Monday, July 8, 2013

Antara Mesir, Iran, dan Syria

Dina Y. Sulaeman*
“Saya yakin di era baru ini, bangsa Mesir akan bergerak menuju puncak kehormatan dan kemajuan.”
[ucapan selamat Ahmadinejad kepada Mursi, atas keberhasilan referendum Mesir, 25/12/12]
Menarik sekali mengamati fenomena Mesir akhir-akhir ini. Setelah sebelumnya pemimpin Barat dan medianya sangat pro-revolusi Mesir, memberikan dukungan besar-besaran atas apa yang mereka sebut ‘proses demokratisasi Mesir’, angin pun berbalik. Sejak Presiden Mursi ‘nekad’ mengeluarkan Dekrit 22 November, media Barat beramai-ramai menghujatnya. Simak saja liputan CNN, AlJazeera (yang meskipun bermarkas di Qatar namun sejatinya corong Barat di Timur Tengah), atau New York Times. Sudut pandang pemberitaan mereka seragam: kelangsungan revolusi Mesir telah terancam; demokrasi telah disingkirkan oleh Ikhwanul Muslimin. Dengan gaya liputan yang seperti biasanya selama ini, mereka mewawancarai orang-orang di jalanan yang anti Mursi, sehingga seolah-olah sebagian besar rakyat Mesir memang marah pada Mursi. Tokoh-tokoh anti-Mursi pun naik daun, diwawancarai berkali-kali dan suara mereka seolah menjadi mewakili keinginan rakyat Mesir. Demo anti Mursi dibesar-besarkan, sementara demo pro-Mursi tidak diliput seimbang.
Dan, tentu saja, media-media yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin pun berjuang sebisanya meng-counter pemberitaan Barat itu. Blogger-blogger dari Al Azhar sibuk menulis, menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di Mesir. Intinya, menurut versi mereka, sesungguhnya niat Mursi itu baik, karena tanpa dekrit, upaya perumusan konstitusi baru Mesir akan selalu diganggu oleh kelompok yang pro-Mubarak dan pro-Barat.
Hey, tidakkah ini seharusnya menimbulkan deja vu?

Bukankah situasi ini sering terjadi terkait banyak isu? Kita ambil contoh Iran pada tahun 2009. Saat itu, Ahmadinejad yang menjadi the bad guy. Dia dituduh curang dalam pemilu (bahkan tuduhan itu sudah dilontarkan lawannya, Mousavi, yang didukung Barat, sejak sebelum penghitungan dilakukan). Aksi-aksi protes yang minor (artinya, jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan total populasi Iran) di-blow up, dibesar-besarkan dengan sangat masif oleh media Barat (dan media-media di seluruh dunia yang meng-copy-paste-nya). Seolah-olah kiamat sedang terjadi di Iran dan sebentar lagi pemerintahan Islam Iran akan tumbang. Hanya jurnalis independen, para analis politik independen, dan blogger yang menyuarakan hal sebaliknya. Akhirnya situasi bisa dikontrol pemerintah. Dan dalam sekejap, pemberitaan media mainstream saat itu beralih ke peristiwa tewasnya Michael Jackson. Suara dari Gedung Putih pun berubah, yang semula berkoar-koar soal ‘pembunuhan demokrasi’, beralih ke isu ‘ancaman nuklir Iran’.
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi di Mesir? Pembajakan revolusi oleh Ikhwanul Musliminkah? Atau memang benar ada kebangkitan Islam?
Setidaknya, kabar terakhir menyebutkan bahwa hasil referendum berpihak pada konstitusi baru Mesir yang berhaluan Islam. Menariknya, meski media Barat beramai-ramai menghujat konstitusi baru Mesir ini, Iran justru memujinya. Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad langsung menelpon Mursi, mengucapkan selamat kepada bangsa dan pemerintah Mesir atas keberhasilan penyelenggaraan referendum konstitusi baru di negara itu.
Sebelumnya, Mehdi Sanaei, anggota Parlemen Iran, dari Komisi Keamanan Nasional dan Kebijakan Luar Negeri (24/12/12) mengeluarkan statemen, “Suara Rakyat Mesir untuk konstitusi baru dapat ditafsirkan sebagai suara mereka kepada Islam.” Sanaei pun menyerukan kepada faksi-faksi politik Mesir untuk menghormati hasil pemungutan suara dan membuka jalan bagi pelaksanaan kebijakan pembangunan ekonomi. “Republik Islam Iran mendukung setiap keputusan berdasarkan suara rakyat, karena rakyat adalah pemilik sebenarnya dari negara manapun,” tambah Sanaei.
Bahkan, sejak awal revolusi Mesir pun, sejak sebelum Mubarak tumbang, Iran sudah menyebut bahwa kebangkitan di Mesir adalah kebangkitan Islam. Padahal, di saat yang sama, hampir semua media menyebutkan analisis bahwa revolusi Mesir adalah kehendak rakyat untuk berdemokrasi setelah sekian lama ditindas oleh diktator bernama Mubarak.
Pada bulan Februari 2011, pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Khamenei berkhutbah Jumat yang isinya mendukung perjuangan rakyat Mesir. Dia mengatakan, “Mesir adalah negara muslim pertama yang berkenalan dengan budaya Barat. Mesir pulalah yang menjadi negara pertama yang memahami budaya Barat dan memahami berbagai macam celanya untuk kemudian mereka melakukan kritik terhadap keburukan-keburukan itu. Jamaluddin Al Afghani, seorang ulama Islami pemberani dan pejuang besar, menemukan bahwa tempat yang tepat untuk melawan Barat dan Eropa adalah di Mesir. Kemudian muridnya, Syekh Muhammad Abduh dan para pejuang Islam lainnya mengikuti jejak Al Afghani. Mesir pulalah kawasan yang melahirkan tokoh-tokoh besar politik dan budaya Islam. Mereka semua adalah pejuang kebebasan. Karena itulah maka sangat layak jika Mesir dulu sempat menjadi pemimpin dunia Arab secara pemikiran maupun politik. Dalam jangka waktu yang cukup lama, negara-negara Arab sangat mengakui kepemimpinan Mesir.”
Namun selanjutnya, ungkap Khamenei, Mesir jatuh ke pemimpin diktator yang menjadi budak Barat dan Israel. “Rakyat Mesir merasakan keterhinaan dan kerendahan. Inilah yang sebenarnya menjadi faktor utama yang sekarang terjadi di Mesir. Mereka adalah para pejuang Islam, gerakannya pun dimulai dari sholat Jumat dan dari masjid-masjid. Yel-yel yang mereka kumandangkan adalah Allahu Akbar. Rakyat menggelorakan slogan-slogan keagamaan. Dan para aktivis yang menggerakkan demo di Mesir adalah para aktivis Islam. Rakyat Mesir menghendaki terhapusnya kehinaan ini dari diri mereka. Inilah sebenarnya faktor utama. Tapi tentu saja negara-negara Barat tidak membiarkan analisis semacam ini muncul dan menyebar di kalangan masyarakat internasional,” kata Khamenei. [terjemahan lengkap pidatonya bisa dibaca di sini]
Hasil referendum Mesir menunjukkan kebenaran analisis ini. Pemerintahan Islam memang dikehendaki oleh sebagian besar rakyat Mesir. Dan, bila demokrasi menjadi ukuran, tentunya, seluruh rakyat Mesir harus menerima hasilnya. Bukankah demokrasi mensyaratkan ketundukan pada suara terbanyak? Itu pula yang dulu terjadi di Iran. Setelah tergulingnya Syah Pahlevi, diadakan referendum untuk memilih : pemerintahan Islam atau tidak? 98% rakyat Iran setuju pada pemerintahan Islam. Bila ternyata pemerintahan Islam yang didirikan berhaluan Syiah, tentu saja sangat wajar, karena memang mayoritas rakyat Iran adalah Syiah dan mayoritas ulama yang berdiri di garis depan perjuangan melawan Syah (antara lain Ayatullah Khomeini) bermazhab Syiah.
Dan, bila kini rakyat Mesir mendukung Ikhwanul Muslimin, tentunya pihak luar hanya bisa menerima. Apapun juga, toh ini pilihan mayoritas rakyat Mesir.
Dan, ini pula yang seharusnya dilakukan semua pihak di Syria. Pengalaman Ikhwanul Muslimin yang meraih kemenangan dengan damai melalui dukungan rakyat Mesir, seharusnya dijadikan landasan sikapnya di Syria. Ketika Ikhwanul Muslimin (dan kelompok-kelompok Mujahidin yang berafiliasi dengan Hizbuttahrir) ingin mendirikan pemerintahan Islam di Syria, yang harus mereka lakukan adalah proes dakwah yang panjang. Jika pada akhirnya mayoritas rakyat Syria memang sepakat dengan ide pemerintahan Islam, takkan ada yang bisa menahannya.
Sayangnya, yang dilakukan kelompok oposisi di Syria adalah pemaksaan dan kekerasan. Bahkan mereka rela menerima suplai senjata dan dana dari musuh-musuh Islam, demi menggulingkan Assad. Kata-kata ancaman pembantaian, seperti, “Kita akan cincang Alawi dan dagingnya akan kita berikan kepada anjing” [diucapkan oleh ulama Syria Adnan Al Arour] bertebaran [dan memang terjadi pembantaian itu, bila Anda memilih percaya pada laporan jurnalis independen, bukan media mainstream dan media Islam yang meng-copas-nya] sehingga menimbulkan ketakutan. Gelombang pengungsi Syria kini melewati angka setengah juta orang.
Tegaknya pemerintahan Islam yang adil dan mengayomi seluruh rakyat, apapun agama dan mazhabnya, sebagai perwujudan doktrin ‘rahmatan lil alamin’, merupakan visi penting perjuangan kaum muslimin. Namun, pertanyaannya, dapatkah pemerintahan seperti itu ditegakkan di Syria bila diawali dengan menumpahkan darah sesama muslim dan non muslim, penyebarluasan fitnah, dan bekerja sama dengan musuh Islam?
*alumnus Magister Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, research associate of Global Future Institute

No comments:

Post a Comment