menjadi korban keganasan pasukan pangeran pendendam itu.
Anak Ki Ageng Pengging lebih berhasil. Nama kanak-kanaknya adalah Raden Mas Karebet. Semasa mudanya burjulukan Jaka Tingkir. Ia dimasyurkan sebagai pemuda gagah berani. Kata legenda : dia langsung diterima sebagai anggota ‘Komando Pasukan Khusus Tamtama’ setelah berhasil menundukkan kerbau liar yang mengamuk di alun-alun Demak. Selanjutnya ia mendapat karunia, salah seorang Putri Sultan Trenggana sebagai istri dan wilayah Pajang sebagai tempat kedudukan.
Dongeng asal muasal dia bisa diterima di Istana Demak itu memang masih patut dipertanyakan. Tetapi jelas dia bukan berasal dari golongan santri/ orang alim. Jika ia seorang santri, pasti lebih memilih bergabung dengan korps lainnya, Suranata. Kelak ia menjadi Sultan Hadiwijaya dari Pajang, penerus kejayaan Demak.
Menantu Sultan Trenggana ini, juga diancam oleh Arya Penangsang. Adipati Pajang ini semula adalah seorang pendekar yang mencapai kedudukan tinggi melalui karier militer di Legiun Tamtama Kerajaan Demak.
Legiun Tamtama adalah nama Kesatuan Pasukan Khusus Kesultanan Demak. Anggotanya adalah para pemuda bebas yang memiliki ketrampilan bertarung yang hebat (pendekar). Mereka bukan berasal dari pemuda petani yang terkena wajib militer, anggota mayoritas prajurit jaman kuno. Pola rekrutmen tentara semacam ini sudah diterapkan sejak jaman Majapahit.
Sebagai mantan prajurit, tentu ia tidak gentar menghadapi ancaman Arya Penangsang. Terjadilah geger tahap ketiga, ketika pasukan Jipang–Panolan berhadapan dengan pasukan Pajang. Panglima Pajang yang paling berjasa dalam mengalahkan pasukan Arya Penangsang adalah Ki Ageng Pemanahan dan anaknya Sutawijaya. Bisa jadi, mengacu pada namanya, Pemanahan adalah komandan pasukan pemanah.
Kisah selanjutnya bersifat legendaris belaka. Valid tidaknya tidak bisa dikonfirmasi dengan dokumen lain.
Konon Sutawijaya-lah yang berhasil menombak perut Arya Penangsang sampai ususnya terburai keluar. Tetapi Arya Penangsang belum mati karenanya. Dengan men-cantol-kan ususnya ke kerisnya (yang masih tersarung), ia masih sanggup melanjutkan perlawanan. Sampai akhirnya ia lupa mencabut kerisnya. Keris itu memotong ususnya, Arya Penangsang-pun meninggal.
Kata legenda : pada saat usus Arya Penangsang tercantol di kerisnya itulah ia kelihatan sangat gagah dan tampan dan berbau harum semerbak meski sedang menghadapi kematian (menunjukkan apa yang dilakukannya adalah benar !).
Episode kegagahan Arya Penangsang yang penuh semangat meluap-luap itu diabadikan dalam upacara perkawinan adat Jawa. Setiap pengantin pria Jawa selalu dihiasi keris di punggung yang diberi untaian melati memanjang dari perut. Meniru Arya Penangsang yang sedang mencantolkan ususnya sendiri ketika bertarung mempertahankan haknya.
Berkat jasanya itu, Ki Ageng Pemanahan mendapatkan hadiah berupa tanah luas di pedalaman Jawa Tengah : Mataram. Dialah yang menjadi cikal bakal Dinasti Mataram yang berkuasa turun temurun di (sebagian) bumi Jawa sampai Abad XXI ini. Dan Sutawijaya dinaikkan pangkatnya menjadi Senapati (pangti = panglima tertinggi) Angkatan Bersenjata Kesultanan Pajang. Sekaligus dijadikan anak angkat oleh Raja Pajang Hadiwijaya.
Sang ayah tidak pernah memakai gelar yang lebih tinggi dari Ki Ageng Mataram. Jelas ia lebih merasa sebagai bawahan Pajang. Tetapi anaknya yang ambisius kelak menjadi raja pertama kerajaan (merdeka) baru yang dirintis oleh ayahnya itu. Namanya lebih dikenal sebagai Panembahan Senapati, raja Mataram pertama. Hadiwijaya tidak sempat membentuk dinasti mungkin karena tidak memiliki keturunan laki-laki.
Kisah tersebut ditulis pada abad XVII atau XVIII di Keraton Mataram. Terpaut lebih dari 100 tahun dengan kejadian yang sebenarnya. Nampak jelas kecenderungannya untuk memuliakan dan membesar-besarkan jasa pendiri Dinasti Mataram itu. Para sejarawan menyarankan untuk berhati-hati membaca legenda Jawa itu.
Sayangnya, pada periode banjir darah itu, orang-orang Portugis (atau Eropa lainnya) bungkam. Mungkin mereka lebih konsentrasi pada perintisan jalur menuju Maluku dari pada membuat masalah (lagi) dengan orang-orang Jawa. Kekalahan di Sunda Kelapa mereka tebus dengan menguasi bagian Timur Pulau Timor.
Portugis jaya di tempat lain, tetapi tidak di Sunda Kelapa pada tahun 1527. Mereka dikalahkan oleh pasukan Demak yang sudah bercokol disana. Kedatangan armada Portugis itu adalah untuk melaksanakan perjanjian 1522 dengan Raja Pajajaran, pemilik sah Sunda Kelapa. Mereka didahului oleh pasukan Demak yang dipimpin oleh Syarif Hidayatullah. Kejadian itu membuat Sunda Kelapa diubah namanya menjadi Jayakarta (artinya adalah kota kemenangan, disingkat Jakarta) oleh orang-orang Demak.
Hanya ada satu catatan Portugis mengenai periode berkuasanya Susuhunan Prawata. Seorang duta Portugis bernama Manuel Pinto sempat mengunjungi Raja Demak terakhir itu. Menurut laporannya, Sang Raja sesumbar tentang ambisinya hendak menjadi Segundo Turco (Sultan Turki Kedua) di tanah Jawa.
Maksud Susuhunan adalah ingin mengislamkan seluruh Jawa seperti Sultan Turki melakukannya di Eropa. (Sultan Sulaiman I dari Turki, pada tahun 1547 mulai membariskan pasukannya untuk menguasai Hungaria). Hal ini membuktikan bahwa Susuhunan memiliki wawasan yang cukup sampai mengetahui kondisi politik Eropa saat itu. (Atau memiliki penasihat yang mengetahui hubungan internasional ?). Susuhunan juga bermaksud menghalang-halangi Portugis untuk berkuasa di Sulawesi.
Tetapi Manuel Pinto tidak menyebut adanya kemelut di pedalaman, Arya Penangsang Jipang maupun Jaka Tingkir Pajang. Kemelut itu tidak sempat dilaporkannya (mungkin karena tidak diketahuinya ?). Kehati-hatian sejarawan modern akan periode ini barangkali karena kemudian ditemukannya bukti-bukti lain yang lebih bisa dipercaya.
Di tahun-tahun (yang diuraikan panjang lebar dalam babad-babad Jawa) setelah terbunuhnya Susuhunan Prawata dan berkuasanya Sultan Hadiwijaya di Pajang, seorang penguasa lain di Nusantara ternyata masih mengirimkan duta ke Demak untuk mengajak bersekutu.
Seorang musafir Portugis lain, De Couto, memberitakan bahwa pada tahun 1564 (15 tahun setelah terbunuhnya Prawata), Sultan Aceh yang perkasa Alauddin Riayat Shah, mengirimkan utusan ke Demak. Utusannya bermaksud meminta bantuan kepada O Rey de Dama Imperador de Java (Raja Demak, Maharaja Jawa) untuk memerangi Portugis di Malaka. Tetapi raja ini menolak memberikan bantuan.
Siapa Raja Demak yang kekuasaannya (dikira) masih cukup besar ini, sampai Sultan Aceh mengusulkan suatu persekutuan ? Membandingkannya dengan teks lain, ternyata ditemukan nama Pangeran Pangiri (Pangeran Kediri). Kekuasaannya ternyata lebih bersifat rohaniah belaka (semacam pemimpin agama). Ia tunduk kepada Sultan Hadiwijaya di Pajang, pelindung duniawinya. Mungkin dialah yang dimaksud sebagai ‘Kaisar Jawa’ oleh De Couto.
Tidak ada alasan untuk menduga De Couto mengacaukan Demak sebagai Jepara atau Pajang. Karena De Couto juga melaporkan : utusan Sultan Aceh tadi lebih berhasil di Jepara.
Setelah sumpahnya terpenuhi (dengan terbunuhnya Arya Penangsang), Ratu Kalinyamat aktif kembali di dunia politik. Kemenangan iparnya (Sultan Pajang) atas pengancamnya pasti membuat ia merasa hidup lebih aman di istananya. Uluran Sultan Aceh disambutnya dengan mengirim armada perang ke Malaka 2 kali, yaitu tahun 1551 dan 1574 . Ini pasti, karena orang-orang Portugis menguraikannya dengan jelas. Bersama-sama, Angkatan Laut dari Aceh, Jepara dan Johor berusaha membebaskan Malaka dari pendudukan Portugis. Suatu usaha yang lagi-lagi menemui kegagalan.
Kematian mendadak Sultan Trenggana di Panarukan 1546 menimbulkan kekacauan hebat di ibukota Demak. Terjadi banyak pembunuhan balas-membalas antara pihak-pihak yang merasa berhak mewarisi tahta. Legenda tentang kekacauan itu lestari dalam buku-buku babad dan pertunjukan rakyat (ketoprak). Hampir semua orang Jawa - baik yang melek huruf maupun tidak- mengetahui kisahnya. Bahkan sangat romantis, sampai-sampai banyak sejarawan sempat meragukan kebenarannya.
Yang terbunuh mula-mula adalah putra mahkota, Pengeran Mukmin. Nama anumertanya menunjukkan dengan jelas akan nasib malangnya : Pangeran Seda ing Lepen (Pangeran Meninggal di Sungai). Ditenggelamkan di sungai ? Suatu kematian yang sangat tidak terhormat menurut adat Jawa. Awalnya tidak diketahui siapa dalang pembunuhan itu.
Pengganti Sultan Trenggana kemudian terpilih adik Mukmin yang bernama Susuhunan Prawata. Sepertinya keadaan akan menjadi damai kembali. Ia lebih dikenal sebagai orang alim yang lebih banyak mencurahkan hidupnya untuk urusan keagamaan. Dapat dilihat pada gelarnya.
Tetapi kemudian muncul ketidakpuasan dari seorang pangeran yang lain. Pangeran ini mencurigai Prawata sebagai dalang pembunuhan di sungai itu agar dapat menguasai tahta. Dan menuduh anggota keluarga kerajaan lainnya melakukan persekongkolan. Pangeran itu adalah putra Mukmin sendiri.
Namanya sangat terkenal di kalangan rakyat Jawa : Arya Penangsang, Adipati Jipang–Panolan (bawahan Demak). Pada gilirannya, ia menuntut balas atas kematian ayahnya yang dihinakan. Susuhunan Prawata-pun disingkirkannya. (Mungkin juga ia merasa lebih berhak menduduki tahta). Pembunuhan seorang raja sudah pasti menimbulkan kegegeran hebat. Keberhasilannya pasti dengan mengerahkan kekuatan militer yang besar.
Tahun kejadiannya adalah 1549. Akibatnya mudah ditebak : ibukota Demak hancur karenanya. Anggota keluarga Dinasti Demak yang lain merasa terancam karenanya. Kesultanan Islam pertama di Jawa hanya bertahan tidak lebih dari tiga generasi penguasa.
Banyak cerita romantis yang beredar luas di masyarakat. Ratu Kalinyamat (Putri Sultan Trenggana yang diberi kekuasaan di Jepara) bersumpah akan terus bertapa telanjang di kamar dalam istananya selama Arya Penangsang masih hidup. Hanya rambut panjangnya yang dijadikan sebagai penutup tubuh. Suaminya termasuk yang menjadi korban keganasan pasukan pangeran pendendam itu.
Anak Ki Ageng Pengging lebih berhasil. Nama kanak-kanaknya adalah Raden Mas Karebet. Semasa mudanya burjulukan Jaka Tingkir. Ia dimasyurkan sebagai pemuda gagah berani. Kata legenda : dia langsung diterima sebagai anggota ‘Komando Pasukan Khusus Tamtama’ setelah berhasil menundukkan kerbau liar yang mengamuk di alun-alun Demak. Selanjutnya ia mendapat karunia, salah seorang Putri Sultan Trenggana sebagai istri dan wilayah Pajang sebagai tempat kedudukan.
Dongeng asal muasal dia bisa diterima di Istana Demak itu memang masih patut dipertanyakan. Tetapi jelas dia bukan berasal dari golongan santri/ orang alim. Jika ia seorang santri, pasti lebih memilih bergabung dengan korps lainnya, Suranata. Kelak ia menjadi Sultan Hadiwijaya dari Pajang, penerus kejayaan Demak.
Menantu Sultan Trenggana ini, juga diancam oleh Arya Penangsang. Adipati Pajang ini semula adalah seorang pendekar yang mencapai kedudukan tinggi melalui karier militer di Legiun Tamtama Kerajaan Demak.
Legiun Tamtama adalah nama Kesatuan Pasukan Khusus Kesultanan Demak. Anggotanya adalah para pemuda bebas yang memiliki ketrampilan bertarung yang hebat (pendekar). Mereka bukan berasal dari pemuda petani yang terkena wajib militer, anggota mayoritas prajurit jaman kuno. Pola rekrutmen tentara semacam ini sudah diterapkan sejak jaman Majapahit.
Sebagai mantan prajurit, tentu ia tidak gentar menghadapi ancaman Arya Penangsang. Terjadilah geger tahap ketiga, ketika pasukan Jipang–Panolan berhadapan dengan pasukan Pajang. Panglima Pajang yang paling berjasa dalam mengalahkan pasukan Arya Penangsang adalah Ki Ageng Pemanahan dan anaknya Sutawijaya. Bisa jadi, mengacu pada namanya, Pemanahan adalah komandan pasukan pemanah.
Kisah selanjutnya bersifat legendaris belaka. Valid tidaknya tidak bisa dikonfirmasi dengan dokumen lain.
Konon Sutawijaya-lah yang berhasil menombak perut Arya Penangsang sampai ususnya terburai keluar. Tetapi Arya Penangsang belum mati karenanya. Dengan men-cantol-kan ususnya ke kerisnya (yang masih tersarung), ia masih sanggup melanjutkan perlawanan. Sampai akhirnya ia lupa mencabut kerisnya. Keris itu memotong ususnya, Arya Penangsang-pun meninggal.
Kata legenda : pada saat usus Arya Penangsang tercantol di kerisnya itulah ia kelihatan sangat gagah dan tampan dan berbau harum semerbak meski sedang menghadapi kematian (menunjukkan apa yang dilakukannya adalah benar !).
Episode kegagahan Arya Penangsang yang penuh semangat meluap-luap itu diabadikan dalam upacara perkawinan adat Jawa. Setiap pengantin pria Jawa selalu dihiasi keris di punggung yang diberi untaian melati memanjang dari perut. Meniru Arya Penangsang yang sedang mencantolkan ususnya sendiri ketika bertarung mempertahankan haknya.
Berkat jasanya itu, Ki Ageng Pemanahan mendapatkan hadiah berupa tanah luas di pedalaman Jawa Tengah : Mataram. Dialah yang menjadi cikal bakal Dinasti Mataram yang berkuasa turun temurun di (sebagian) bumi Jawa sampai Abad XXI ini. Dan Sutawijaya dinaikkan pangkatnya menjadi Senapati (pangti = panglima tertinggi) Angkatan Bersenjata Kesultanan Pajang. Sekaligus dijadikan anak angkat oleh Raja Pajang Hadiwijaya.
Sang ayah tidak pernah memakai gelar yang lebih tinggi dari Ki Ageng Mataram. Jelas ia lebih merasa sebagai bawahan Pajang. Tetapi anaknya yang ambisius kelak menjadi raja pertama kerajaan (merdeka) baru yang dirintis oleh ayahnya itu. Namanya lebih dikenal sebagai Panembahan Senapati, raja Mataram pertama. Hadiwijaya tidak sempat membentuk dinasti mungkin karena tidak memiliki keturunan laki-laki.
Kisah tersebut ditulis pada abad XVII atau XVIII di Keraton Mataram. Terpaut lebih dari 100 tahun dengan kejadian yang sebenarnya. Nampak jelas kecenderungannya untuk memuliakan dan membesar-besarkan jasa pendiri Dinasti Mataram itu. Para sejarawan menyarankan untuk berhati-hati membaca legenda Jawa itu.
Sayangnya, pada periode banjir darah itu, orang-orang Portugis (atau Eropa lainnya) bungkam. Mungkin mereka lebih konsentrasi pada perintisan jalur menuju Maluku dari pada membuat masalah (lagi) dengan orang-orang Jawa. Kekalahan di Sunda Kelapa mereka tebus dengan menguasi bagian Timur Pulau Timor.
Portugis jaya di tempat lain, tetapi tidak di Sunda Kelapa pada tahun 1527. Mereka dikalahkan oleh pasukan Demak yang sudah bercokol disana. Kedatangan armada Portugis itu adalah untuk melaksanakan perjanjian 1522 dengan Raja Pajajaran, pemilik sah Sunda Kelapa. Mereka didahului oleh pasukan Demak yang dipimpin oleh Syarif Hidayatullah. Kejadian itu membuat Sunda Kelapa diubah namanya menjadi Jayakarta (artinya adalah kota kemenangan, disingkat Jakarta) oleh orang-orang Demak.
Hanya ada satu catatan Portugis mengenai periode berkuasanya Susuhunan Prawata. Seorang duta Portugis bernama Manuel Pinto sempat mengunjungi Raja Demak terakhir itu. Menurut laporannya, Sang Raja sesumbar tentang ambisinya hendak menjadi Segundo Turco (Sultan Turki Kedua) di tanah Jawa.
Maksud Susuhunan adalah ingin mengislamkan seluruh Jawa seperti Sultan Turki melakukannya di Eropa. (Sultan Sulaiman I dari Turki, pada tahun 1547 mulai membariskan pasukannya untuk menguasai Hungaria). Hal ini membuktikan bahwa Susuhunan memiliki wawasan yang cukup sampai mengetahui kondisi politik Eropa saat itu. (Atau memiliki penasihat yang mengetahui hubungan internasional ?). Susuhunan juga bermaksud menghalang-halangi Portugis untuk berkuasa di Sulawesi.
Tetapi Manuel Pinto tidak menyebut adanya kemelut di pedalaman, Arya Penangsang Jipang maupun Jaka Tingkir Pajang. Kemelut itu tidak sempat dilaporkannya (mungkin karena tidak diketahuinya ?). Kehati-hatian sejarawan modern akan periode ini barangkali karena kemudian ditemukannya bukti-bukti lain yang lebih bisa dipercaya.
Di tahun-tahun (yang diuraikan panjang lebar dalam babad-babad Jawa) setelah terbunuhnya Susuhunan Prawata dan berkuasanya Sultan Hadiwijaya di Pajang, seorang penguasa lain di Nusantara ternyata masih mengirimkan duta ke Demak untuk mengajak bersekutu.
Seorang musafir Portugis lain, De Couto, memberitakan bahwa pada tahun 1564 (15 tahun setelah terbunuhnya Prawata), Sultan Aceh yang perkasa Alauddin Riayat Shah, mengirimkan utusan ke Demak. Utusannya bermaksud meminta bantuan kepada O Rey de Dama Imperador de Java (Raja Demak, Maharaja Jawa) untuk memerangi Portugis di Malaka. Tetapi raja ini menolak memberikan bantuan.
Siapa Raja Demak yang kekuasaannya (dikira) masih cukup besar ini, sampai Sultan Aceh mengusulkan suatu persekutuan ? Membandingkannya dengan teks lain, ternyata ditemukan nama Pangeran Pangiri (Pangeran Kediri). Kekuasaannya ternyata lebih bersifat rohaniah belaka (semacam pemimpin agama). Ia tunduk kepada Sultan Hadiwijaya di Pajang, pelindung duniawinya. Mungkin dialah yang dimaksud sebagai ‘Kaisar Jawa’ oleh De Couto.
Tidak ada alasan untuk menduga De Couto mengacaukan Demak sebagai Jepara atau Pajang. Karena De Couto juga melaporkan : utusan Sultan Aceh tadi lebih berhasil di Jepara.
Setelah sumpahnya terpenuhi (dengan terbunuhnya Arya Penangsang), Ratu Kalinyamat aktif kembali di dunia politik. Kemenangan iparnya (Sultan Pajang) atas pengancamnya pasti membuat ia merasa hidup lebih aman di istananya. Uluran Sultan Aceh disambutnya dengan mengirim armada perang ke Malaka 2 kali, yaitu tahun 1551 dan 1574 . Ini pasti, karena orang-orang Portugis menguraikannya dengan jelas. Bersama-sama, Angkatan Laut dari Aceh, Jepara dan Johor berusaha membebaskan Malaka dari pendudukan Portugis. Suatu usaha yang lagi-lagi menemui kegagalan.
No comments:
Post a Comment