Wednesday, August 21, 2013

Imam Khomeini ra dari Pernikahan Hingga Pengasingan

Kisah Pernikahan Imam Khomeini ra dan Khanum Khadijeh Saqafi (Bagian Pertama)


Ayah saya Agha Mirza Mohammad Saqafi adalah seorang ulama Tehran. Sebagaimana yang saya ketahui, beliau memiliki karya berupa tafsir yang bernama Tafsir Novin (Tafsir Baru) yang ditulis dalam beberapa jilid. Ayah saya lebih banyak menyibukkan diri dengan menulis buku dan memiliki perpustakaan lengkap. Dari beliau sendiri saya mendengar bahwa buku-buku yang ada diperpustakaan itu dihadiahkan ke madrasah Sepahsalar yang sekarang adalah madrasah Syahid Mutahhari. Di sana, selain mengerjakan shalat beliau juga mengajar.


Saya dilahirkan pada tahun 1333 Hq. Ketika usia ayah saya mencapai 29 atau 30 tahun beliau memutuskan untuk melanjutkan belajar ke Qom. Saat itu kira-kira saya berusia 9 tahun. Ayah dan ibu saya pindah ke Qom dan tinggal di sana selama 5 tahun. Tapi saya tinggal bersama nenek saya. Sebenarnya sejak awal saya tinggal bersama nenek saya dan hidup bersamanya. Saya merupakan anak sulung dari ayah dan ibu saya. Ketika kedua orang tua saya pindah ke Qom saya memiliki dua orang saudara perempuan tapi yang satunya meninggal dunia dan dua orang saudara lak-laki.

Ayah saya selalu rapi dan bergaya dalam berpakaian. Misalnya di zaman itu beliau selalu memakai pakaian kulit bermerek Islambuli dan keluar rumah sehingga membuat takjub para santri saat melihatnya. Sementara di sisi lain beliau adalah seorang alim, ilmuwan, mukmin dan beragama. Saya masih ingat masa itu, ayah saya tidak akan mengizinkan kami pergi ke madrasah tanpa celana panjang lebar. Sepatu saya juga harus hitam dan sederhana dan lengan baju juga harus panjang. Beliau tidak suka kemewahan dan berjiwa ulama. Imam Khomeini selalu mengatakan:

"Ayahmu sangat pandai, sangat mulia dan berilmu, tapi sayangnya tidak bergaya hidup sebagai seorang ulama."

Ayah saya juga memiliki hasil karya tulisan, namun saya hanya mengenal tafsir-tafsirnya saja dan tidak ingat buku-buku lainnya. Tapi saudara-saudara saya Ali Agha dan Hassan Agha masih ingat semua buku-bukunya. Meskipun sebagian buku-bukunya diberikan kepada teman-temannya dan perpustakaannya dihadiahkan kepada universitas tapi buku-bukunya masih ada lagi sebanyak satu ruangan. Buku-bukunya ditata dari bawah sampai atap ruangan yang terdiri dari buku- bukunya sendiri dan ayahnya serta buku-buku lainnya yang dibeli.

Sebagaimana sudah saya katakan, saya hidup bersama nenek saya. Namanya Khanum Makhsus, kami memanggilnya Khanum Mamani. Ketika kedua orang tua saya berada di Qom, saya dan nenek saya pergi mendatangi mereka ke Qom setiap dua tahun sekali. Dua malam kami menginap di perjalanan. Satu malamnya di Aliabad dan satu malamnya lagi di tempat lain. Ayah saya mengontrak rumah yang bagus di Qom, di jalan Asid (Agha Sayid) Ismail di dekat pasar. Rumah yang besar dan berhalaman. Pemilik rumahnya adalah seorang pedagang kaya yang terkenal. Penghasilan ibu saya dalam sebulan mencapai 30 Tuman (300 Riyal) sehingga bisa menyekolahkan kami. Di masa itu, madrasah yang mengajarkan pelajaran-pelajaran baru, satu kelas muridnya mencapai 20 orang. Jumlah murid yang bisa membayar uang sekolah 5 Riyal sangat sedikit. Oleh karena itu, yang bisa sekolah hanya anak-anak dokter, para pedangan kaya, atau para mujtahid. Kami tiga perempuan bersaudara semuanya bisa sekolah. Dua saudara perempuan saya sekolah di Qom, sedangkan saya sekolah di Tehran. Kesimpulannya, saya sekolah sampai kelas delapan karena pada saat itu saya harus menikah.

Sebagaimana saya katakan bahwa ketika keluarga saya berada di Qom, saya mengunjungi mereka beberapa kali. Sekali ketika saya berusia 10 tahun, sekali ketika saya berusia 13 tahun dan sekali ketika saya berusia 14 tahun. Kali yang terakhir ayah saya meminta kepada nenek saya agar saya tinggal di Qom. Nenek saya ingin tinggal di Qom selama 15 hari dan kembali lagi  ke Tehran karena saat itu adalah hari raya. Ayah saya meminta seraya berkata, "Saya tidak puas melihat Qudsi. Izinkan dia tinggal bersama saya selama dua bulan. Pada musim panas kami akan datang ke Tehran mengantarkan dia!"

Akhirnya nenek saya mengizinkan. Meskipun saya tidak suka, akhirnya saya tinggal di Qom selama beberapa bulan. Pada waktu itu saya mengambil ijazah kelas enam. Ayah saya melarang saya pergi ke SMU karena jiwanya bukan jiwa reformis.

Di masa itu SMU untuk perempuan sangat sedikit dan beliau berkata, "Jangan pergi ke SMU karena gurunya laki-laki, pelayannya laki-laki dan penyidiknya juga laki-laki!"

Intinya ayah saya memrotes kepergian saya ke SMU, akhirnya saya tidak pergi. Selama beberapa bulan saya tinggal di Qom kemudian kembali ke Tehran bersama ibu saya.

Selama lima tahun tinggal di Qom, ayah saya banyak mendapatkan sejumlah teman dan salah satunya adalah Agha Ruhullah (Imam Khomeini). Saat itu beliau belum haji, tapi seorang lelaki yang terhormat, beragama, berpendidikan dan cerdas. Ayah saya menyukainya. Selisih usia beliau dengan usia saya saat itu adalah 12 tahun dan dengan ayah saya 7 tahun. Satu lagi teman ayah saya adalah Agha Sayid Mohammad Sadegh Lavasani. kepada Agha Ruhullah dia berkata, "Mengapa engkau tidak menikah?"

Imam Khomeini yang saat itu berusia 26 sampai 27 tahunan menjawab:

"Sampai saat ini saya belum menemukan seseorang untuk menikah denganya. Saya juga tidak ingin menikah dengan perempuan Khomein. Menurut saya belum ada seseorang."

Agha Lavasani berkata, "Agha Saqafi memiliki dua putri dan istri saudaraku mengatakan, baik."

Setelah beberapa tahun berikutnya Agha Ruhullah kepada saya bercerita:

"Ketika Agha Lavasani mengatakan bahwa Agha saqafi memiliki dua putri dan menceritakan tentang mereka, hatiku saat itu seperti diketuk."

Begitulah akhirnya Agha Lavasani datang meminang saya sebagai utusan Imam Khomeini. Dua bulan lamanya mereka menunggu jawaban lamaran karena saya tidak mau pindah ke Qom. Ketika saya pergi ke rumah ayah, setelah sepuluh sampai lima belas hari saya meminta nenek saya untuk segera kembali lagi ke Tehran. Karena Qom pada masa itu tidak seperti sekarang. Jalan-jalan dan gang-gangnya sangat sempit. Oleh karena itu saya segera kembali meninggalkan Qom dan sebenarnya selama dua bulan saat ayah memaksa saya untuk tinggal di sana, saya sangat tidak suka.

Tahap pelamaran dimulai. Kepada saya Ayah berkata, "Saya tidak masalah dan saya menerima. Bila kamu dibawa ke tempat asing, seseorang yang tidak akan sampai menyusahkanmu."

Karena persahabatan beberapa tahun dengannya, ayah saya mengenal Agha Ruhullah. Namun saya berkata, "Saya tidak akan mau pergi ke Qom."

Namun, karena mimpi-mimpi yang saya alami, saya tahu bahwa pernikahan ini sudah menjadi takdir saya. Mimpi terakhir saya adalah saya melihat Rasulullah Saw, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dan Imam Hasan as.

Halaman kecil yang disewa untuk acara resepsi dengan segala bentuknya bahkan tirai-tirainya yang dibeli sama persis sebagaimana yang saya lihat dalam mimpi.

Alhasil, dalam mimpi saya melihat Rasulullah Saw, Imam Hasan dan Amirul Mukminin Ali as duduk di dalam ruangan khusus para lelaki yang berada di samping halaman sebelah sana dan di sampingnya ada ruangan khusus pengantin putri yakni saya dan seorang perempuan tua yang memakai chadur bintik-bintik. Saya tidak mengenal perempuan tua itu. Saya dan perempuan tua itu ada di balik pintu. Pintu ruangan itu berkaca. saya melihat ke arah ruangan para lelaki dan kepadanya saya bertanya, "Mereka itu siapa?"

Perempuan tua itu duduk di sampingku dan berkata, "Di sana yang memakai ammamah (sorban) hitam itu adalah Rasulullah Saw. Lelaki yang memakai topi hijau dan merah adalah Amirul Mukminin. Di sebelahnya juga ada seorang pemuda. Perempuan tua itu mengatakan, "Sedangkan ini adalah Imam Hasan as."

Saya berkata, "Aduhai, ini adalah Rasulullah dan ini Amirul Mukminin! Saya sangat gembira!

Perempuan tua itu  berkata, "Kamu tidak menyukai mereka!"

Saya berkata, "Tidak. Saya bukan tidak menyukai mereka. Beliau adalah nabiku. Beliau adalah imamku. Itu adalah imam keduaku dan yang itu adalah imam pertamaku."

Perempuan tua itu berkata, "Kamu tidak menyukai mereka!"

Saya mengatakan dan mendengar hal itu dan kemudian terbangun. Saya sedih mengapa saya begitu cepat terbangun. Paginya saya menceritakan kepada nenek saya bahwa tadi malam saya mimpi demikian. Nenek saya berkata, "Berarti jelas ini adalah sayid yang hakiki dan Rasulullah beserta para imam tersinggung denganmu dan tidak ada jalan lain. Ini adalah takdirmu.

Di sisi lain, Agha Sayid Ahmad Lavasani setiap malam datang menanyakan, "Lantas bagaimana?"

Ayah saya mengatakan, "Para perempuan sampai saat ini belum menerima."

Agha Sayid Ahmad Lavasani yang akrab dengan ayah saya tinggal di rumah ayah selama 2 atau 3 hari dan kembali lagi pulang.

Waktupun berlalu sampai pada tahap kelima dalam jarak dua bulan dan berkata, "Akhirnya bagaimana?"

Ayah saya ingin benar-benar menolaknya dan mengatakan, "Saya tidak bisa memberikan putri saya. Ikhtiarnya ada pada dirinya sendiri dan neneknya. Kami sangat menghormati neneknya."

Nenek tidak setuju karena ada teman usaha nenek saya yang melamar saya.

Sebagaimana saya katakan, ketika malam saya bermimpi, paginya saya ceritakan kejadiannya kepada nenek saya. Begitu saya meringkasi peralatan sarapan tiba-tiba ayah saya datang. Ketika itu musim dingin dan kami memasang kursi (meja besar segi empat dan pendek yang ditutupi dengan selimut besar dan di bawahnya diletakkan panggangan berisi arang panas) dimana orang-orang duduk disekelilingnya dengan memasukkan kakinya ke dalam selimut. Semua ini terjadi secara kebetulan.

Ketika ayah saya datang dan duduk. Saya memberikan teh kepadanya, beliau berkata, "Sayid Ahmad datang yang kelima kalinya dan mengatakan sesuatu sementara aku tidak bisa menjawabnya sama sekali."

Ketika ayah saya mengatakan, putri saya tidak mau dan tidak menerima, Agha Sayid Ahmad mengatakan, "Dia besar dalam kesejahteraan dan tidak bisa hidup dengan kondisi kehidupan seorang santri. Yang mengucapkan kata-kata seperti ini adalah mereka yang menentang."

Pada hakikatnya semuanya menentang, pertama saya sendiri kemudian nenek saya, ibu saya dan semua famili. Ayah saya sendiri mengatakan, "Itu adalah kehendak kalian sendiri. Tapi saya yakin bahwa dia adalah lelaki yang baik, berpendidikan dan beragama. Ketaatannya dalam beragama tidak akan sampai membuat Qudsi mengalami kesusahan."

Ayah saya mengatakan, "Bila kamu tidak mau menikah, aku tidak ada urusan lagi dengan pernikahanmu."

Saya waktu itu adalah seorang gadis berusia 15 tahun dan sangat menghormati ayah saya. Bahkan saya tidak pernah menghadap ayah saya tanpa chadur. Ketika beliau memanggil saya, saya pasti langsung memakai chadur dan datang menghadapnya meski harus memakai chadur saudara atau yang lainnya.

Saya diam saja dan nenek saya menyuguhi gaz (kue manisan khas Isfahan) sebagai tanda persetujuan dan ketika ayah mengambil gaz, beliau mengatakan, "Saya memakan gaz sebagai tanda persetujuan Qudsi Iran." Saya pun tidak berkata sepatah katapun. Saya terpengaruh oleh keagungan mimpi yang saya lihat. Saya diam dan ayah saya memakan gaz dan kemudian pergi.



Kisah Pernikahan Imam Khomeini ra dan Khanum Khadijeh Saqafi (Bagian Kedua, Habis)



Seminggu kemudian Agha Sayid Ahmad Lavasani, Agha Pasandideh, Agha Hindi, dua saudara laki Imam bersama Sayid Mohammad Sadegh Lavasani bersama pengantin pria dan seorang pembantu bernama Musayyib datang menemui ayah saya untuk meminang. Mereka semua ini adalah teman, kecuali Agha Hindi. Ayah saya memberitahukan kepada saya. Zabihullah pembantu ayah saya datang ke rumah nenek saya dan berkata, "Ibu ada tamu. Qudsi Iran diminta ke sana!"

Nenek saya bertanya, "Siapa tamunya?"

Dipesankan kepadanya jangan sampai bilang kalau tamunya adalah pengantin pria. Khawatir akan dijawab tidak. Sayapun pergi ke rumah ibu saya. Ketika sampai di sana, saya baru tahu apa masalahnya.

Adik perempuan saya, usianya lebih muda satu setengah tahun dari saya, Shams Afaq melihat dan mengatakan, "Pengantin pria datang! Pengantin pria datang!"

Saya dibawa ke kamarnya Zabihullah dan ditunjukkan pengantin pria dari balik kamar. Para lelaki ada di ruangan lain dan saya melihat mereka dari balik pintu kamar ini. Wajah Imam Khomeini kuning langsat dan rambutnya agak pirang. Kebetulan dia duduk tepat di depan pintu dan kursi. Ketika mereka pulang kembali ibu saya dan adik perempuan saya juga datang melihat pengantin pria. Karena sebelumnya tidak seorangpun dari kami melihat wajah pengantin pria.

Saya bukan tidak suka dengan pengantin pria. Namun saya masih terlalu muda untuk menentukan apa yang harus saya lakukan. Apalagi saya termasuk orang yang polos dan lugu. Ayah saya datang dan bertanya kepada ibu saya, "Ketika Qudsi Iran kembali, bilang apa?"

Ibu saya berkata, "Tidak bilang apa-apa. Dia hanya duduk."

Kemudian kepada saya ibu berkata, "Ketika kamu duduk diam, ayahmu bersujud."

Karena beliau sejak awal menerima. Ayah saya selalu mengatakan, "Aku ingin putra yang ahli ilmu dan menantu yang ahli ilmu juga." Dan kini sudah terjadi. Imam Khomeini adalah ahli ilmu dan salah satu saudara laki saya Hassan Agha juga ahli ilmu.

Meskipun saya menceritakan semuanya. Ayah saya juga tidak begitu saja menerima. Hari ketika harus menjawab iya kepada Sayid Ahmad, ayah saya berkata, "Orang-orang perempuan masih bermasalah."

Agha Sayid Ahmad bertanya, "Apa masalah mereka?"

Ayah saya berkata, "Pertama, mereka tidak mengenal dia. Dia adalah orang Khomein. Sementara perempuannya besar di Tehran dan hidup dalam kesejahteraan. Kondisi materi neneknya sangat bagus. Hidup dengan kondisi santri baginya sangat sulit. Kami tidak tahu apakah pengantin pria memiliki sesuatu ataukah tidak. Bila penghasilannya hanya mengandalkan syahriah (uang bulanan) dari Haj Sheikh Abdolkareem, maka tidak akan bisa hidup. Kami ingin tahu apakah dia sendiri punya modal ataukah tidak? Selain itu, apakah dia punya istri lain ataukah tidak? Boleh jadi di Khomein dia punya anak dan istri. Boleh jadi selama belajar dan menunggu sampai pendidikannya selesai dia menikah mutah apalagi bila dari nikah mutah itu dia punya anak satu atau dua orang."

Pada kesempatan berikutnya Imam Khomeini sendiri mengatakan bahwa beliau tidak pernah melihat perempuan. Agha Sayid Ahmad kepada ayah saya berkata, "Para perempuan berhak untuk khawatir. Engkau percaya kepadaku ataukah tidak? Bila engkau percaya padaku, maka aku sendiri yang akan pergi ke Khomein dan melakukan penelitian untuk menanyakan kondisi hidupnya." Kemudian dia pergi ke Khomein dan melihat rumah keluarga Imam Khomeini. Rumah Imam Khomeini mewah dan besar. Punya banyak halaman. Mereka sangat baik dan ramah dalam menyambut. Agha Sayid Ahmad menceritakan masalahnya kepada Agha Hindi dan bertanya tentang Imam Khomeini, "Gajinya berapa? Apakah pernah kawin ataukah tidak?"

Mereka menjawab, "Tidak punya istri dan anak. Bahkan nikah mutah pun tidak pernah dan kami tidak pernah mendengar terkait masalah ini. Penghasilannya perbulan 30 Toman dari saham warisan ayah."

Ketika Sayid Ahmad datang, dia menceritakan kejadiannya kepada ayah saya. Ayah sayapun berkata, "Bila bisa membayar sewaan lima Toman, maka tidak masalah." Ayah menerima dan menyetujui. Kemudian sayapun melihatnya dalam mimpi.

Resepsi perkawinan kami pada bulan Ramadhan dengan beberapa alasan. Pertama, Imam Khomeini memastikan bahwa pelajaran harus sedang libur. Kedua, saya bermimpi saat mendekati hari kelahiran Imam Mahdi. Dengan dalil ini mereka meminang pada awal bulan Ramadhan.

Pernikahan kami tidak mewah. Ayah saya duduk di dalam ruangan dalam dan besar atau bisa disebut aula. Beliau memanggil saya, "Qudsi sayang kemarilah!"

Saya baru saja pulang dari sekolah. Karena saya tidak akan menemui beliau tanpa chadur, saya memakai chadur adik saya dan menemui beliau. Ayah saya berkata, "Duduklah di sebelahnya kursi bagian sana!"

Keluarga pengantin laki-laki telah datang pada awal bulan Ramadhan dan hari itu tepatnya adalah hari kedelapan. Selama ini mereka tinggal di rumah ayah saya. Selama itu ibu saya menjamu mereka dengan baik.

Mereka sedang mencari rumah sewaan untuk rumah pengantin. Rencananya resepsi pernikahan diadakan di Tehran kemudian kami pindah ke Qom. Setelah delapan hari mereka baru mendapatkan rumah sewaan dan sama persis sebagaimana yang saya saksikan dalam mimpi. Ayah saya berkata, "Jadikan saya sebagai wakil dan saya akan menjadikan Agha Sayid Ahmad sebagai wakil untuk melakukan ijab qabul nikah di Makam Sayid Abdol Azim. Agha Ruhullah juga menjadikan saudaranya Agha Pasandideh sebagai wakilnya."

Saya diam sejenak kemudian berkata, "Iya saya menerima."

Dengan demikian, mereka pergi dan melakukan ijab qabul. Setelah rumah sewaan tersedia, ayah saya berkata, "Berikan perabot rumah tangga kepada mereka, karena mereka mau pindah ke rumah itu." Perabot rumah tangga utama seperti karpet, selimut kursi, perabot dapur dan lain-lainnya dikirim ke rumah tersebut. Kami juga punya satu pembantu Naneh Khanum. Dia dulunya adalah pengasuh ibu saya. Tapi dia bersama anaknya Uzra Khanum dikirim ke sana untuk melayani dan memasak. Malam lima belas atau malam enam belas Ramadhan, kami mengundang keluarga dan kerabat. Saya memakai baju putih mewah hasil jahitan putri bibi (keponakan ayah saya) dengan bordiran bunga. Mahar saya 1000 Toman. Keluarga pengantin laki berkata, "Kalau mau, bisa meminta mahar rumah."

Tapi ayah saya berkata kepada saya, "Saya tidak tahu berapa total harga harta dan rumah-rumah mereka. Saya tidak tahu harga di Khomein bagaimana? Oleh karena itu saya menentukan uang sebagai maharnya."

Saya tidak pernah meminta mahar saya. Tapi di akhir usia Imam Khomeini, beliau berwasiat bahwa seperenam dari rumahnya yang di Qom sebagai mahar saya.

Imam Khomeini senantiasa menghormati saya. Beliau sama sekali tidak pernah berbicara keras. Bila beliau menginginkan baju atau bahkan teh, beliau selalu mengatakan, "Bisakah kamu mengambilkan baju fulan?" kadang-kadang juga beliau sendiri yang membikin teh.

Saya ingat suatu hari beliau protes kepada putri-putrinya Seddigheh dan Farideh yang pergi ke rumah tetangga melalui atap rumah dan berkata:

"Di sana ada pembantu."

Karena itulah beliau tidak suka. Tapi saya berkata, "Di sana tidak ada siapa-siapa." Dan beliau tidak lagi berbicara apa-apa.

Meski dalam puncaknya kemarahan, Imam Khomeini tidak pernah tidak menghormati saya dan tidak pernah berbuat yang tidak baik. Di dalam ruangan, beliau senantiasa menawarkan tempat yang paling baik kepada saya. Beliau tidak akan memulai makan selama saya belum duduk di sana. Kepada anak-anak beliau juga mengatakan:

"Sebentar, tunggu ibu datang."

Tapi saya tidak mengatakan bahwa beliau mengatur hidup kami dengan kemewahan. Beliau adalah seorang talabeh (santri) tidak ingin menjulurkan tangannya ke sana dan ke mari. Sebagaimana ayah saya juga tidak menginginkan. Beliau senantiasa ingin hidup dengan anggaran sedikit yang dimilikinya. Tapi beliau senantiasa menjaga penghormatan kepada saya. Bahkan beliau tidak mau saya bekerja di dalam rumah. Beliau kepada saya senantiasa berkata:

"Jangan menyapu!"

Bila saya mau mencuci kerudung anak-anak di tepi kolam, beliau datang dan berkata:

"Bangunlah! Kamu tidak boleh mencuci!"

Saya akan menyapu rumah dan mencuci pakaian anak-anak ketika beliau tidak ada di rumah. Sudah satu tahun kami pindah di Imam Zadeh Qassem, orang yang biasanya mengerjakan pekerjaan rumah kami waktu itu tidak ada. Anak-anak sudah besar dan mereka sudah menikah. Ketika makan siang selesai, saya duduk di tepi kolam untuk mencuci piring. Begitu beliau melihat saya sedang mencuci piring, beliau kepada Farideh salah satu putri kami yang berada di rumah kami berkata:

"Farideh! Segeralah, ibu sedang mencuci piring!"

Farideh segera datang dan mengambil piring dari tangan saya dan mencucinya kemudian meletakkannya di tepi kolam.

Alhasil, harus saya katakan bahwa Imam Khomeini tidak menganggap menyapu, mencuci piring dan bahkan mencuci kerudung anak-anak kami sendiri sebagai kewajiban dan tugas saya. Bila karena memang perlu terkadang saya melakukannya, beliau tidak suka. Dan beliau menilainya sebagai sebuah kezaliman terhadap saya. Bahkan ketika saya masuk ke ruangan, beliau tidak mengatakan, "Tutuplah pintunya!" Beliau menunggu sebentar sampai saya duduk kemudian beliau bangun dan menutup pintu tersebut.

Setelah satu tahun saya mengambil ijazah kelas enam, saya masuk ke sekolah Badriyeh mengambil kelas tujuh. Dua bulan setelah saya masuk ke kelas delapan, saya mengambil guru bahasa Perancis dan saya belajar selama dua bulan kepada seorang ibu guru penganut agamaYahudi. Perbulannya saya membayar 2 Toman. Ketika ayah saya kembali dari Qom ke Tehran, dalam beberapa waktu saya belajar Jami' al-Muqaddamat kepada beliau. Setelah pernikahan kami, Imam Khomeini mengajari saya Ta'lim. Setelah beberapa lama, kepada saya beliau berkata, saya tidak perlu belajar Ta'lim lagi karena potensi kemampuan yang saya miliki. Akhirnya beliau mengajari saya Jami' al-Muqaddamat. Saya berhasil mengkhatamkan semua Jami' al-Muqaddamat. Tentunya, pada tahun pertama saya belajar Hai'at. Kemudian saya lanjutkan dengan belajar Jami' al-Muqaddamat.

Ketika saya sudah memiliki dua anak, saya memulai belajar Suyuthi. Ketika Suyuthi selesai, pada saat itu saya sudah memiliki empat anak. Ketika anak keempat lahir, yakni Farideh Khanum, saya tidak lagi punya waktu untuk menelaah dan belajar. Tapi Imam Khomeini mulai mengajari saya Syarh Lum'ah. Begitu saya sudah belajar beberapa bagian darinya, saya merasa lemah dan tidak lagi memiliki kemampuan membaca. Semuan ini berjalan selama delapan tahun. Kemudian kami pergi ke Irak karena pengasingan Imam. Di sana saya mulai belajar bahasa Arab. Karena saya tidak punya Mu'asyir, saya memulai belajar bahasa Arab dengan memakai buku-buku pelajaran mereka. Saya mengambil dan membaca buku kelas tiga ibtidaiyah kemudian saya mengambil buku kelas enam dan selanjutnya buku kelas sembilan dari Hossein. Karena saya tidak tahu sebagian kata-kata, ketika Ahmad pergi ke Tehran dia membelikan saya kamus Arab-Persia. Kemudian saya suka sekali membaca roman-roman yang bagus. Karena saya menyukainya akhirnya saya lebih termotivasi.

Bagaimanapun juga selama kami berada di Irak saya membaca roman, kemudian saya mulai membaca koran dan majalah. Sampai akhirnya pada tahun terakhir di Irak saya begitu mengalami peningkatan sehingga saya membaca buku Tamaddun-e Islam (Peradaban Islam) yang berbahasa Arab.


Pengasingan Imam Khomeini ra

Imam Khomeini tidak pernah mencampuri urusan pribadi kehidupan saya. Di awal-awal kehidupan rumah tangga kami, saya tidak ingat pekan pertama atau bulan pertama, beliau berkata kepada saya:

"Saya tidak akan mencampuri urusanmu. Belilah baju dan pakailah sesukamu. Namun yang saya minta darimu adalah lakukanlah semua kewajiban dan tinggalkanlah hal-hal yang haram, yakni jangan berbuat dosa!"

Beliau tidak terlalu mengurusi hal-hal yang sunnah. Beliau juga tidak mencampuri urusan saya. Saya hidup sesuka hati saya. Beliau tidak mencampuri urusan saya dalam menjalin persahabatan dengan teman-teman saya, kapan saya harus pergi dan kapan saya harus kembali. Beliau sibuk belajar dan saya juga menyibukkan diri saya sendiri.

Imam Khomeini sangat disiplin dan teliti dalam urusan-urusannya. Sehingga kami mengatur jam kami berdasarkan gerak gerik dan ibadah-ibadah beliau. Karena beliau mengerjakan pekerjaannya berdasarkan program yang telah disusunnya dan berdasarkan jam dan detik-detik waktu yang ada.

Imam Khomeini benar-benar seorang suami yang menguasai Islam. Beliau tahu sampai seberapa jauh Islam memberikan hak kepada seorang suami untuk mencampuri urusan istrinya.

Imam Khomeini memberikan wewenang kepada saya dalam urusan pendidikan anak-anak dan kehidupan.

Saya memiliki banyak kenangan tentang kehidupan politik beliau. Misalnya Imam Khomeini sangat menghormati Agha Kashani. Pada mulanya ketika beliau datang ke Tehran untuk menikah dan tinggal di rumah ayah saya selama delapan hari, di sana beliau menemui Agha Kashani. Rumah Agha Kashani dan rumah ayah saya berada dalam satu gang dan mereka berdua bersahabat. Di sana Agha Kashani berkata kepada ayah saya, "Manusia langka ini engkau temukan dari mana?"

Saya juga bersahabat dengan ibunya Navab Safavi dan saudara-saudara Vahedi. Ketika mereka mau dibunuh (di hukum mati oleh pemerintahan despotik), Imam Khomeini menemui Agha Boroujerdi dan meminta agar beliu menyelesaikannya. Agha Boroujerdi berkata, "Saya tidak akan ikut campur dalam urusan mereka." Akhirnya mereka dibunuh.

Terkait dimulainya perjuangan pada tahun 1342 Hs, saya ingat ketika saya dan Agha Mostafa baru saja pergi ke Najaf dan Karbala, di sana kami mendengar berita bahwa Iran mulai ramai. Agha Mostafa mulai khawatir dan berkata, "Mari kita kembali ke Iran!"

Ketika kami kembali, rumah kami penuh dengan penduduk dan kami pergi ke rumah Agha Mostafa. Halaman rumah Agha Mostafa berubah seperti warung kopi. Hari-hari berikutnya bertambah penuh dan ramai sementara Imam Khomeini memulai pidatonya di sore hari Asyura. Malam itu di rumah ada suara-suara keributan, tiba-tiba pintu gerbang rumah kami didobrak. Kami semua tidur di halaman dan Imam pergi menuju pintu gerbang dan berkata:

"Jangan mendobrak, saya datang!"


Kemudian beliau memakai gamis dan jubahnya. Mereka mendobrak dan mematahkan pintu gerbang rumah kami dan masuk bersama-sama begitu saja ke dalam halam rumah kami dan membawa Imam Khomeini.

Selama dua sampai tiga hari Imam Khomeini ditahan di dalam sebuah rumah, kemudian dipindahkan ke penjara Qasr. Sepuluh sampai dua belas hari beliau ditahan di penjara Qasr dan selama itu mereka tidak mengizinkan kami mengirim makanan buat beliau. Kelihatannya beliau menasihati mereka. Beliau meminta buku doa dan pakaian dan kamipun mengirim buku dan pakaian buat beliau. Kemudian beliau dipindahkan ke Eshrat Abad dan berada di sana selama dua bulan. Mereka tidak mengizinkan seorangpun untuk menemui beliau. Hanya makanan saja yang dibolehkan. Kami juga datang ke Tehran ke rumah ibu saya. Setiap hari untuk makan siang kami mengirim makanan untuk Imam Khomeini. Setelah dua bulan beliau dibebaskan, beliau dibawa ke Davudiyeh, rumah Agha Abbas Nejati. Hari kedua saya dan putri-putri saya datang ke sana. Saya lebih lama tinggal di sana. Tiba-tiba ruangan jadi sepi dan semuanya pergi. Kepada beliau saya berkata, "Apakah di sini tidak susah?"

Beliau memijit-mijit bagian belakang lehernya. Kulit tipis melilit di jari-jarinya dan jatuh. Saya tidak berbicara apa-apa, tapi saya sangat sedih. Sampai sekarang bila saya mengingat masa itu, saya kembali bersedih. Agha Roughani mengusulkan agar Imam Khomeini pergi ke rumah dia. Banyak anggota SAVAK berjaga-jaga di depan rumah Agha Roughani. Mereka menyewa sebuah rumah untuk kami di dekatnya. Ada sekitar tiga puluh orang SAVAK mengontrol dan membatasi lalu lalang kami. hanya ibu dan adik perempuan saya yang boleh masuk. Selama tujuh bulan Imam tinggal di Qaitariyeh, sampai ketika Ansari Ketua SAVAK masa itu berkata, "Kapan saja Anda ingin pergi ke Qom, kami akan menyiapkan mobilnya."

Dengan demikian, kami kembali ke Qom lagi. Orang-orang laki menempati semua rumah Imam. Mereka menyewa sebuah rumah yang bersambung dengan rumah Imam dan membuat sebuah pintu ke arah rumah Imam. Kamipun tinggal di rumah tersebut. Kami berada di sana mulai dari hari raya sampai tanggal 13 bulan Aban, yakni selama delapan bulan. Sampai ketika Imam berpidato lagi tentang kapitulasi.

Suatu malam saya menyaksikan beberapa orang mendatangi rumah kami. ketika itu saya berada di halaman. Padahal pagar temboknya tinggi, ada seseorang naik pagar tembok. Imam berada di halaman lain dan saya berada di halaman yang sebelah sini. Kembali lagi saya melihat seorang lainnya lagi naik pagar tembok. Saya memanggil Imam, "Agha!"

Tiba-tiba mereka mendobrak pintu antara rumah kami dan bagian luar. Begitu Imam mendengar suara saya, dengan suara keras beliau berkata:

"Kalian telah menjebol pintu. Saya datang."

Tiba-tiba seorang lainnya naik ke pagar tembok dan saya ketakutan. Waktu itu mendekati Subuh. Imam keluar dan berkata dengan suara keras:

Pintunya jebol! Keluarlah kalian! Saya akan datang!"

Begitu mereka melihat Imam keluar dari ruangan dan menuju ke arah saya, mereka turun dari pagar. Imam menyerahkan stempel dan kunci lemari beliau kepada saya, seraya berkata:

"Ini di sisimu saja sampai ketika saya kasih kabar."
Mereka pergi dari pintu tersebut. Saya sembunyikan stempel dan kunci itu dan tidak bilang kepada siapapun. Ketika mereka membawa Imam, Ahmad yang waktu itu berusia 15 atau 16 tahun terbangun dan bertanya, "Ayah di mana?" Saya berkata, "Beliau pergi dari pintu ini dan kamu jangan keluar!"

Akan tetapi dia keluar dan segera kembali seraya berkata, "Begitu saya maju beberapa langkah, salah satu anggota SAVAK mengarahkan pistolnya ke arah saya, yakni bila engkau maju, maka aku tembak, dan saya tidak maju."

Alhasil saya sembunyikan stempel dan kunci Imam. Sampai ketika beliau pergi ke Irak dan dalam suratnya yang dikirim dari Najaf, beliau berkata:

"Titipkan stempelku kepada orang yang amanah untuk dia berikan kepadaku."

Saya menceritakan masalah ini kepada Agha Eshraqi dan dia berkata, "Agha Sheikh Abdul Ali Qarahi punya paspor dan bisa dipercaya."

Akhirnya saya menulis surat dan memberikannya kepada Agha Sheikh Abdul Ali Qarahi bersama stempel dan kunci. Dia membawa ke Najaf dan menyerahkannya kepada Imam.

Di Bursa, Turki, adalah kota tempat Imam Khomeini tinggal di sana. Kota ini merupakan kota yang cuaca dan hawanya lumayan enak. SAVAK mengirim seorang petugas bernama Hassan Agha asal Saveh untuk mendampingi Imam ke Turki. Sepertinya istri dan anak petugas ini berada di Iran. Oleh karena itu dia sangat sedih. Pada hakikatnya dia juga diasingkan. Dia menjaga Imam bersama seorang petugas Turki bernama Ali Beik. Setelah Agha Mostafa Khomeini juga diasingkan, terkadang mereka keluar bersama-sama. Selain itu, Imam lebih banyak mengisi waktunya berada di rumah dan menulis buku Tahrir al-Wasilah.



Penghormatan Imam Khomeini Kepada Mostafa

Imam Khomeini sangat menghormati Mostafa. Misalnya beliau selalu mengatakan:
"Jangan makan siang dulu! Tunggu sampai Mostafa datang!"

Atau beliau tidak pernah menyelonjorkan kakinya di depan Mostafa. Tentunya Imam Khomeini tidak pernah menyelonjorkan kaki. Tapi beliau secara khusus sangat menghormati Mostafa. Ketika beliau tahu bahwa Mostafa di usia tiga puluh tahun menjadi mujtahid, Imam Khomeini mengizinkannya untuk berijtihad.

Ketika Agha Mostafa mencapai usia tujuh belas tahun, Imam Khomeini mengusulkannya untuk memakai ammamah (sorban) dan pakaian ruhaniwan. Hanya saja Mostafa tidak begitu suka. Tapi Imam Khomeini mengundang beberapa temannya dan menyiapkan Mostafa untuk peresmian pemasangan ammamah dalam sebuah acara. Ketika Mostafa keluar dari rumah, teman-temannya melihatnya, mengucapkan selamat dan mendukungnya. Dengan demikian, ia semakin bertambah suka belajar dan dalam bidang keruhanian dia begitu cepat berkembang.

Pasca penangkapan Imam Khomeini, Mostafa pergi ke rumah Ayatullah Marashi Najafi dan masyarakat juga hadir mengerumuninya. Ketika rezim Shah tahu bahwa Mostafa punya pengaruh di tengah-tengah masyarakat, akhirnya mereka menahan Mostafa. Dia ditahan di penjara Qazal Qaleh, kemudian diasingkan ke Turki. Sebenarnya saya menolak kepergian Mostafa ke rumah Ayatullah Najafi. Ketika dia mau pergi ke rumah Ayatullah Najafi, sebelumnya ia mendatangi saya dan putri saya membantunya untuk menggulung ammamahnya. Kepadanya saya berkata, "Kalau Imam Khomeini melakukan penentangan kepada Shah dan melawannya, tidak masalah karena usianya sudah lanjut, tapi kamu masih muda, punya anak dan istri, istrimu dalam keadaan hamil, apa yang harus aku lakukan terhadap istrimu?"

Mostafa terpaksa harus pergi. Karena tidak ingin membuat saya sedih, kepada saya dia berkata, ‘Anda di sini berkumpul bersama-sama. Tapi Imam di sana sendirian. Saya ke sana menemuinya.' Akhirnya Mostafa dibawa. Hari itu bagi saya adalah hari yang sangat sulit dan pahit.

 
Pengasingan Imam Khomeini ra di Irak

 


Setelah masa pengasingan Imam Khomeini ra di Turki berakhir, ada yang mengatakan kepada beliau, "Anda mau kembali ke Iran ataukah pergi ke Irak?" Tapi Imam tidak diizinkan mengambil keputusan sendiri dan beliau dipindahkan ke Irak.

Begitu Imam sampai di Irak, beliau langsung pergi berziarah ke Karbala, kemudian ke Najaf. Selama tiga sampai empat hari di Kazhimain, Imam juga pergi ke Samarra. Di Karbala, Imam diundang oleh seseorang. Orang tersebut memiliki rumah di Karbala yang dipakai sebagai tempat peristirahatan di saat musim panas. Imam Khomeini tinggal di rumah orang tersebut selama tiga hari. Akhirnya Haj Sheikh Nasrollah Khalkhali juga datang dan tinggal di sana selama tiga hari dan kepada orang-orang dan para pelajar agama ia berkata, "Siapkan rumah untuk Imam Khomeini dan beli perabot rumah supaya beliau tidak pindah ke rumah yang lain!"
 
Perabot rumah yang dibeli antara lain; karpet bekas, karpet gelim bekas, tiga sampai empat alas tidur, samovar besar (alat perebus air untuk membuat teh), satu karung gula, satu kotak teh, empat puluh gelas dan berbagai macam nampan untuk menjamu para tamu. Empat talam besar dan empat panci besar.

Imam Khomeini diminta untuk duduk di halaman rumah yang sudah disiapkan yang luas halamannya 5 x 6 meter. Dari Karbala Imam Khomeini memasuki rumahnya dan di sana beliau tinggal selama empat belas tahun. Rumahnya sangat kecil dan dapurnya seluas kasur. Ketika memasak terpaksa kami harus memasak di halaman. Di tingkat bawah ada dua kamar seluas 3 x 4 meter. Di tingkat atas juga ada dua kamar, tapi yang satunya tidak layak dihuni. Salah satu kamarnya kami pasang karpet sebagai ruang khusus Imam dan rumah sebelah juga kami sewa sebagai ruang pertemuan Imam.



Dikutip dari penuturan Khanum Khadijeh (Qudsi Iran) Saqafi, istri Imam Khomeini ra

No comments:

Post a Comment