Perang
Bosnia adalah merupakan salah satu tragedi kemanusiaan terbesar yang
pernah menimpa kaum muslimin. Tragedi yang terjadi di sebuah negara
kecil di Semenanjung Balkan bernama Bosnia Herzegovina ini berlangsung
antara tahun 1992 - 1995. Negara ini dahulunya merupakan bagian dari
Federasi Yugoslavia, dimana mayoritas penduduknya adalah muslim sejak
masuknya Islam pada abad ke-14. Pada tahun 1991, runtuhnya Uni Soviet
menimbulkan efek domino bagi negara-negara komunis di Eropa timur,
termasuk Yugoslavia, yang pecah menjadi 6 negara bagian, yaitu Serbia,
Kroasia, Bosnia, Macedonia, Slovenia, dan Montenegro.
Serbia
yang berupaya untuk mempertahankan kekuasaan Federasi Yugoslavia mulai
berupaya untuk mencaplok wilayah-wilayah negara bagian tetangganya yang
berbeda secara etnis dan agama. Tiga negara bagian dengan etnis penduduk
yang terbesar, yaitu Serbia yang beragama Kristen Ortodok, Bosnia yang
muslim, dan Kroasia yang beragama Katolik Roma, kemudian mulai terlibat
konflik. Serbia, sebagai etnis terbesar, di bawah pimpinan “Tukang Jagal
dari Balkan”, Slobodan Milosevic, sangat berambisi untuk mewujudkan
negara Serbia Raya dan menentang keras berdirinya negara Bosnia pada
tahun 1992 yang mayoritas muslim. Ia kemudian berupaya untuk mencaplok
wilayah Bosnia dengan cara memusnahkan seluruh penduduknya.
Bosnia
Herzegovina yang dipimpin Presiden Alija Izetbegovic merupakan negara
berpenduduk 4,3 juta jiwa dengan komposisi 43,7% etnis Bosnia, 31,3%
etnis Serbia atau Serbia-Bosnia, 17,3% etnis Kroasia atau
Kroasia-Bosnia, dan 5,5% sisanya etnis lainnya (Hamdi, 2006). Pada awal
pecahnya perang di tahun 1992, etnis Bosnia dan etnis Kroasia di Bosnia
(Kroasia-Bosnia) bekerja sama menghadapi invasi serangan tentara-tentara
Serbia. Namun ketika kondisi pihak Bosnia mencapai titik kritis, dimana
sekitar 70% wilayah Bosnia berhasil direbut oleh Serbia, etnis Kroasia
di Bosnia dengan didukung negara Kroasia berbalik berkhianat dan
berupaya merebut 30% sisa wilayah Bosnia. Akibatnya, pihak Bosnia hanya
tinggal menguasai 10% sisa wilayahnya karena sebanyak 20%-nya kemudian
diambil Kroasia.
Hal
ini terjadi karena diam-diam, Presiden Kroasia Franjo Tudman memang
telah melakukan pembicaraan rahasia dengan Slobodan Milosevic sejak awal
tahun 1991 yang dikenal dengan Kesepakatan Koradordevo untuk sama-sama
mencaplok wilayah Bosnia. Serbia menginginkan semua wilayah Bosnia
dimana etnis Serbia tinggal di dalamnya yang meliputi wilayah timur dan
barat Bosnia, sementara Kroasia mengambil sisanya. Akibatnya, kaum
muslimin Bosnia pun menjadi target sasaran yang empuk dan terjepit oleh
dua serangan musuh sekaligus, dimana militer Bosnia sendiri sangat lemah
persenjataannya dan sama sekali tidak siap untuk berperang. Sangat
berbeda dengan Serbia yang memang mewarisi persenjataan dan perlengkapan
militer bekas angkatan bersenjata Federasi Yugoslavia. Masalah bagi
pihak militer Bosnia pun semakin bertambah dengan adanya embargo senjata
oleh PBB terhadap seluruh negara bekas Yugoslavia.
Maka
dimulailah tragedi memilukan yang menimpa kaum muslimin Bosnia saat
tentara-tentara Serbia dengan ganas dan brutal menyerbu masuk ke dalam
kota-kota dan desa-desa yang dihuni oleh penduduk sipil muslim Bosnia.
Ketika sejumlah kota dan desa dikuasai oleh pasukan Serbia, yang tak
hanya terdiri dari pihak militer dan kepolisian Serbia, tetapi juga dari
kekuatan paramiliter (milisi bersenjata) dan kadang warga sipil Serbia,
maka rumah-rumah kaum muslim Bosnia secara sistematis satu-persatu
digedor dan dirampok. Seluruh penghuninya diseret keluar, kemudian
rumahnya pun dibakar. Banyak yang disiksa bahkan dibunuh selama dalam
proses tersebut. Selanjutnya, kaum pria dan wanita dipisah. Kaum pria
digiring ke kamp-kamp penyiksaan untuk dihabisi atau digiring ke tengah
hutan untuk dibantai secara masal, sementara kaum wanita dibawa ke
kamp-kamp khusus untuk dianiaya dengan berbagai macam cara, termasuk
diperkosa secara masal dan brutal berulang kali. Mereka sengaja dihamili
untuk melahirkan anak keturunan Serbia. Serangan brutal Serbia terhadap
kaum muslim Bosnia ini pun menjadi tragedi kemanusiaan terbesar dan
terparah di Eropa sejak Perang Dunia II.
Kekejian
dan kebrutalan tentara Serbia yang diluar batas tersebut kemudian
terdengar luas ke seantero dunia, termasuk oleh kaum Mujahidin. Namun
tak seperti negara-negara mayoritas muslim, apalagi negara-negara barat
dan PBB yang seolah menutup mata terhadap terjadinya peristiwa
pembantaian besar-besaran tersebut, kaum Mujahidin tidak tinggal diam
mendengar saudara-saudaranya diperlakukan keji seperti itu. Kekejaman
tentara Serbia seakan menjadi “undangan” tersendiri bagi kaum Mujahidin.
Memasuki tahun 1993, wilayah Balkan pun menjadi target tujuan utama
bagi para Mujahidin veteran Perang Afghanistan asal negara-negara Arab
yang tanpa dikomando berbondong-bondong mulai berdatangan, mengalir dari
berbagai penjuru wilayah. Salah seorang dari mereka adalah Mujahidin
kawakan, Sheikh Abu Abdul Aziz “Barbaros”.
Sheikh Abu Abdul Aziz “Barbaros” komandan pasukan Mujahidin asing di Bosnia.
Sheikh
Abu Abdul Aziz atau yang kemudian lebih dikenal dengan nama panggilan
Ameer Barbaros alias “Si Janggut Merah”, karena beliau memiliki janggut
yang panjang berwarna merah pirang, adalah veteran Perang Afghanistan
asal Arab. Nama asli Abu Abdul Aziz sebenarnya adalah Abdulrahman
al-Dosari. Beliau lahir di Saudi Arabia pada tahun 1942. Pertama kali
mulai pergi berjihad pada tahun 1984 saat ia tergugah oleh seruan jihad
Dr. Sheikh Abdullah Azzam untuk melawan invasi tentara Soviet di
Afghanistan. Tak lama setelah itu, Abu Abdul Aziz pun telah bergabung
bersama saudara-saudaranya di Afghanistan. Selama berlangsungnya
pertempuran di Afghanistan, Abu Abdul Aziz dijuluki “Hown” karena keahliannya dalam mengoperasikan peluncur roket artileri “Hound” buatan Soviet. Abu Abdul Aziz termasuk lulusan angkatan pertama “Akademi Jihad” Maktab al-Khidamat yang didirikan oleh Sheikh Abdullah Azzam bersama Osama bin Laden.
Usai
jihad di Afghanistan yang ditandai oleh jatuhnya kota Kabul ke tangan
kaum Mujahidin, Abu Abdul Aziz yang selalu mengingat sabda Rasulullah
SAW bahwa “Puncak tertinggi dari Islam adalah Jihad”, sempat
pergi berjihad ke Kashmir. Namun ketika pecah perang di Yugoslavia dan
tersiar kabar tentang pembantaian kaum muslimin Bosnia, Abu Abdul Aziz
bersama empat orang rekan Mujahidin segera pergi ke Bosnia untuk
mengecek sendiri situasi dan kondisi yang sebenarnya. Temuan para utusan
tersebut di lapangan membenarkan bahwa memang telah terjadi pembantaian
terhadap kaum muslimin Bosnia dan sebagian lainnya dipaksa untuk
mengungsi meninggalkan rumah dan tanah air mereka. Abu Abdul Aziz juga
melihat bahwa kaum muslim Bosnia tanpa pertahanan, perlindungan, dan
juga persenjataan. Situasi di sana benar-benar membuat kaum muslim
Bosnia putus asa dan seolah tanpa harapan.
Sebagai
respon permohonan bantuan dari kaum muslimin Bosnia, secara bertahap
mulai berdatangan dan berkumpul sekitar 300 – 500 sukarelawan jihad yang
datang dari berbagai penjuru untuk membela kehormatan saudara-saudara
mereka di Bosnia dari kekejaman dan kebiadaban kaum Serbia. Sebagian
besar dari mereka adalah para veteran Perang Afghanistan yang
dipersenjatai dan telah sangat terlatih. Mereka benar-benar telah siap
bertempur hidup dan mati bersama-sama dengan kaum muslim Bosnia untuk
melawan serangan dan ancaman kaum Kristen Ortodok Serbia maupun kaum
Katolik Roma Kroasia.
Jumlah
sukarelawan jihad dari berbagai wilayah yang datang ke Bosnia akhirnya
lebih dari cukup untuk membentuk kekuatan satu batalyon pasukan yang
terdiri dari orang-orang non-Bosnia. Meskipun orang-orang Arab terbilang
minoritas di dalam batalyon tersebut bila dibandingkan dengan para
Mujahidin lainnya yang diantaranya ada yang berasal dari Turki,
Pakistan, Iran, Afrika Utara, bahkan Eropa dan Amerika, namun sebagai
veteran Perang Afghanistan yang telah banyak makan asam garam medan
pertempuran, Abu Abdul Aziz alias Ameer Barbaros kemudian dipercaya
sebagai komandan batalyon pasukan Mujahidin yang dikelompokkan
tersendiri sebagai sebuah detasemen khusus pada tanggal 13 Agustus 1993
dengan nama Kateebat al-Mujahideen (Batalyon Mujahidin) atau orang-orang Bosnia menyebutnya “El-Mudzahidin”. Batalyon pasukan khusus ini tergabung dan berada di bawah komando langsung AD Bosnia (Bosnian Armed Forces) dengan nama Batalyon Ke-7 Tentara Bosnia (SEDMI KORPUS, ARMIJA REPUBLIKE BH).
Tentara Mujahidin Bosnia dalam sebuah parade kemenangan di kota Zenica tahun 1995.
Sebagai
pasukan yang sebagian besar anggotanya terdiri dari para veteran Perang
Afghanistan, personil anggota Batalyon Ke-7 rata-rata sangat terlatih
dalam menggunakan berbagai macam jenis senjata otomatis, terutama buatan
Rusia, seperti granat berpeluncur roket (rocket-propelled grenades)
RPG dan sejumlah jenis mortir. Batalyon Mujahidin di medan pertempuran
Bosnia ini merupakan batalyon pasukan infantri yang memiliki mobilitas
yang sangat tinggi. Batalyon ini bertindak sebagai unit pasukan pemukul
atau pendobrak yang ditempatkan sebagai ujung tombak ofensif militer
Bosnia, terutama oleh Korps Ke-3 pimpinan Enver Hadzihasanovic. Para
sukarelawan Islam yang tergabung dalam batalyon ini memainkan peranan
kunci dalam setiap operasi militer kaum muslim Bosnia dalam merebut
kembali wilayah-wilayah mereka yang semula diduduki oleh pihak Serbia
dan Kroasia. Mereka bahkan merupakan pemain utama dalam merebut kembali
kota Santici pada tahun 1994.
Seorang reporter Newsweek
yang pernah mengunjungi markas para pejuang Islam ini mendapat banyak
informasi positif dari warga Bosnia perihal keberadaan mereka. “Mereka
adalah para pejuang yang sangat hebat,” ujar Osman Sekic, seorang tukang
kayu berumur 46 tahun asal Visenjevo. “Mereka sama sekali tidak takut
mati.” Tentara lokal Bosnia yang pernah ikut bertempur bersama para
Mujahidin ini sangat terkesan dengan keberanian mereka, juga dengan
kemampuan mereka dalam menebarkan teror ke dalam hati tentara-tentara
Serbia yang akan langsung gemetar ketakutan begitu mendengar teriakan “Allahu Akbar!”
di medan pertempuran. “Mereka datang kemari untuk mencari syahid,” ujar
Elis Bektas, seorang komandan peleton Tentara Bosnia berumur 22 tahun.
“Demi meraihnya, mereka tidak pernah mundur sejengkal pun.”
“Kesaktian”
para Mujahidin juga tergambar dari komentar seorang pejuang Bosnia
bernama Ridzik Safet, “Tentara Islam itu memang hebat,” ujar Safet
sambil mengacungkan jempolnya. “Jika semua pejuang Bosnia bertempur
seperti mereka, perang ini akan berakhir hanya dalam waktu 20 hari.”
Lebih lanjut menurut keterangan Safet, “Tentara Islam itu sangat mobil,
menggunakan taktik perang gerilya. Mereka tak cuma bertempur, tapi juga
membantu pengungsian. Berapa jumlah mereka? Saya tak tahu persis. Dalam
unit pasukan saya saja ada sekitar 180 tentara Islam. Mereka dari Sudan,
Saudi, Turki, Kuwait, dan Yordania.”
Para
Mujahidin yang dikirim ke medan pertempuran sebagian besar adalah
mereka yang memang sudah kenyang makan asam garam medan perang
Afghanistan. Namun yang belum punya pengalaman tempur, akan dilatih
lebih dulu di sejumlah kamp pelatihan, salah satunya adalah yang
didirikan oleh Sheikh Abu Abdul Aziz yang memiliki markas besar dan kamp
pelatihan militer di Mehurici, sebuah desa kecil di luar Travnik,
wilayah tengah Bosnia. Keberadaan Sheikh Abu Abdul Aziz di desa kecil
ini merupakan berkah dan kebanggan tersendiri bagi para warganya. Tidak
ada seorang Serbia atau Kroasia pun yang berani menyerang desa ini.
Sebagai komandan Mujahidin, ketika Sheikh Abu Abdul Aziz masuk ke desa
ini, seluruh warga desa akan keluar dari rumah mereka untuk menyambut
kedatangannya. Tidak peduli anak-anak, tua-muda, semuanya turun ke
jalan. Bahkan mereka datang dari sejumlah desa tetangga. Dengan
senyuman, mereka bersorak sorai, mengelu-elukan Sheikh Abu Abdul Aziz.
Para
Mujahidin kemudian secara aktif mulai merekrut para pemuda lokal Bosnia
untuk mengikuti pelatihan militer, mendapatkan seragam dan
persenjataan. Kamp pelatihan juga tidak hanya didirikan di Poljanice,
dekat Mehurici, tetapi juga di kota Zenica dan desa Orasac. Sehingga
Batalyon Mujahidin ini akhirnya tak hanya berisi orang-orang Arab atau
dari etnis non-Bosnia, tetapi juga dari etnis Bosnia sendiri. Dalam
kehidupan sosial, mereka juga mulai membaur dengan warga etnis Bosnia.
Menikahi para wanita Bosnia, terutama para korban pemerkosaan, sebagai
salah satu bentuk tanggung jawab moril mereka terhadap saudara sesama
muslim.
Selain
memberikan pelatihan dan pendidikan militer, para Mujahidin juga
mengajarkan agama Islam kepada warga masyarakat Bosnia yang sempat lupa
akan agamanya. Menurut keterangan Sheikh Abu Abdul Aziz dalam sebuah
wawancara dengan Al-Sirat Al-Mustaqeen, warga muslim Bosnia
menjadikan musibah tragedi kemanusiaan yang menimpa mereka sebagai
hikmah pelajaran, dan menganggap kehadiran kaum Mujahidin sebagai berkah
tersendiri:
“Jika
tidak karena semua ini, kami mungkin tidak akan pernah mengenal Allah.
Kami juga mungkin tidak pernah pergi ke masjid. Kaum laki-laki, wanita,
dan anak-anak kami mungkin akan kehilangan moral dan perilaku Islami
dalam penampilan mereka, sehingga tidak dapat lagi dibedakan antara
seorang Muslim dengan Kristen. Selama ini muslimah Bosnia berpakaian
yang menampakkan auratnya, tapi kini, alhamdulillah, masjid-masjid di
Bosnia selalu penuh, para wanitanya memakai jilbab, dan mereka bangga
mengenakannya.”
Semua
itu secara tidak langsung berkat kehadiran kaum Mujahidin di
tengah-tengah mereka. Secara umum, komitmen untuk kembali ke jalan Allah
mulai marak terjadi di Bosnia setelah pecahnya perang. Padahal
sebelumnya, masyarakat Bosnia mengenal Islam hanya sekedar namanya saja,
dimana Al-Qur’an dan pengajian dilarang oleh pemerintah komunis
Yugoslavia sejak rezim Tito.
Di
medan pertempuran, dengan pertolongan Allah melalui tangan pasukan
Mujahidin yang didukung oleh seluruh kaum muslimin Bosnia, keadaan pun
mulai berbalik 180 derajat. Tentara Serbia dan Kroasia yang semula ganas
dan brutal terhadap warga sipil Bosnia mulai lari terbirit-birit
ketakutan menghadapi serangan kaum Mujahidin. Kepada tentara muslim
Bosnia, kaum Mujahidin berbagi taktik dan strategi tempur untuk
mengalahkan pasukan musuh yang jauh lebih kuat dan lengkap
persenjataannya. Tentara Muslim Bosnia pun mulai percaya diri, bersama
kaum Mujahidin, mereka tidak lagi bertahan tapi mulai secara agresif
melancarkan ofensif, dan dengan kegigihan dalam bertempur, mereka pun
berhasil merebut kembali satu-persatu wilayah strategis yang semula
dikuasai musuh.
Dengan
kemampuan dan pengalaman tempur di medan perang Afghanistan yang
terkenal berat, para Mujahidin mampu menjadikan pasukan Serbia sebagai
ajang bulan-bulanan mereka. Harian Novi Vjesnik, melaporkan
bagaimana para Mujahidin itu bertempur dengan memakai “taktik Mongol,
yang tak bisa diduga datangnya, tiba-tiba menyerang di malam gulita.”
Gran Visnar, wartawan harian tersebut, melaporkan dari Bosnia. “Mereka
tak kenal ampun, dan tahan berjalan kaki 50 kilometer dalam 10-12 jam
sehari,” tulisnya. Menurut laporannya pula, para Mujahidin tersebut
tidak bertempur dalam jumlah pasukan yang besar. Melainkan berkelompok,
paling banyak hanya sekitar 30 orang. Dalam satu kelompok terdiri dari
berbagai bangsa, seperti Turki, Afghanistan, Iran, Pakistan, dan
lain-lain. Grup-grup tempur ini beroperasi tak ubahnya bak unit pasukan
khusus.
Salah
satu operasi militer pasukan Mujahidin Bosnia yang paling sukses adalah
ketika mereka melancarkan serangan mendadak terhadap kota Krčevine pada
tanggal 21 Juli 1995 yang dikenal dengan nama sandi Operation Miracle. Serangan yang dipimpin oleh Abu Mu'adh al-Kuwaiti ini bertujuan untuk merebut kembali kota Krčevine, Malovan, dan Malije Gaj. Operation Miracle
dilancarkan pada sore hari sekitar pukul 15.30 dan berhasil menewaskan
sedikitnya 22 personil tentara Serbia (VRS) dan menawan 14 orang
lainnya. Meskipun tidak turut langsung dalam operasi penyerbuan ke dalam
kota, namun Abu Mu'adh al-Kuwaiti yang merupakan veteran perang
Afghanistan, syahid tertembak saat tengah mengobservasi jalannya operasi
penyerbuan dari atas bukit.
Salah
seorang komandan Mujahidin lainnya, yaitu Abu Omar al-Harbi dari
Madinah juga syahid saat memimpin timnya yang terdiri dari enam orang
Mujahidin untuk merebut 3 bunker Serbia. Bunker pertama berada tepat di
depan medan terbuka sehingga menyulitkan pasukan Mujahidin untuk
menembakkan granat peluncur roket (RPG) saat tentara-tentara Serbia yang
ada di dalamnya mulai melepaskan tembakan gencar. Tapi al-Harbi dengan
penuh keberanian memutuskan untuk berlari menerobos medan terbuka menuju
ke arah bunker tersebut, dan menembak mati 2 tentara Serbia yang berada
di dalamnya. Anggota timnya yang lain berusaha memperingatkannya bahwa
al-Harbi bisa memasuki medan ranjau, tapi jawaban al-Harbi hanya
teriakan “Allahu Akbar!” dan terus maju. Ia kembali berhasil
menewaskan seorang tentara Serbia dari jarak sekitar 2 meter saja dari
mulut bunker sebelum akhirnya syahid oleh sebuah tembakan musuh yang
mengenai tepat di keningnya.
Dalam
operasi militer tersebut, pasukan Mujahidin Bosnia juga berhasil
merebut sebuah tank Serbia. Namun tentara Bosnia tidak dapat
mengoperasikannya, sehingga mereka memberitahukan lewat radio kepada
al-Battar al-Yemeni, seorang Mujahidin asal Yaman yang pernah menjadi
komandan pasukan tank Angkatan Darat Yaman. Mendengar kabar tersebut,
al-Battar al-Yemeni yang tengah berada di garis belakang karena
tangannya terluka, segera kembali ke medan pertempuran. Tentara-tentara
Serbia pun berupaya keras untuk menghancurkan tank yang berhasil direbut
pihak Mujahidin, dan saat al-Yemeni sampai, ia bersama seorang
Mujahidin yang tak dikenal segera berlari menuju ke arah tank tersebut,
namun sayangnya ia berhasil dipukul mundur dan akhirnya syahid oleh
ledakan sebuah peluru mortir ketika tengah berupaya mengevakuasi seorang
pejuang yang terluka dari dalam sebuah banker yang berhasil direbut.
Meskipun
sejumlah besar Mujahidin syahid, namun operasi militer tersebut
berlangsung sukses. Unit-unit tentara Serbia yang berlindung di dalam
parit-parit pertahanan, keluar dan berlarian ke dalam hutan untuk
menghindari serangan pasukan Mujahidin. Sebagian yang lainnya terpaksa
menyerah setelah dikepung dan dikurung. Dengan hadiah bogem mentah dan
tendangan, Tentara Bosnia dan para Mujahidin segera meringkus dan
menggiring tentara-tentara Serbia itu untuk berbaris menuju ke desa
Livade. Sesampainya di desa Livade mereka pun diidentifikasi dan
diinterogasi untuk mengetahui siapa-siapa saja unit-unit tentara Serbia
(VRS) yang terlibat dan bertanggung jawab dalam penghancuran masjid di
Prijedor, Banja Luka, dan Bosanska Krupa, juga siapa saja yang telah
memperkosa wanita muslim Bosnia.
Selain
bertempur, para Mujahidin juga memang menegakkan hukum, dimana
konsekuensi atas kebiadaban dan kebrutalan tentara Serbia di awal perang
harus dibayar. Tidak hanya dalam Operation Miracle, setiap
keberhasilan operasi ofensif merebut dan menguasai kembali kota-kota dan
desa-desa kaum muslim Bosnia, unit-unit tempur pasukan Mujahidin
bersama dengan warga muslim Bosnia secara aktif mengidentifikasi para
tawanan yang terdiri dari para tentara atau warga sipil Serbia (milisi
bersenjata) yang terlibat dalam kegiatan pembantaian dan pemerkosaan
masal wanita muslim Bosnia. Mereka yang teridentifikasi akan segera
diproses secara hukum Islam (qishas). Para tawanan Serbia yang
diketahui terlibat dalam kegiatan pembantaian dan pemerkosaan masal
kemudian segera dipisahkan dari tawanan yang lain, disuruh berbaris, dan
dipenggal kepalanya satu-persatu tanpa ampun.
Menyaksikan
kemajuan Tentara Muslim Bosnia bersama para Mujahidin yang demikian
pesat, tidak hanya pihak Serbia dan Kroasia yang khawatir, tetapi juga
Uni Eropa dan PBB pun merasa cemas, karena kebangkitan sebuah negara
Islam yang disponsori oleh kaum Islam radikal (kaum Mujahidin) di benua
Eropa merupakan ancaman serius tersendiri bagi mereka. Melawan atau
memerangi kaum Mujahidin jelas merupakan upaya yang tidak efektif karena
akan sangat menguras tenaga dan memakan waktu yang berkepanjangan.
Akhirnya PBB dan NATO yang semula tidak begitu peduli dengan krisis yang
terjadi di Bosnia segera turun tangan. NATO mulai berpura-pura menekan
Serbia dengan melakukan serangan udara untuk menghentikan pertikaian,
sekaligus berupaya meraih simpati kaum muslim Bosnia dan mengklaim
kemenangan kaum Mujahidin, padahal tak jarang serangan udara NATO
tersebut justru malah membuka koridor bagi pasukan Serbia agar bisa
selamat dari serangan kaum Mujahidin. Sementara PBB dan Uni Eropa mulai
memprakarsai perundingan damai untuk membantu Serbia sebelum kaum
Mujahidin menguasai lebih banyak lagi wilayah Bosnia yang masih dikuasai
oleh Serbia.
Ketika
kaum muslim Bosnia telah berhasil menguasai kembali 51% wilayahnya, PBB
dan negara-negara barat mulai gencar memberikan tekanan-tekanan politik
dan ekonomi kepada pemerintah Bosnia. Mengingat embargo PBB dan krisis
ekonomi yang begitu mencekik rakyat Bosnia, akhirnya membuat pemerintah
Bosnia bersedia menerima dan menandatangani Perjanjian Dayton di Paris
pada bulan Desember 1995 untuk mengakhiri peperangan. Namun buntut dari
perjanjian damai tersebut sangat tidak menguntungkan bagi kaum muslimin.
Wilayah Bosnia dipecah menjadi dua negara bagian, yaitu Federasi Bosnia
(berisikan warga etnis Bosnia dan Kroasia) dengan luas wilayah 51%, dan
Republik Serbska (berisikan warga etnis Serbia atau Serbia-Bosnia)
dengan luas wilayah 49%. Selain itu, untuk menekan dan menghilangkan
pengaruh Islam radikal di Eropa, PBB dan Uni Eropa meminta kepada
pemerintah Bosnia untuk mengkhianati persaudaraan mereka dengan kaum
Mujahidin dengan mendeportasi atau mengekstradisi para Mujahidin ke
negara asalnya masing-masing. Sebagian kemudian bahkan dikenai tuduhan
telah melakukan kejahatan perang karena telah menghukum pancung tentara
dan warga sipil Serbia yang ditawan.
Mengetahui
hal tersebut, para Mujahidin pun menolak adanya gencatan senjata
ataupun perjanjian damai, baik dengan Serbia maupun Kroasia. Mereka
mulai menyerang pasukan NATO dan PBB yang hendak mengambil alih keadaan.
Usai Perjanjian Damai Dayton yang disponsori oleh Amerika yang
sekaligus menandai berakhirnya Perang Bosnia, memang mulai berdatangan
pasukan NATO dan PBB dengan dalih untuk menjaga perdamaian dan keamanan
di wilayah Balkan. Karena tidak adanya lagi dukungan dari pemerintah
Bosnia, perlawanan kaum Mujahidin pun meredup. Pasukan NATO kemudian
memaksa para Mujahidin untuk enyah dari wilayah Bosnia, dan sebagian
ditangkap atau diekstradisi ke negara asalnya sebagai penjahat perang.
NATO benar-benar ingin membersihkan pengaruh Islam radikal dari wilayah
Eropa. Termasuk mereka yang diekstradisi ke negaranya adalah Sheikh Abu
Abdul Aziz, komandan pasukan Mujahidin yang telah begitu sangat berjasa
bagi kaum muslim Bosnia. Informasi terakhir menyebutkan bahwa Sheikh Abu
Abdul Aziz telah mendekam di sebuah penjara di Arab Saudi, dan sejak
itu tidak diketahui lagi dimana dan bagaimana kondisi keadaan beliau
yang sebenarnya.
Itulah
akhir dari perjuangan kaum Mujahidin di Bosnia. Meskipun berakhir
tragis dan ironis, namun perjuangan mereka memberikan hikmah pelajaran
tersendiri bagi kita semua sebagai umat Islam, untuk lebih mewaspadai
dan menyadari siapa kawan dan lawan kita yang sebenarnya. Dunia
internasional tampaknya ingin menghapus jejak sejarah perjuangan mereka
yang begitu besar bagi kemanusiaan, dan kaum muslimin di seluruh dunia
pun banyak yang telah melupakan jasa-jasa besar mereka, namun apa yang
mereka lakukan akan selalu dikenang dan tercatat dengan tinta emas oleh
orang-orang yang mengetahui dan mengenal siapa mereka yang sebenarnya.
(***)
Daftar Pustaka
Hamdi, Abu. 2006. Mereka yang Dipilih Allah: Biografi dan Karomah Syuhada Jihad Bosnia. http://www.abuhamdi.wordpress.com
No comments:
Post a Comment