“Berkata
Sulaiman: “Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang
sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku
sebagai orang-orang yang berserah diri.” Berkata ‘Ifrit (yang cerdik)
dari golongan jin: “Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana
itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku
benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya.” Berkatalah
seorang yang mempunyai ilmu dari al-Kitab: “Aku akan membawa singgasana
itu kepadamu sebelum matamu berkedip.” Maka tatkala Sulaiman melihat
singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata: “Ini termasuk
kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari
(akan ni’mat-Nya).” (QS. An Naml (27): 38-40)
Bagi
para pemikir Islam modern, apa yang telah dikisahkan dalam Al-Qur’an
surat An Naml ayat 38 – 40 tersebut di atas, adalah merupakan suatu
petunjuk nyata akan kecanggihan teknologi yang telah dimiliki oleh Nabi
Sulaiman a.s. dan umatnya, dimana dengan menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi tingkat tinggi, umat Nabi Sulaiman mampu menciptakan teknologi
teleportasi, yaitu teknologi memindahkan suatu obyek dari jarak jauh
hanya dalam waktu sekejap, yang mampu mengalahkan atau mengungguli
kemampuan bangsa jin yang hanya mengandalkan pada kekuatan dan kecepatan
fisiknya saja.
Teknologi
teleportasi ini mungkin masih sulit untuk dipahami oleh sebagian besar
umat Islam, terutama bagi mereka yang masih berpikiran awam. Bahkan pada
zaman modern sekarang ini, teknologi teleportasi tersebut pun belum
ditemukan, dan oleh sebagian orang, teknologi ini masih dianggap sebagai
khayalan dunia sains fiksi belaka, sehingga sulit dipercaya apabila
pada zaman dulu, di zaman Nabi Sulaiman yang hidup kurang lebih 3.000
tahun yang lalu, teknologi ini telah berhasil dicapai dan dipergunakan
secara sempurna.
Namun
begitu, sebagian besar umat Islam ternyata masih banyak yang belum
menyadari akan kebenaran dari fakta ini, dan sebagian lainnya, terutama
mereka yang beraliran konservatif, masih saja menganggap dan
berkeyakinan bahwa peristiwa ini terjadi secara ghaib bin ajaib,
sehingga mereka tidak kepikiran untuk menggali lebih lanjut isyarat ilmu
pengetahuan dan teknologi tingkat tinggi yang tersirat dalam ayat-ayat
tersebut di atas.
Seperti
yang terdapat dalam tafsir Ibnu Katsir yang menjelaskan bahwa proses
pemindahan singgasana Ratu Bilqis tersebut terjadi berkat doa salah
seorang pengikut Nabi Sulaiman. Menurut hadist
riwayat Ibnu ‘Abbas, orang ini bernama Ashaf bin Barkhiya. Ia adalah
sahabat sekaligus sekretaris pribadi Nabi Sulaiman yang sangat
terpercaya dan menguasai ilmu pengetahuan yang bersumber dari al-Kitab.
Dikatakan di dalam tafsir tersebut, sama sekali tidak ada tindakan
apa-apa dari pengikut Nabi Sulaiman bernama Ashaf tersebut, selain
berwudhu lalu berdoa kepada Allah, dan kemudian secara ghaib dan
tiba-tiba Allah pun mengabulkannya dan memindahkan singgasana Ratu
Bilqis tersebut dalam waktu sekejap mata. Ini adalah penafsiran yang
sangat ganjil dan mengandung sejumlah kejanggalan jika tidak dapat
dibilang keliru dan menyesatkan. Penulis sendiri melihat penafsiran ini
begitu sarat dengan muatan tipu daya dan kebohongan khas kaum Yahudi
yang menginginkan agar umat Islam tidak mengetahui kejadian yang
sebenarnya, dan ini yang mungkin sama sekali tidak disadari oleh Ibnu
Katsir di dalam kitab tafsirnya.
Secara
logika saja penafsiran ini sudah dapat dibantah dengan telak. Sekarang
coba mari kita berpikir, berapa lama waktu yang dibutuhkan antara
seorang bernama Ashaf ini mulai berdoa hingga dikabulkan oleh Allah? Apakah
bisa ia melakukannya dalam waktu kurang dari sekedipan mata?
Jangan-jangan belum lagi Ashaf ini mulai berdoa, jin ’Ifrit sudah
membawa singgasana Ratu Bilqis di hadapan Nabi Sulaiman. Dalam
penafsiran tersebut, terkesan bahwa Allah SWT telah diposisikan sama
seperti jin botol yang selalu siap untuk mengabulkan dan memenuhi apa
pun yang diminta oleh manusia. Selain itu, kejanggalan lainnya dalam
penafsiran ini adalah:
Pertama,
jika yang dikerjakan oleh seorang bernama Ashaf ini hanya berdoa
memohon kepada Allah, apakah pantas ia berkata atau memberi jaminan
kepada Nabi Sulaiman bahwa; ia akan membawa singgasana itu kepada Nabi Sulaiman sebelum mata Nabi Sulaiman berkedip?
Seolah ia dengan begitu yakinnya telah mengetahui bahwa Allah SWT akan
mengabulkan doanya persis seperti apa yang ia janjikan atau jaminkan
kepada Nabi Sulaiman. Ini tidak masuk akal, mengingat Nabi Muhammad SAW
saja tidak pernah sepercaya diri itu dalam menjanjikan sesuatu kepada
orang lain, terlebih bila hal tersebut sepenuhnya sangat tergantung
kepada kehendak dan kekuasaan Allah SWT.
Kedua,
jika memang benar upaya yang dilakukan oleh orang bernama Ashaf ini
hanya berdoa memohon kepada Allah untuk memindahkan singgasana Ratu
Bilqis dalam waktu sekejap mata, siapakah sebenarnya yang lebih dekat
dan lebih mulia di sisi Allah di antara mereka? Bukankah yang paling
mulia dan paling dekat dengan Allah SWT di antara mereka tentunya adalah
Nabi Sulaiman sendiri? Jika upaya yang dilakukan hanya sekedar berdoa
saja, tentunya Nabi Sulaiman bisa melakukannya sendiri, karena justru
beliaulah orang yang paling berhak untuk melakukannya dan paling makbul
doanya untuk didengar dan dikabulkan oleh Allah. Lalu mengapa Nabi
Sulaiman harus menggantungkannya kepada orang lain? Sekali lagi,
penafsiran ini tidaklah masuk akal.
Dalam
kajian ini, bukannya penulis tidak mempercayai sesuatu yang bersifat
ghaib atau supranatural, seperti mukjizat atau keajaiban, terlebih
apabila hal tersebut berasal dari Allah. Juga bukan pula karena mau sok
ilmiah, namun perlu untuk kita cermati bahwa peristiwa pemindahan
singgasana Ratu Bilqis dalam waktu sekejap mata tersebut bukanlah suatu
peristiwa yang sederhana yang bisa dijelaskan begitu saja secara
dangkal, dimana dengan doa semuanya selesai atau semuanya beres. Lalu
untuk apa orang bernama Ashaf ini dikatakan dalam Al-Qur’an mempunyai
ilmu dari al-Kitab kalau yang dilakukannya hanya sekedar berwudhu dan
berdoa dimana semua orang bisa melakukannya?
Fakta
yang telah disyaratkan Al-Qur’an adalah ’Ifrit dari golongan jin mampu
memindahkan singgasana itu karena mengandalkan kekuatannya, sementara
manusia yang jauh lebih lemah ternyata mampu memindahkannya dengan cara
yang jauh lebih cepat lagi, yaitu hanya dalam waktu sekejap mata. Dengan
cara apakah manusia atau seorang bernama Ashaf ini mampu
memindahkannya? Jawabannya tentu saja dengan ilmu pengetahuan yang
dimilikinya karena bukankah telah diisyaratkan di dalam Al-Qur’an bahwa
kemampuan Ashaf ini diperoleh karena ia memiliki ilmu dari al-Kitab.
Menurut sebagian penafsir, bahwa al-Kitab yang dimaksud adalah kitab
Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa dan kitab Zabur yang diturunkan
kepada Nabi Daud. Namun penulis menduga bahwa yang dimaksud al-Kitab
tersebut adalah manuskrip ilmu pengetahuan yang diwariskan oleh kedua
nabi tersebut. Mengingat Nabi Musa sendiri diketahui adalah orang yang
paling cerdas dan berilmu di zamannya. Selama tinggal di istana Fir’aun,
dari kecil hingga dewasa, Nabi Musa banyak mempelajari
manuskrip-manuskrip kuno milik bangsa Mesir kuno yang berisi catatan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tingkat tinggi yang telah
berhasil dicapai oleh umat manusia di masa lampau, seperti mungkin
teknologi pembangunan piramid dan juga teknologi kelistrikan yang konon
kabarnya telah berhasil dicapai oleh bangsa Mesir kuno. Begitu pula
dengan Nabi Daud. Ia juga adalah seorang yang sangat cerdas dan mengusai
ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi, terutama dalam bidang metalurgi
atau pengolahan logam.
Kita
memang tidak tahu dengan pasti al-Kitab macam apakah yang dikuasai oleh
pengikut Nabi Sulaiman bernama Ashaf bin Barkhiya ini, yang jelas
Al-Qur’an telah mengisyaratkan bahwa kelebihan orang ini dibandingkan
yang lainnya adalah ia menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang
telah dapat langsung diaplikasikan atau dibuktikan, dimana sebelum Ashaf
menjanjikan kepada Nabi Sulaiman, tentunya ia telah menguji coba atau
melakukan serangkaian eksperimen terlebih dahulu dan berlangsung sukses,
sehingga dengan yakinnya ia kemudian bisa menjanjikan kepada Nabi
Sulaiman, pemindahan singgasana Ratu Bilqis tersebut dapat berlangsung
hanya dalam waktu sekejap mata. Peristiwa pemindahan singgasana dengan
teknologi yang sangat fantastis ini membuktikan bahwa peradaban bangsa
Bani Israel di zaman Nabi Sulaiman telah demikian sangat maju dan
canggihnya, sekaligus bukti bahwa Allah melebihkan derajat orang-orang
yang mengusai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Mengapa
penulis cenderung lebih beranggapan bahwa peristiwa pemindahan
singgasana Ratu Bilqis dalam waktu sekejap mata adalah masalah ilmu
pengetahuan dan teknologi? Karena secara konsep ilmu fisika, pemindahan
materi dari jarak jauh dalam waktu sekejap adalah sesuatu yang sangat
mungkin terjadi. Hal tersebut adalah sesuatu yang masuk akal dan memang
bisa direalisasikan jika kita memang benar-benar mengetahui dan
menguasai ilmunya atau rahasianya. Sejumlah penelitian dan eksperimen ke
arah sana telah mulai dilakukan oleh para ilmuwan di sejumlah negara
maju, dan mereka telah memperoleh sedikit kemajuan, meskipun kemajuan
tersebut baru dalam tahap awal yang masih sangat mendasar sifatnya.
Pada
prinsipnya, teleportasi sendiri adalah mentransfer materi dari satu
titik ke titik lainnya. Selama ini istilah teleportasi hanya dikenal
dalam cerita sains fiksi, sementara dalam ilmu fisika kemungkinan itu
masih dalam sebatas teori. Ide umum dari teleportasi ini adalah obyek
yang akan dipindahkan lebih dulu di-scanning
untuk mengekstrak seluruh informasi atom-atom penyusunnya sebelum
dilakukan proses dematerialisasi atau penguraian, dan kemudian informasi
detil dari konfigurasi atom yang telah diekstrak ini ditransmisikan
atau dikirimkan ke lokasi yang berbeda dalam bentuk gelombang untuk
direkonstruksi kembali. Dengan cara seperti ini, maka jarak dan waktu
tidak lagi mempengaruhi perjalanan atau perpindahan obyek tersebut, atau
dengan kata lain proses ini tidak membutuhkan waktu tempuh dan tidak
dipengaruhi oleh berapa pun jauhnya jarak antara kedua tempat tersebut.
Karena pada saat proses dematerialisasi terjadi di suatu titik, maka
secara bersamaan di titik tujuannya tengah terjadi proses rekonstruksi
kembali. Jadi proses dematerialisasi dan rekonstruksi itu terjadi secara
bersamaan. Tapi saat disusun kembali, materi yang digunakan mungkin
bukan berasal dari yang aslinya, melainkan replikanya yang berasal dari
atom-atom yang memiliki sifat serupa, yang secara sama persis menyusun
kembali sesuai dengan bentuk aslinya.
Sebelumnya,
para ilmuwan fisika masih menganggap teleportasi adalah suatu hal yang
mustahil, namun pada tahun 1993, ide teleportasi mulai berpindah dari
dunia sains fiksi ke dalam dunia fisika teoritis dan eksperimen. Pada
tahun itu, seorang ahli fisika bernama Charles H. Bennet bersama sebuah
tim peneliti yang berasal dari IBM, mengkonfirmasikan bahwa quantum teleportation
secara prinsip dapat dilakukan, tapi dengan konsekuensi hanya jika
obyek aslinya yang akan diteleportasikan musnah. Pernyataan ini pertama
kali diungkapkan oleh Bennet dalam sebuah pertemuan di American Physical Society pada bulan Maret 1993, yang lalu diikuti oleh sebuah laporan hasil eksperimen pada tanggal 29 Maret 1993 dalam Physical Review Letters,
yang membuktikan eksperimen teleportasi terhadap photon berhasil
dilakukan. Sejak saat itu, sejumlah eksperimen dengan menggunakan photon
pun makin membuktikan bahwa quantum teleportation adalah sebuah fakta yang mungkin terjadi.
Di
tahun 1998, sekelompok fisikawan dari California Institute of
Technology (Caltech), bersama dua kelompok ilmuwan Eropa, mencoba
kembali mewujudkan ide pihak IBM dengan kembali sukses menteleportasikan
sebuah photon (photon adalah sebuah partikel energi cahaya). Para
ilmuwan Caltech ini berhasil membaca struktur “atomik” dari sebuah
photon, lalu mengirimkan informasi tersebut melintasi kabel koaksial
sepanjang 1 meter dan membuat replika dari photon tersebut di tempat
yang baru. Seperti yang diprediksi, photon aslinya lenyap tepat pada
saat replikanya dibuat. Dengan kata lain, teleportasi adalah sebuah
paket analisis struktur atom dari sebuah obyek yang akan dipindahkan
dari ruang transporter awal ke lokasi lain atau ke ruang transporter
lain, dimana replikanya akan disusun kembali. Pada saat mesin
teleportasi menyusun kembali kopian atau replika obyek aslinya di tempat
yang baru, maka pada saat yang sama mesin tersebut juga akan melakukan scanning terhadap obyek aslinya sambil mengurai dan memusnahkannya.
Eksperimen
teleportasi berikutnya terjadi di tahun 2002, ketika para peneliti di
Australian National University berhasil menteleportasikan seberkas sinar
laser. Tetapi eksperimen teleportasi terbaru yang paling sukses terjadi
pada tanggal 4 Oktober 2006 di Niels Bohr Institute, Copenhagen,
Denmark. Dr. Eugene Polzik dan timnya telah berhasil menteleportasikan
paket informasi dalam seberkas sinar laser ke dalam sebuah awan atom.
Menurut Polzik, eksperimen ini adalah satu langkah maju karena untuk
pertama kalinya eksperimen teleportasi melibatkan antara cahaya dan
materi, dua obyek yang berbeda. Satu membawa informasi dan satunya lagi
sebagai medium perantara. Informasi ini berhasil diteleportasikan sejauh
sekitar setengah meter.
Apa
yang telah dicapai oleh para ilmuwan tersebut memang masih sangat jauh
dari pengembangan teknologi teleportasi yang telah berhasil dicapai oleh
umat Nabi Sulaiman sekitar 3.000 tahun yang lalu. Namun setidaknya,
eksperimen-eksperimen tersebut menunjukkan kepada kita bahwa peristiwa
teleportasi adalah suatu hal yang sangat mungkin terjadi dari segi
ilmiah dan bukan hanya merupakan khayalan belaka. Eksperimen-eksperimen
tersebut juga secara tidak langsung merupakan langkah awal untuk
membuktikan kebenaran ilmiah Al-Qur’an dan untuk menyadarkan kita agar
membuang jauh-jauh penafsiran yang cenderung bersifat tahayul atau
khurafat yang hanya membuat pemahaman dan pemikiran umat Islam menjadi
dangkal sehingga “tumpul” dan tidak lagi peka dalam membaca
isyarat-isyarat ilmu pengetahuan dan teknologi tingkat tinggi yang
terkandung dalam Al-Qur’an.
Saat
ini memang eksperimen-eksperimen teleportasi baru bisa dilakukan atau
diujicobakan terhadap photon, dan belum bisa dilakukan terhadap materi
atau obyek yang lebih tinggi atau lebih komplek tingkatannya dari
photon, sehingga kemampuan untuk memindahkan suatu obyek dari satu
tempat ke tampat yang lain dengan cara teleportasi belum bisa dilakukan.
Sebabnya adalah karena para ilmuwan masih belum mampu atau belum
mengetahui cara untuk mengidentifikasi secara tepat posisi atom-atom
yang menyusun suatu obyek pada saat berlangsungnya proses scanning.
Padahal mengetahui secara tepat posisi atom-atom penyusun suatu obyek
adalah syarat utama dalam proses scanning agar tidak terjadi kesalahan penempatan dalam penyusunan atau proses rekonstruksi kembali di tempat tujuan.
Pemetaan posisi atom-atom secara tepat memang belum bisa dilakukan karena bertentangan dengan Hukum Ketidakpastian Heisenberg (Heisenberg Uncertainty Principle) dalam mekanika quantum, yang menghalangi segala bentuk pengukuran atau proses scanning
terhadap semua informasi yang diekstraksi dari sebuah atom atau obyek.
Berdasarkan prinsip-prinsip yang diformulasikan pada tahun 1927 oleh
fisikawan Jerman bernama Werner Heisenberg tersebut adalah tidak mungkin
untuk menetapkan secara bersamaan posisi dan momentum sebuah partikel,
seperti sebuah elektron misalnya, secara persis. Sehingga semakin akurat
penentuan sebuah partikel maka akan semakin menghasilkan suatu
ketidakpersisan dalam pengukurannya. Jadi makin akurat sebuah obyek di-scanning,
semakin ia “terganggu” oleh proses scanning tersebut. Jadi makin kita
ingin mengetahui secara persis posisi yang sebenarnya dari lokasi sebuah
atom, maka semakin “terganggu” dan tidak pasti dimana atom tersebut
berada, sehingga akhirnya kita tidak dapat mengekstrak cukup informasi
penyusun dari suatu obyek untuk dibuat replikanya. Berdasarkan prinsip
tersebut maka untuk membuat replika yang sama persis dari suatu obyek
yang pertikel terkecilnya telah diuraikan tak akan pernah bisa disusun
kembali.
Namun
begitu, kita harus optimis bahwa suatu saat nanti kendala teknologi
tersebut dapat ditemukan solusinya, sehingga teknologi teleportasi akan
dapat dicapai dan diwujudkan oleh umat manusia, terlebih bila pencapaian
itu berhasil dilakukan oleh umat Islam sendiri. Teknologi teleportasi
bukanlah khayalan atau suatu hal yang mustahil bagi manusia karena
teknologi tersebut telah jelas-jelas diisyaratkan dalam kitab suci
Al-Qur’an lewat peristiwa pemindahan singgasana Ratu Bilqis di zaman
Nabi Sulaiman yang dilakukan oleh seorang manusia yang mempunyai ilmu
dari al-Kitab alias menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini
secara tidak langsung menunjukkan bahwa teknologi teleportasi
sesungguhnya dapat dicapai dan dikuasai oleh umat manusia, dimana
teknologi ini jauh lebih baik dari kemampuan yang dimiliki oleh bangsa
jin. Pencapaian teknologi teleportasi juga merupakan salah satu bukti
keunggulan manusia yang berilmu dibandingkan dengan bangsa jin, meskipun
itu dari golongan jin yang paling cerdik sekalipun.
Misteri Eksperimen Philadelphia
Kisah
Eksperimen Philadelphia sebenarnya masuk ke dalam ranah topik teori
konspirasi. Subyek ini telah lama menjadi kontroversi dan bahan
perdebatan. Fakta sebenarnya di balik eksperimen ini memang tidak pernah
diketahui publik. Banyak informasi aneh yang beredar sehubungan dengan
eksperimen misterius ini. Sebagian orang ada yang menganggap kisah
eksperimen ini adalah hoax alias kebohongan atau rumor yang memang
sengaja dihembuskan oleh pihak-pihak tertentu. Ada pula yang
menganggapnya sebagai mitos dari kebudayaan modern, seperti halnya mitos
tentang “Area 51”. Namun
bagi penganut teori konspirasi, eksperimen ini adalah suatu fakta
sejarah yang menunjukkan bahwa semasa Perang Dunia II, pihak Amerika
diam-diam telah berhasil melakukan eksperimen rahasia mengenai invisibility atau teleportasi.
Terlepas
dari benar-tidaknya, saya sendiri menganggap bahwa eksperimen ini
memang tidak dapat dijadikan sebagai fakta pendukung ataupun bukti kuat
bahwa teknologi teleportasi telah berhasil dicapai atau ditemukan
kembali oleh pemerintah Amerika, karena terlalu banyak versi dan juga
narasumber yang mengisahkan tentang peristiwa Eksperimen Philadelphia
ini, dimana masing-masing versi tersebut saling bertentangan satu sama
lain dan tak didukung oleh bukti-bukti yang kuat selain hanya
berdasarkan cerita-cerita atau kesaksian yang mungkin bisa
dikarang-karang sendiri. Namun apabila benar, kisah ini setidaknya bisa
menjadi bahan pertimbangan bagi kita atau memperkaya kesimpulan kita
seputar masalah teleportasi, mengingat pencapaian ini bukanlah suatu hal
yang mustahil.
Secara
umum dikisahkan bahwa Eksperimen Philadelphia yang dipimpin dan
dikerjakan oleh Dr. Franklin Reno alias “Dr. Rinehart” ini didasari atas
salah satu aspek dari Teori Penyatuan Medan atau Unified Field Theory
yang dicetuskan oleh Albert Einstein pada era tahun 1920-an. Teori
Penyatuan Medan dalam ilmu fisika adalah suatu konsep teoritis atau theoretical framework
yang memungkinkan untuk menggabungkan atau menghubungkan semua
interaksi gaya atau kekuatan yang ada di alam ke dalam satu bentuk rumus
persamaan.
Penggabungan semua gaya atau kekuatan yang berjumlah empat itu disebut sebagai interaksi-interaksi (interactions) yang menghubungkan antara gaya gravitasi, elektromagnet, gaya nuklir kuat (strong nuclear force) yang mengikat inti atom agar tetap menyatu, dan gaya nuklir lemah (weak nuclear force)
yang bertanggung jawab dalam proses peluruhan radioaktif, yang
kesemuanya dideskripsikan ke dalam bentuk satu rumus persamaan. Keempat
gaya atau kekuatan ini adalah yang menentukan atau menguasai interaksi
semua materi di alam semesta. Rumus persamaan dari teori ini, jika
berhasil ditemukan, akan memungkinkan untuk menjelaskan semua hubungan
atau seluruh interaksi antar hukum-hukum fisika yang ada di alam
semesta.
Namun
begitu, selama puluhan tahun para ilmuwan berusaha keras, belum ada
seorang pun, termasuk Einstein sendiri, yang berhasil merumuskan rumus
persamaan bagi Teori Penyatuan Medan ini. Einstein sendiri selama 30
tahun terakhir hidupnya yang hanya berusaha untuk menemukan dan
merumuskan hubungan antara dua gaya saja, yaitu gaya gravitasi dan
elektromagnetik, tak pernah berhasil. Rumus persamaan yang baru berhasil
ditemukan saat ini adalah interaksi antara gaya elektromagnetik dengan
gaya nuklir lemah (weak nuclear force) yang kemudian disebut electroweak theory.
Rumus ini ditemukan antara tahun 1967-68 oleh fisikawan Amerika, Steven
Weinberg, dan fisikawan Pakistan, Abdus Salam, dengan menggunakan suatu
teknik matematika yang disebut dengan gauge symmetry.
Padahal
jika kita berhasil menemukan rumus persamaan bagi Teori Penyatuan Medan
ini, maka akan diperoleh banyak aplikasi atau pencapaian ilmu
pengetahuan dan teknologi tingkat tinggi yang dapat diwujudkan oleh umat
manusia. Aplikasi dari teori ini akan memungkinkan kita untuk bisa
melakukan banyak hal yang mustahil, antara lain seperti menolak gaya
gravitasi (anti-gravity), menjadi tidak terlihat oleh mata (invisibility), berpindah tempat dalam waktu sekejap (teleportation), mengubah logam biasa menjadi emas (transmutation), berjalan menembus dinding seperti hantu, atau bahkan mungkin pergi ke masa depan atau pergi ke masa lalu (time travel), dan banyak lagi hal mustahil lainnya.
Sementara
salah satu aspek dari Teori Penyatuan Medan yang diujicobakan oleh
pihak AL Amerika dalam Eksperimen Philadelphia ini adalah aplikasi
hubungan antara gaya elektromagnetik dan gravitasi untuk menciptakan
efek invisibility pada kapal
perang mereka agar tidak terlihat oleh musuh. Jika benar, hal ini
menunjukkan bahwa pihak AL Amerika tampaknya secara diam-diam telah
berhasil menemukan hubungan antara interaksi gaya elektromagnetik dengan
gravitasi. Dalam eksperimen tersebut, pihak AL Amerika menggunakan
generator listrik yang memiliki daya yang sangat besar yang dialirkan
lewat kabel-kabel yang dililitkan ke seluruh badan kapal agar kapal
tersebut mendapatkan efek medan elektromagnet yang akan membuatnya
menjadi tidak terlihat alias menghilang dari pandangan (invisible).
Fakta
yang telah diketahui, pihak AL Amerika memang pernah melakukan sejumlah
eksperimen semasa Perang Dunia II. Banyak dari eksperimen tersebut yang
dirahasiakan. Sebagian dari eksperimen tersebut bertujuan untuk
aplikasi di bidang militer yang didasari atas penemuan-penemuan atau
teori-teori terbaru dalam bidang ilmu fisika, termasuk di antaranya
adalah Teori Penyatuan Medan dimana Einstein sendiri pernah terlibat di
dalamnya. Fakta inilah yang tampaknya menjadi asal-mula dugaan dan
kecurigaan bahwa AL Amerika telah melakukan eksperimen invisibility
pada tahun 1943. Versi berbeda dari aplikasi hubungan antara gaya
elektromagnetik dan gravitasi konon juga pernah dilakukan oleh pihak
Nazi Jerman pada akhir Perang Dunia II, dengan melakukan eksperimen
rahasia untuk menciptakan mesin terbang anti-gravitasi.
Dalam Eksperimen Philadelphia ini, AL Amerika menggunakan sebuah kapal perusak (destroyer) bernama USS Eldridge (DE-173) sebagai obyek eksperimennya. Eksperimen ini dilakukan di galangan kapal AL Amerika yang berada di Philadelphia (Philadelphia Naval Shipyard). Persiapan hingga uji coba telah dimulai sejak awal musim panas tahun 1943. Pada uji coba yang pertama, kapal USS Eldridge
berhasil dibuat menghilang dalam arti sebenarnya, bukan hilang dalam
arti tidak terdeteksi oleh radar. Sejumlah saksi mata melaporkan adanya
“kabut kehijauan” yang muncul di sekitar lokasi kejadian menyelimuti
kapal perusak tersebut. Pada saat kapal USS Eldridge
menghilang dari pandangan, permukaan air tempat kapal tersebut berlabuh
terlihat ada legokan yang berbentuk dan seukuran lambung kapal USS Eldridge
yang menandakan bahwa kapal perusak tersebut sebenarnya masih berada di
tempatnya, namun tidak terlihat. Persis seperti dalam film sains fiksi “Predator” (1987).
Setelah
melakukan sejumlah evaluasi dan penyetelan ulang terhadap peralatan yang
digunakan, AL Amerika kembali mengulangi eksperimen tersebut. Namun
kali ini dengan melibatkan awak kapal USS Eldridge
sendiri, meskipun para awak kapal tersebut tidak ada yang tahu apa yang
akan terjadi terhadap diri mereka. Dalam uji coba kali ini, saat
generator dinyalakan dan tombol dihidupkan, kapal USS Eldridge
tidak hanya kembali berhasil dibuat tidak terlihat, namun secara fisik
berhasil dibuat menghilang dari tempatnya semula dalam sebuah kilatan
cahaya berwarna biru, dan diteleportasikan ke pelabuhan Norfolk, di
Virginia, yang berjarak lebih dari 200 mil jauhnya. Kemunculan kapal USS
Eldridge di tempatnya yang
baru itu konon sempat disaksikan oleh sejumlah kapal dagang Inggris yang
saat itu tengah berlabuh. Setelah menghilang dan berpindah tempat
selama sekitar 10 detik, kapal perusak ini pun lalu muncul kembali di
tempatnya semula, di pelabuhan Philadelphia.
Kapal USS Eldridge tak hanya berhasil dibuat menghilang dari pandangan,
tetapi juga berhasil diteleportasikan ke pelabuhan Norfolk, di Virginia.
Banyak versi yang kemudian menceritakan tentang efek yang dialami oleh awak kapal perusak USS Eldridge
pasca eksperimen misterius itu. Sejumlah awaknya ditemukan tengah
terbakar. Sebagian lainnya terlihat berubah menjadi orang gila dan
menderita kelainan mental atau kelainan saraf. Semuanya
tampak sakit. Sebagian ada yang terkena serangan jantung. Sebagian
lainnya tergeletak mati atau pingsan. Tetapi yang paling aneh, sebagian
dari mereka yang tengah berada di dalam kapal ditemukan tubuhnya telah
menyatu secara fisik dengan struktur badan kapal, seperti terbenam
separuh badan di atas lantai dek atau menyatu sebagian tubuhnya dengan
dinding besi kapal. Sejumlah laporan bahkan mengatakan bahwa ada
beberapa awak kapal yang tidak kelihatan atau benar-benar menghilang dan
tidak pernah terlihat lagi.
Mereka semua, para awak kapal USS Eldridge,
kemudian dibawa ke rumah sakit AL Bethesda, tanpa boleh diketahui
ataupun berkomunikasi dengan siapa pun. Sebagian dari mereka kemudian
didakwa sakit mental dan diberhentikan dari dinas AL. Sebagian yang
lainnya meninggal dunia secara misterius. Mereka yang bertahan hidup
menderita sejumlah kelainan yang tidak pernah dapat disembuhkan kembali.
Menurut keterangan sejumlah saksi mata yang melihat kondisi awak kapal
perusak USS Eldridge pasca
eksperimen, diketahui ada awak yang menjadi kembar. Ada yang tidak
terlihat tapi keberadaannya bisa dirasakan, seperti dalam film “Hollow Man”.
Ada yang terlihat seperti orang mabuk karena berdiri dan berjalan
sempoyongan. Ada yang tubuhnya terbakar oleh api aneh selama beberapa
hari. Ada yang bisa melayang di udara. Ada yang mampu berjalan menembus
tembok, bahkan ada yang menghilang atau tidak terlihat secara temporary
atau permanen. Tetapi ada pula yang menganggap bahwa seluruh awak kapal
USS Eldridge sebenarnya
telah dicuciotaknya oleh pihak pemerintah Amerika dengan tujuan untuk
merahasiakan atau menutup-nutupi kisah sebenarnya di balik eksperimen
misterius tersebut.
Sedikitnya
ada tiga kesimpulan yang dapat kita ambil dan pelajari dari kisah
tentang Eksperimen Philadelphia ini bila seandainya kisah tersebut
memang benar-benar pernah terjadi dan merupakan sebuah fakta sejarah. Pertama
adalah teknologi teleportasi hanya dapat digunakan untuk memindahkan
obyek benda mati dan tidak dapat digunakan untuk memindahkan obyek
mahluk hidup, baik berupa manusia atau hewan. Tidak dapat digunakan
bukan karena tidak bisa dilakukan, melainkan karena efek yang
diakibatkannya, seperti yang dialami oleh para awak kapal USS Eldridge
pasca eksperimen. Hal ini mungkin disebabkan karena molekul-molekul
dari tubuh manusia atau mahluk hidup senantiasa bergerak, seperti
misalnya darah yang selalu beredar dan jantung yang selalu berdetak
tanpa bisa dihentikan, sehingga menyulitkan dalam proses scanning
dan penyusunan kembali atom-atomnya. Adanya awak kapal yang ditemukan
dalam keadaan tubuhnya menyatu secara fisik dengan dinding atau lantai
dek kapal mungkin disebabkan karena pada saat tengah berlangsungnya
proses teleportasi, awak kapal tersebut sedang bergerak dan bukannya
dalam keadaan diam, sehingga pada saat proses scanning,
pemecahan dan penyusunan kembali atom-atom kapal beserta isinya,
informasi dari atom penyusun tubuh kapal dan awaknya menjadi saling
tumpang-tindih. Hal ini berbeda dengan benda mati yang selalu berada
dalam keadaan relatif diam atau tetap pada tempatnya.
Ini
pula sebabnya mengapa kemungkinan untuk menteleportasikan manusia atau
hewan tidak dicontohkan atau tidak diisyaratkan dalam Al-Qur’an.
Sementara peristiwa teleportasi yang terjadi di zaman Nabi Sulaiman
adalah merupakan kejadian pemindahan obyek yang berupa benda mati, yaitu
singgasana Ratu Bilqis, dan tidak ada mahluk hidup yang turut
dipindahkan dalam peristiwa tersebut. Selain itu, dapat dibayangkan
sendiri betapa sulit dan rumitnya proses teleportasi terhadap manusia,
mengingat mesin teleportasi tersebut harus mampu menyusun kembali secara
persis dan tepat dengan menganalisis seluruh atom (1028
atom) penyusun tubuh manusia. Selain organ-organ dan molekul-molekul
yang ada di dalam tubuh manusia itu selalu bergerak aktif, saat
mereplikasi setiap molekul penyusun tubuh manusia tidak boleh ada yang
meleset 1 milimeter pun, karena jika tidak, maka resikonya manusia yang
diteleportasikan, setelah disusun kembali akan mengalami sejumlah
kelainan sistem saraf (neurologik) atau masalah psikologis seperti yang
dialami oleh para awak kapal USS Eldridge.
Apabila
kita mau mencermati secara lebih teliti kisah pemindahan singgasana
Ratu Bilqis yang terdapat dalam Al-Qur’an, proses teleportasi yang
dilakukan oleh Ashaf bin Barkhiya sendiri ternyata juga tidak
berlangsung secara sempurna pada saat penyusunan atau rekonstruksi
kembali atom-atom singgasana Ratu Bilqis. Isyarat ini terbaca dari
perkataan Nabi Sulaiman dalam surat An Naml ayat 41 - 42.
“Dia
berkata: “Robahlah baginya singgasananya, maka kita akan melihat apakah
dia mengenal ataukah dia termasuk orang-orang yang tidak mengenal(nya).
Dan ketika Balqis datang, ditanyakanlah kepadanya: “Serupa inikah
singgasanamu?” Dia menjawab: “Seakan-akan singgasana ini
singgasanaku....” (QS. An Naml (27): 41-42).
Nabi
Sulaiman ternyata memerintahkan untuk mengubah atau sedikit
memodifikasi singgasana Ratu Bilqis setelah beliau menyaksikan sendiri
bagaimana singgasana itu berhasil dipindahkan dalam waktu hanya sekejap
mata lewat proses teleportasi. Saya katakan “sedikit” dimodifikasi dan
bukannya dirubah total adalah karena pada ayat berikutnya, Ratu Bilqis
ternyata masih “sedikit” mengenali singgasananya.
Jika
Nabi Sulaiman memang bertujuan ingin memberikan semacam “surprise”
kepada Ratu Bilqis, seharusnya ia tidak memodifikasi singgasana Ratu
Bilqis, karena dengan begitu Ratu Bilqis akan langsung mengenalinya dan
semakin takjub dengan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
dikuasai oleh Nabi Sulaiman dan umatnya yang mampu memindahkan suatu
benda dari jarak jauh dalam waktu sekejap mata. Tetapi ternyata Nabi
Sulaiman memerintahkan untuk sedikit mengubahnya, kenapa? Jawabannya
karena proses teleportasi yang dilakukan oleh Ashaf meskipun berhasil
memindahkan singgasana Ratu Bilqis dalam waktu sekejap mata, namun
teknologi tersebut ternyata tidak berhasil secara sempurna menyusun
kembali atom-atom singgasana Ratu Bilqis secara persis pada tempatnya
semula, sehingga perlu adanya sedikit modifikasi untuk menutupi
ketidaksempurnaan proses tersebut. Dari kejadian ini dapat kita ketahui
bahwa tampaknya Prinsip Ketidakpastian Heisenberg masih belum bisa
diatasi secara sempurna oleh Ashaf bin Barkhiya.
Kedua,
ini semacam alternatif teori yang agak sedikit berbeda dari penjelasan
mengenai proses teleportasi yang sudah dijelaskan sebelumnya, dan
sepertinya tidak bertentangan dengan Hukum Ketidakpastian Heisenberg.
Jadi, proses teleportasi itu mungkin sebenarnya bukanlah dengan cara di-scan
untuk memetakan posisi atom-atom suatu obyek, lalu dipecah
(dematerialisasi), ditransfer ke lokasi berbeda dalam bentuk gelombang,
dan kemudian disusun kembali replikanya di tempat yang baru, melainkan
adalah dengan cara mengkondisikan suatu obyek yang akan dipindahkan
sehingga terbebas dari pengaruh efek ruang (dimensi) – ini mungkin bisa
dijelaskan lewat Teori Penyatuan Medan atau Teori Relativitas – misalnya
dengan melingkupi obyek tersebut dengan medan elektromagnetik yang
sangat kuat sehingga obyek tersebut dapat menembus ruang antar dimensi,
lalu dengan menentukan semacam titik perpotongan atau menyatukan antara
koordinat lokasi obyek semula dengan lokasi yang baru menjadi satu titik
– hal ini bisa dilakukan dengan cara “melengkungkan” dimensi ruang,
maka obyek tersebut pun bisa dipindahkan tanpa harus memecah dan
menyusun kembali atom-atomnya. Prinsip kerjanya sama seperti mesin
waktu, hanya saja jika mesin waktu bekerja dengan mempengaruhi
ruang-waktu, maka teleportasi hanya ruang saja. Namun ini hanyalah baru
sebatas pemikiran atau dugaan yang perlu dikaji lebih lanjut
kemungkinannya.
Ketiga,
fakta tentang peristiwa pemindahan singgasana Ratu Bilqis lewat cara
teleportasi secara tidak langsung menunjukkan bahwa umat di zaman Nabi
Sulaiman telah mengenal atau bahkan mungkin telah berhasil memecahkan
rumus persamaan Teori Penyatuan Medan, dan berhasil mengaplikasikan
teori tersebut ke dalam bentuk teknologi tepat guna. Tidak heran apabila
kejayaan kerajaan Nabi Sulaiman tidak ada yang bisa mengalahkan atau
menandinginya hingga akhir zaman nanti, salah satunya adalah karena Nabi
Sulaiman dan umatnya telah menguasai Teori Penyatuan Medan. Penguasaan
akan pengetahuan mengenai Teori Penyatuan Medan ini akan membuat
seseorang yang memilikinya tidak hanya mampu menaklukkan alam semesta
dengan memanipulasi hukum-hukum fisika, tetapi juga mampu menguasai dan
memperbudak bangsa jin yang berada di alam dimensi lain.
Wajar
bila di tengah puncak kejayaannya, Nabi Sulaiman berdoa memohon kepada
Allah agar kemampuan atau penguasaan ilmu pengetahuan yang dimilikinya
itu tidak diberikan kepada siapa pun juga sepeninggalnya.
“Ia
berkata: “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku
kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang jua pun sesudahku,
sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi.” (QS. Shaad (38): 35)
Tentu
bisa dibayangkan apa yang akan terjadi bila teknologi dan pengetahuan
tingkat tinggi tersebut sampai jatuh ke tangan seseorang yang berwatak
jahat, seperti misalnya Dajjal al-Masih di akhir zaman nanti. Saya
sendiri berkeyakinan bahwa saat ini orang-orang Zionis Yahudi bersama
Dajjal al-Masih di tempat persembunyiannya tengah berupaya untuk dapat
menemukan dan menguasai kembali ilmu pengetahuan dan teknologi tingkat
tinggi yang pernah dimiliki oleh Nabi Sulaiman tersebut untuk mewujudkan
cita-cita besar mereka, yaitu menguasai dunia. Wallahua’lam.
***
Daftar Pustaka
Roach, John. 2003. Physicists Teleport Quantum Bits Over Long Distance. National
Geographic News. http://news.nationalgeographic.com
Ventura, Tim. 2005. Einstein’s Antigravity. http://www.americanantigravity.com
No comments:
Post a Comment